Jumat, April 19, 2024

Perempuan Sangihe: Kapitalisme dan Ancaman Ketahanan Pangan

Alfiatul khairiyah
Alfiatul khairiyah
Mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Founder Pesantren Perempuan.

Di tengah kasus dugaan pembunuhan Brigadir J di kepolisian, tentu kita tidak boleh lupa dan berpaling dari rencana pembangunan tambang emas di Sangihe yang sampai saat ini belum menemukan jalan keluar. Sangihe mungkin tidak hanya satu-satunya wilayah yang mengalami penolakan dari warga soal penambangan.

Sebelumnya, sudah ada Kendeng di Jawa Tengah, Luwuk di Manggarai Timur, Tumpang pitu di Banyuangi, dan banyak lagi di wilayah lainnya yang berakhir tragis. Penambangan terus berlanjut meski menuai penolakan dan gerakan massa. Namun, nasib Sangihe masih dipertaruhkan. Entah, akan berakhir seperti wilayah lainnya atau tidak.

Rencana pembangunan Industri tambang emas di Sangihe tentu menimbulkan permasalahan yang merambat kemana-mana. Sebagai kawasan lindung yang berfungsi menjaga ekosistem biota hayati, penambangan akan mengancam ekosistem flora dan fauna.

Sangihe juga pulau yang menghasilkan kebutuhan pangan masyarakat dan berbasis ekonomi kerakyatan. Mulai dari hasil perkebunan rakyat dan sumber daya perikanan yang melimpah. Bahkan, Sangihe pernah menjadi penghasil kelapa terbanyak di Sulawesi Utara yang membuat Sangihe dijuluki Bumi Nyiur Melambai.

Namun, kekayaan alam di Sangihe suatu saat hanya akan menjadi cerita jika industri tambang emas beroperasi. Kebutuhan masyarakat lokal akan terancam demi memenuhi kebutuhan pasar global. Komodifikasi sumber daya alam sebagai jalan pintas pembangunan yang dianggap akan menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan yang tentu memenuhi kebutuhan industri.

Menurut hemat penulis, dengan kondisi yang demikian Indonesia masih belum merdeka dari istilah “negara maju” dan “negara berkembang”. Dimana pengkotakan “negara berkembang” menjadikan Indonesia semakin kehilangan orientasi pembangunan yang menyelamatkan masyarakat secara berkelanjutan. Industri ekstraktif sebagai acuan utama industri yang digunakan untuk membantu negara mengejar ketertinggalan.

Penulis merujuk pada pemikiran Vandana Shiva dan Maria Mies tentang mitos mengejar ketertinggalan. Konsep negara maju yang dicirikan seperti negara dunia pertama, Amerika, Eropa, dan Jepang menjadikan negara-negara di dunia ketiga dalam hal ini Indonesia merelakan dirinya untuk diekploitasi atas nama pembagunan dan mengejar ketertinggalan.

Sistem kapitalisme memanfaatkan kondisi “ketertinggalan” negara berkembang yang menjadikan masyarakat pinggiran sebagai koloninya. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat yang dianggap akan mengejar ketertinggalan mustahil diharapkan dan kemajuan tetap hanya dimiliki negara dunia pertama. Akhirnya negara miskin akan hidup di lingkaran kemiskinan yang mengenaskan.

Eksploitasi alam yang dilakukan oleh negara dunia pertama di negara dunia ketiga dengan dibukanya indutri ekstraktif akan berpengaruh terhadap kerusakan ekologi. Dalam pandangan ekofeminisme, kerusakan ekologi yang disebabkan oleh kapitalisme yang membelenggu negara dunia ketiga justru menjadikan perempuan dan anak sebagai korban, salah satunya dalam isu ketahanan pangan.

Jika kasus tambang emas di pulau Sangihe dibahas secara spesifik, pertama, ia berpotensi mengurangi lahan pertanian masyarakat sebagai sumber utama kebutuhan pangan. Kedua, tambang emas berpotensi mencemarkan sumber daya air karena terkontaminasi limbah beracun yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pencemaran air yang mengalir ke berbagai perairan akan mencemarkan banyak hal yang bisa dikonsumsi masyarakat, salah satu contohnya adalah perikanan.

