Pembahasan tentang Pendidikan adalah pembahasan tentang arah masa depan suatu bangsa. Baik buruk suatu Pendidikan merupakan salah satu parameter kualitas sumber daya manusia, terutama generasi muda suatu bangsa. Generasi muda yang diharapkan mampu menyumbangkan ide-ide serta kontribusi nyata bagi kemajuan bangsanya. Generasi muda adalah mereka dengan segala cita-cita dan semangat paradigma kemerdekaannya.
Secara historis, dasar-dasar Pendidikan itu telah diletakkan sejak lama dan kokoh oleh tokoh-tokoh pionir Pendidikan, seperti Ki Hadjar Dewantara yang di kenal sebagai bapak Pendidikan Indonesia dan atau Paulo Freire yang di kenal sebagai tokoh Pendidikan kritis asal Brazil. Diantara keduanya memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaan itu dapat dilihat secara detail dalam konsep dan atau metode, Pendidikan atau pengajarannya yang dilakukan secara partisipatoris dan tanpa ada campur tangan “kekuasaan” baik secara langsung maupun simbolik. Disisi lain, perbedaan antara keduannya terletak pada latar belakang kemunculan konsep-konsep serta metode Pendidikan atau pengajaranya, dimana Ki Hajar Dewantara dengan pemikirannya merasa rakyat pribumi di bawah kolonialisme belanda saat itu butuh asupan Pendidikan sebagai alat perlawanan. Berbeda dengan Paulo Freire yang konsep-konsep serta metode Pendidikan atau pengajaranya hadir sebagai bentuk perlawanan atas sistem Pendidikan yang mapan diterapkan di Brazil, yang menurut Paulo Freire syarat akan penindasan, baik secara “lahir” maupun “batin” rakyat Brazil. Baik hasil pemikiran dari Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire, layak dijadikan acuan oleh pelaku Pendidikan untuk memahami serta menerapkannya dalam realitas Pendidikan hari ini.
Perguruan Tinggi dan Mahasiswa
Perguruan tinggi adalah satuan Pendidikan penyelenggara Pendidikan tinggi, yang memiliki “anak asuh” bernama mahasiswa. Sebagai puncak dari Pendidikan formal Indonesia, perguruan tinggi memiliki subsistem bernama tri dharma perguruan tinggi, yang didalamnya meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Lantas kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah benar perguruan tinggi sebagai penyelenggara Pendidikan tinggi telah menjalankan tugas sesuai dengan koridor fungsinya?.
Mengacu kepada konsep serta metode pemikiran tentang Pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire, perguruan tinggi Indonesia hari ini telah menyimpang dari koridor fungsinya.
Pertama, perguruan tinggi gagal menanamkan nilai-nilai kebangsaan serta keindonesiaan kepada mahasiswanya, terbukti dengan adanya sumpah negara khilafah Islamiyah di salah satu perguruan tinggi. Kedua, perguruan tinggi telah gagal menciptakan ilmuwan, perguruan tinggi hanya berhasil memberi gelar sarjana kepada mahasiswanya. Lihat dan renungkan, sudah berapa tahun lamanya keberadaan program studi-program studi seperti, hukum, ekonomi, kesehatan, teknologi, pertanian, sosial-humaniora, tapi Indonesia tetap saja tidak berdaulat dalam bidang-bidang tersebut. Ketiga, perguruan tinggi hari ini semakin cenderung elitis dengan trend saling kejar status World Class University dengan fokus menambah jumlah publikasi internasional, yang disisi lain justru (cenderung) mengesampingkan kualitas sumber daya mahasiswa, sumber daya pengajar dan fasilitas sebagai kebutuhan pokok.
Mahasiswa, setiap periode zamannya selalu dibebani tugas yang sama dan diharapkan mampu menjadi sosok agen of change, social control, iron stock. Peran itu tetap disematkan secara hierarkis meskipun kita ketahui bersama bahwasanya setiap angkatan mahasiswa, generasi muda selalu memiliki semangat zaman yang berbeda.
Melihat kondisi perguruan tinggi hari ini berarti melihat kecenderungan peran mahasiswa. Perguruan tinggi dengan segala kuasanya terus berupaya untuk tetap melanggengkan kekuasaan dengan tetap menciptakan strata masyarakat yang sama. Salah satunya dengan membuat suatu jalan euforia ketika mahasiswa puas dengan sertifikat kelulusan dari perguruan tinggi (Baca: Sarjana atau Intelektual). Mahasiswa tidak lagi merdeka sejak dalam pemikiran, mahasiswa kini menjadi objek bukan subjek dari sistem pengajaran Pendidikan sehingga mahasiswa tidak mampu bebas mengembangkan pemikiran serta ide-ide kreatifnya, mereka hanya menerima serta menghafal apa yang disampaikan dosen sepenuhnya. Ini tentunya sangat bersebrangan dengan apa yang di cita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire, seharusnya Pendidikan itu membebaskan. Dengan model yang seperti ini bukan tidak mungkin kemudian mahasiswa akan semakin jauh dari realitas sosial masyarakat.
Proses Penyadaran Massal
Pendidikan, antara perguruan tinggi dengan mahasiswa diharapkan mampu menyelesaikan segala problem kebangsaan dan keindonesiaan. Perguruan tinggi sebagai “rumah” mahasiswa seyogyanya memberikan kenyamanan untuk mencari serta mendapatkan ilmu, bukan malah membatasi kemerdekaannya. Sangat diharapkan, perguruan tinggi hari ini menyelenggarakan sistem pendidikan yang adil dan tanpa campur tangan “kekuasaan” didalamnya, baik antara dosen, mahasiswa, serta kurikulum, semua setara, sama-sama menjadi subjek dalam proses dialektis.
Penyadaran massal akan tercapai ketika sistem Pendidikan dijalankan sesuai dengan tataran yang benar serta porsi yang proporsional, dalam hal ini sesuai dengan konsep serta metode dari Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire. Ketika Pendidikan benar-benar diberikan secara baik dan benar serta proporsional, maka Pendidikan itu tidak akan melihat “lahir” setiap pembelajarnya, dalam hal ini kemiskinan atau kebodohan. Nun pendidikan itu juga tidak akan melihat secara “batin” setiap pembelajarnya, dalam hal ini kemerdekaan (berfikir dan berekspresi). Tidak cukup sampai disitu, Pendidikan akan membuat manusia semakin memanusiakan manusia serta membuat manusia kian menyadari dirinya sebagai manusia. Pendidikan adalah hak dan kewajiban setiap manusia.
Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu,- (Ki Hadjar Dewantara).
Moch Sholeh Pratama
Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga
Ketua Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi Surabaya (KPMBS)