Beberapa tahun kedepan, tepatnya 2020-2030, Indonesia memasuki bonus demografi. Pada saat itu nanti, jumlah manusia angkatan produktif Indonesia, yakni usia 15-64 tahun, mencapai 70 persen dari populasi.
Tentu saja, bonus demografi adalah peluang. Dengan jumlah angkatan produktif sebanyak itu, Indonesia punya “jendela peluang” (window of opportunity) untuk membuat lompatan jauh kedepan.
Pada 2020-2030 nanti, jumlah usia tidak produktif (anak-anak dan lansia) yang ditanggung oleh pekerja relatif sedikit: hanya 44 orang untuk 100 pekerja. Bandingkan dengan 1971, 100 orang pekerja menanggung 84 orang.
Dengan begitu, kesejahteraan seharusnya meningkat, karena semakin banyak pendapatan yang bisa disisihkan atau ditabung. Ekonomi negara juga bertumbuh pesat karena ditopang oleh angkatan produktif yang banyak.
Tetetapi, jika kita tidak siap menyongsongnya, bonus demografi juga bisa jadi bencana. Ledakan angkatan produktif itu harus disambut dengan lapangan kerja seluas-luasnya. Tanpa itu, bonus demografi akan berubah menjadi ledakan pengangguran.
Bagaimana kesiapan Indonesia?
Indonesia perlu berhati-hati. Modal terbesar menyambut masa bonus demografi adalah pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), yang mana Indonesia keteteran melakukannya.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih 0,689, yang menempatkan Indonesia di peringkat 113 dari 188 negara. Negara kita masih dalam kategori menengah untuk pembangunan manusia (medium human development).
Sekarang kita tengok angkatan kerja kita. Sekitar 63 persen angkatan kerja kita hanya lulusan SD-SMP sederajat. Dengan komposisi tenaga kerja semacam itu, sulit untuk berbicara kemajuan dan produktifitas.
Kemudian, agak sulit bicara pengembangan manusia, jika kebutuhan yang paling dasar, terutama pangan, tidak terpenuhi secara layak. UNDP mencatat, ada sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk.
Ketimpangan gender
Namun, bayangan buram melihat masa bonus demografi makin bertambah jika kita menyinggung ketimpangan gender.
Boleh dikatakan, dari semua angka-angka yang kurang baik di atas, perempuanlah yang selalu menempati posisi paling di bawah atau paling belakang.
Kita bisa lihat pada data IPM Indonesia berdasarkan gender. Di tahun 2015, IPM untuk laki-laki 0,712, sedangkan perempuan tercecer jauh di belakang dengan 0,660.
Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2016 tentang indeks ketimpangan gender (gender gap index) menyebutkan, dari 144 negara yang ditelilit, Indonesia hanya menempati urutan 88 dengan skor 0,682. Gender gap ini meliputi partisipasi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan politik.
Karena itu, dalam konteks bonus demografi, gerakan perempuan perlu banyak bersuara.
Ada beberapa faktor yang membuat perempuan sangat rentan tertinggal dalam menyambut bonus demografi.
Pertama, perempuan masih sering terhambat untuk mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Di kota, angka partisipasi sekolah antar laki-laki dan perempuan mungkin tidak berbeda jauh.
Tetapi di daerah pedesaan, seperti dicatat oleh Komnas Perempuan tahun 2016, jumlah anak-anak perempuan yang tidak bersekolah/putus sekolah berjumlah dua kali lipat dibanding laki-laki. Secara nasional, persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang tidak/belum pernah sekolah untuk perempuan (8,30 persen) dan laki-laki (3,45 persen).
Faktor penghambatnya adalah budaya patriarki, yang menganggap ruang perempuan hanya di seputaran dapur dan tempat tidur. Ditambah lagi dengan masih tingginya pernikaha usia dini di daerah pedesaan.
Padahal, pendidikan merupana senjata utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memang jalur strategis untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan. Membawa manusia kepada alam yang lebih baik. Cara ini bahkan pernah dipakai oleh Kartini untuk menaikan derajat kaum perempuan.
Kedua, partisipasi perempuan dalam dunia kerja jauh lebih rendah dari laki-laki. Data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyebutkan, persentase perempuan yang bekerja sebesar 47,91 persen, jauh dibawah jumlah laki-laki sebesar 79,57 persen.
Salah satu faktor penyebabnya adalah masih kuatnya anggapan patriakal, yang menganggap perempuan sebagai pengurus rumah tangga (domestik) dan laki-laki sebagai pencari nafkah utama.
Situasi itu berdampak juga pada ketimpangan upah. Laporan ILO tahun 2013 menyebutkan, kesenjangan upah antar gender di Indonesia masih berkisar 19%. Laporan BPS pada Februari 2017 menyebutkan, upah rata-rata buruh perempuan hanya Rp 2,27 juta per bulan, sedangkan laki-laki 2,95 juta per bulan.
Ketiga, perempuan belum bisa berbicara banyak dalam proses pengambilan kebijakan politik. Keterwakilan perempuan di parlemen nasional hanya 17,3 persen. Sedangkan keterwakilan perempuan di DPRD provinsi hanya 16,14 persen dan DPRD Kabupaten/Kota hanya 14 persen.
Akibatnya kurangnya akses terhadap kebijakan publik, banyak sekali regulasi yang merugikan dan mendiskriminasi kaum perempuan.
Jangan lupakan perempuan
Karena itu, diskusi mengenai kesiapan menyambut era bonus demografi tidak boleh tutup mata dengan persoalan ketimpangan gender. Apalagi, perempuan adalah separuh dari populasi Indonesia.
Meneropong Indonesia 2025-2030 tidak bisa lebih baik tanpa memperbaiki wajah kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik perempuan hari ini. Karena itu, gerakan perempuan perlu membawa agenda kesetaraan gender dalam pembicaraan publik maupun pengambil kebijakan dalam merespon bonus demografi.
Negara harus hadir dan menerobos berbagai rintangan, baik rintangan sosial maupun ekonomi, yang menghambat perempuan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia yang terampil, bermartabat dan berkualitas.