Kerusakan ekologi menjadi suatu perampasan sumber daya alam dari subjek yang paling dekat dengan alam itu sendiri yaitu perempuan dan anak. Hal ini dampak dari kapitalisme global. Dimana pelaku kapitalisme global adalah laki-laki sebagaimana yang diamini oleh ekofeminis sosial seperti Vandana Shiva dan Maria Mies. Perempuan sebagai tonggak ketahanan pangan keluarga khususnya anak mengalami kemiskinan karena penyitaan sumber daya alam tersebut. Kerusakan ekologi menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran diantara kaum perempuan akan jaminan kualitas pangan yang dapat diberikan kepada keluarganya.

Seperti yang pernah terjadi di Jerman saat peristiwa bercana nuklir Chernobyl yang menyebabkan pencemaran linkungan karena debu radioaktif. Ketika itu, banyak perempuan Jerman putus asa dan meminta impor pangan dari negara lain bahkan tidak mau memberikan ASI kepada anaknya lebih dari tiga bulan. Hal ini juga akan terjadi di Sangihe, sebagai pulau kecil yang bergantung kepada sumber daya alam sekitarnya. Akan menciptakan kekhawatiran baru pada perempuan untuk menjamin pangan keluarga.

Pertama, jika separuh pulau Sangihe menjadi lahan tambang maka lahan pertanian berkurang, sehingga sumber lahan untuk penyedia pangan juga akan berkurang. Kedua, pulau Sangihe yang jauh dari perkotaan, ini juga menyebabkan aksesabilitas masyarakat terhadap pangan juga minim.

Ketiga, pencemaran air dan lingkungan menyebabkan tercemarnya pula sumber pangan masyarakat yang berpengaruh terhadap kualitas pangan yang tersedia di Sangihe. Ketika kualitas, aksesabilitas, dan ketersediaan pangan berkurang, maka stabilitas pangan juga terganggu. Jelas, ini merupakan perampasan sumber daya alam yang dilakukan oleh kapitalis terhadap masyarakat pinggiran.

Ketahanan pangan yang tidak terjamin menyebabkan penderitaan kehamilam perempuan semakin kompleks, mulai dari kehamilan yang prematur, kondisi bayi yang lahir dengan berat badan yang tidak normal, hingga berpengaruh terhadap angka harapan hidup ibu dan bayi yang disebabkan oleh kurangnya gizi karena tidak tersedianya pangan yang berkualitas. Muncul potensi masalah kemiskinan baru yang menjerat negara Indonesia dari pulau Sangihe. Maka tidak heran, jika ekofeminisme memandang bahwa ekologi dan perempuan memiliki nasib sama. Sebagai objek yang dieksploitasi.

Untungnya, perempuan Sangihe mampu membentuk solidaritas gerakan yang turut menolak tambang emas. Perempuan Sangihe memiliki kesadaran bahwa perempuan memiliki peran sentral dalam perlindungan ekologis demi keberlanjutan hidup umat manusia yang baik. Perempuan Sangihe memiliki kekuatan yang sama seperti mama Lodia, Mama Aleta Baun, Farwiza farhan, dan perempuan-perempuan lainnya yang berani menyuarakan dan bertindak melakukan apapun untuk melindungi alam. Tindakan demikian mampu menginspirasi perempuan lain di luar dengan caranya masing-masing.

Tinggal bagaimana negara hadir sebagai pemegang kebijakan. Berani memaknai pembangunan dalam perspektif keberlanjutan yang adil dan emansipatoris. Merdeka dari ilusi-ilusi pembanguan yang menyebabkan Indonesia terjebak dalam lingkaran kemiskinan baru sebagai dampak dari kapitalisme global.

Alfiatul khairiyah
Alfiatul khairiyah
Mahasiswa Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Founder Pesantren Perempuan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.