Gema takbir tetap berkumandang seantero negeri, menandakan semangat kemenangan Idul Fitri tidak berhenti walaupun sedang diterjang badai Covid-19. Namun, mirisnya semangat hari kemenangan tidak berbanding lurus dengan semangat Pengusaha dalam menunaikan kewajiban THR-nya, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan hingga 25 Mei 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menyatakan tercatat 336 perusahaan yang diadukan tidak membayar THR (Kompas, 28/5).
Padahal sebelumnya pemerintah telah mengantisipasi masalah ini dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Covid-19.
Lalu kenapa masih banyak Pengusaha yang tidak membayar THR, apakah fakta ini adalah sebuah jawaban dari banyaknya NGO dan Serikat Pekerja yang menolak diterbitkannya surat edaran tersebut, karena dianggap tidak melindungi Buruh. Bahkan, Presiden KSPI Said Iqbal, menyatakan akan menggugat secara perdata Pengusaha yang menunggak/mencicil/tidak membayar THR Buruh ke Pengadilan Negeri setempat (Kompas, 14/5).
Pertanyaannya surat edaran ini melindungi siapa, pengusaha atau buruh? Andaikan pengusaha, bagaimana langkah buruh dalam memperjuangkan THR-nya?
Surat Edaran ini pada pokoknya mengatur, pertama Memastikan agar Pengusaha melaksakan kewajibannya untuk membayar THR kepada Buruh sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, apabila Pengusaha tidak mampu membayar THR paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, hendaknya Pengusaha dan Buruh bermusyawarah dengan penuh itikad baik, kekeluargaan dan memperlihatkan laporan keuangan Perusahaan secara transparan untuk mencapai kesepakatan.
Ketiga, apabila Pengusaha tidak mampu membayar THR secara penuh paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, pembayaran dapat dilakukan secara bertahap. Keempat, apabila Pengusaha sama sekali tidak mampu membayar THR paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, pembayaran dapat ditunda dan dibayarkan paling lambat tahun 2020.
Kelima, Kesepakatan yang telah disepakati dilaporkan oleh Pengusaha kepada Dinas Ketenagakerjaan terkait. Keenam, walaupun telah sepakat mengenai cara dan waktu pembayaran, Pengusaha tetap diwajibkan membayar THR dan denda yang besarannya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Ketujuh, gubernur/bupati/walikota/serta pemangku kepentingan diharapkan membentuk Posko THR Tahun 2020 di Wilyahnya masing-masing agar pelaksanaan pemberian THR menjadi efektif.
Perdebatan surat edaran
Pada dasarnya tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang dapat menjelaskan arti dari surat edaran. Sedangkan apabila merujuk kepada pakar HTN Bayu Dwi Anggono, sebagaimana dinukilkan Hukumonline, mengartikan surat edaran bukan peraturan perundang-undangan bukan pula KTUN melainkan sebuah peraturan kebijakan atau peraturan perundang-undangan semu.
Tetapi apabila merujuk kepada Putusan MA No 23P/HUM/2009, mengartikan surat edaran tidak termasuk dalam urutan peraturan perundang-undangan, tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No 10/2004, surat edaran dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan, sehingga tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan.
Artinya, surat edaran bukan lah peraturan perundang-undangan, karena tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mampu mendefinisikannya dengan jelas. Begitu juga apabila merujuk kepada putusan MA tersebut sudah tidak relevan, karena UU yang dijadikan rujukan oleh MA sudah diubah dengan UU No 12/2011, apalagi putusan pengadilan juga bukan tergolong sebagai peraturan perundang-undangan (Pasal 7 UU No 12/2011). Karena itu, surat edaran hanya dapat dianggap sebagai aturan pelengkap/anjuran/himbauan.
Analisa dan perjuangan
Hal itu terbukti dari 7 poin penting yang diatur dalam surat edaran tersebut menggunakan frasa dapat, agar, hendaknya, diharapkan, dan diwajibkan. Artinya, pertama surat edaran ini boleh ditaati boleh juga tidak. Kedua, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, sifatnya sebatas himbauan, tidak memiliki sanksi.
Apabila merujuk kepada peraturan perundang-undangan terkait, yaitu Pasal 7 Ayat (1) (2), Pasal 56 Ayat (1) PP No 78/2015 dan Pasal 1 Angka 1, Pasal 5 Ayat 4 dan Pasal 10 Ayat (1) (2) serta Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 6/2016, yang pada pokoknya menyatakan Pengusaha wajib membayar THR paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, apabila Pengusaha terlambat membayar THR dari jangka waktu tersebut, dikenai denda sebesar 5% dari total THR Idul Fitri yang harus dibayar sejak berakhirnya jangka waktu tersebut, serta dikenai sanksi administratif oleh Pejabat yang berwenang atas hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan, maka surat edaran ini dapat dikategorikan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Pertentangannya secara sederhana dapat dipahami bahwa, pertama frasa wajib yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait berubah menjadi frasa dapat sebagaimana yang diatur dalam surat edaran tersebut. Artinya, sesuatu yang diwajibkan kepada Pengusaha berubah menjadi pilihan.
Kedua, pelanggaran atas kewajiban yang dikenai sanksi denda dan administratif berubah menjadi musyawarah untuk kesepakatan tentang perubahan cara dan waktu pembayaran. Ketiga, sanksi administratif seolah-olah lenyap. Oleh karena itu, dengan terbitnya surat edaran ini, Pengusaha yang dilindungi sedangkan Buruh tidak dan terancam tidak dapat menikmati THR-nya.
Walaupun begitu, apabila merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, seharusnya Buruh diuntungkan dalam hal ini. Sehingga Buruh dapat memperjuangkan THR-nya melalui perselisihan hak atau perselisihan kepentingan, apabila Pengusaha telah menetapkan Peraturan Perusahaan tentang THR secara sepihak tanpa melibatkan Buruh.
Melalui langkah berikut, pertama musyawarah mufakat dalam mencari solusi terbaik, apalagi terhadap Pengusaha kelas menengah atau UMKM. Kedua, membuat pengaduan kepada Pengawas Ketenagakerjaan setempat. Ketiga, mediasi dengan Pengusaha yang dipimpin oleh Mediator Dinas Ketenagakerjaan setempat. Keempat, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat.