Minggu, Oktober 6, 2024

Perempuan Melawan Belenggu

Dimas Pratama Agung Siswanto
Dimas Pratama Agung Siswanto
Seorang mahasiswa dari kampus di pinggiran kota Jakarta.

“Kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hatiku?” hlm 53.

Sastra dan masyarakat hal yang susah untuk diuraikan, selalu terikat, selalu memepengaruhi. Sastra selalu mengikuti perubahan alur kemajuan zaman, atau mungkin zaman yang mendorong sebagai alasan atas lahirnya sebuah sastra. oleh karena itu, sastra dikaitkat erat dengan ungkapan masyarakat, menurut dari frasa De Bonald literature is an expression of society.

Ikatan antara sastra dengan masyarakat itulah yang membuat peranan sastra semakin dominan dalam masyarakat, sehingga dalam sastra bisa terbentuk sebuah ideologi atupun pemikiran. sastra adalah sebuah bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus.(Rene Wellek, Austin Warren. 1989. hlm 121)

Karena ikatan yang erat dengan masyarakat muncul sebuah budaya, yakni budaya patriarki. Budaya patriarki sendiri masih awet di tatanan kehidupan bermasyarakat. Disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan masih terlalu domestik. Dalam artian, perempuan tidak lebih kuat daripada laki-laki. Hal tersebut banyak ditemukan dalam beberapa aspek kehidupan dan ruang lingkup, seperti politik, ekonomi, pendidikan, sampai hukum. Dari patriarki tersebut yang seperti melemahkan gender perempuan maka muncul anti-tesis dari patriarki, yaitu feminisme.

Persoalan mengenai perempuan memang sudah lama diperbincangkan, masalahnya pun masih relevan dengan adanya perkembangan yang sangat cepat dimasa sekarang. Novel Belenggu inipun masih berkaitan erat dengan isu feminisme.

Tini, istri seorang dokter. Tini merupakan seorang yang berpendidikan dan “terikat” pernikahan dengan dokter, tapi, tini tidak mau seolah terkekang. Tini ingin menjadi seorang perempuan yang bebas. Tini merasa seolah ia berhak menyampaikan pesannya untuk menyuarakan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, Tini merasa berhak untuk memprotes adanya ketidakadilan gender yang terjadi.

Djajanegara dan Soenarjati (2000) menyetujui bahwa Feminisme sendiri merupakan bentuk gerakan untuk meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Hal ini agar seorang perempuan bisa berdiri di atas kaki sendiri. Irhoni dalam Jurnalnya bahwa feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.

Novel Belenggu sendiri di tulis oleh Armijn Pane sekitar tahun seribu sembilan ratus empat puluhan. Jika ditarik dari sisi psikologi, novel Belenggu menceritakan kisah cinta segitiga antara tini, tono, dan temannya (rohayah). Kisah cinta pada tiap tokoh tidaklah indah, mereka semua harus menerima kehilangan semua orang yang dicintai.

Novel Belenggu sendiri pertama disetor ke Balai Pustaka sekitar tahun 1938, yang pada waktu itu masih dimiliki oleh Belanda. Namun ditolak dengan alasan, novel Belenggu merupakan novel yang tidak bermoral, karena unsur ceritanya yang mengandung pelacuran dan perselingkuhan. Sehingga poedjangga baroe mau mengambil dan menerbitkannya pada tahun 1940.

Feminisme atau perlawanan terhadap patriarki terlihat dari Tini yang ingin akan kebebasan individu ketika berdialog dengan Nyonya Rusdio.

“Memang Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut pendapat Ibu, kemauanku mesti tunduk kepada kemauan suamiku. Bukan Ibu, bukankah demikian? Kami masing-masing berkemauan sendiri-sendiri.” hlm 53.

Dari kutipan di atas bagaimana pemikiran Tini yang lebih modern dibandingkan tokoh perempuan lain di novel tersebut, Tini menolak larangan dari Nyonya Rusdio yang kalau Tini keluar harus ditemani suami. Tetapi Tini menolak, sebab Tini merasa bahwa Tini juga bisa keluar sendirian, melakukan kegiatan apapun tanpa ditemani suami. Tini memiliki pikiran seperti itu sebab seorang suami juga bisa keluar sendirian tanpa ditemani istri.

“Kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hatiku?” hlm 53.

Kutipan di atas mempertegas, bagaimana seorang Tini menhgingkan hak yang sama dengan laki-laki dalam hal-hal kesenangan. Ketika suami Tini pergi dan tak bisa menemani Tini pergi, Tini juga akhirnya keluar sendiri. Hal seperti itu Tini lakukan, sebab suami Tini bekerja sebagai seorang dokter yang sangat sibuk mengurusi pasiennya.

Kutipan tersebut juga memperkuat sisi feminis seorang perempuan yang tidak ingin selalu mengandalkan laki-laki. Seorang perempuan menginginkan adanya sebuah kebebasan tanpa menunggu suami, berdiri di atas kaki mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh perempuan menghendaki adanya kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas seperti laki-laki sehingga dapat mengembangkan kemampuannya.(Tong, Rosemarie Putnam. 2005,  Hlm 18.)

Referensi

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ihromi, Tapi Omas. 1995. “Peningkatan Peranan Wanita dalam Kebudayaan Bangsa” dalam Perjuangan Wanita Indonesia 10 Windu Setelah Kartini 1904-1984. Jakarta: Departemen Penerangan RI

Pane, Armijn. 2000. Belenggu. Jakarta: PT Dian Rakyat

Tong, Rosemarie Putnam. 2005. Feminist Thought: Penerjemah Aquarini Priyatna Prabasmoro.Yogyakarta: Jalasutra.

Wellek, Rene dan Austin Warrren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Dimas Pratama Agung Siswanto
Dimas Pratama Agung Siswanto
Seorang mahasiswa dari kampus di pinggiran kota Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.