Remang-remang cahaya pagi di Desa Rantau Kermas, cericit burung dan gerimicik air sungai di sela bebatuan terdengar dari dapur milik Rahma. Perempuan berumur 43 tahun tersebut sedang memasak nasi dan sambal kentang untuk sarapan pagi anak dan suaminya.
Masakan sambal adalah menu andalan bagi marga Serampas yang menempati di lima Desa yaitu Rantai Kermas, Renah Alai, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri dan Renah Kemumu. Selain mengunggah selera, sambal juga bisa penganti temperatur panas cuaca dingin di desa-desa yang dikelilingi bukit dan pengunungan Masurai.
Secara administratif, Rantau Kermas masuk dalam wilayah Kecamatan Jangkat, kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Wilayah desa terletak dalam enklaf kecil yang masuk menjorok ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat(TNKS). Jarak tempuh dari kabupaten merangin menuju Rantau Kermas kira-kira 125 Km.
Di kampungnya, Rahma lebih akrab disapa Mak Sarif, karena merujuk pada nama anak pertamanya bernama Sarif. dalam tata adat Serampas ditabukan memanggil nama asli bagi laki-laki dan perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak.
“ Kecik semantung gedang semantung, la bebuah tuo namonyo. “ demikian pepatah yang masih berlaku. Pepatah tersebut mengisyaratkan bagi siapa saja yang sudah menikah dan memiliki anak dianggap sudah tua, sehingga untuk menghormati orang yang sudah tua panggilan “ Mak” dan “Pak” mesti ditambah dengan nama anak dibelakangnya.
Sekitar pukul 08.30 WIB. Matahari yang mulai terik dimanfaatkan oleh Rahma untuk menjemur buah kopi dihalaman rumahnya. Pekerjaan menjemur kopi memang dominan dikerjakan oleh perempuan karena pekerjaan ini bisa dilakukan sambil mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sementara suaminya Tio bertugas mengangkut karungan kopi untuk dijual ke tengkulak.
“ Penghasilan dari menjual kopi ditabung untuk biaya sekolah sarif.kalau makan sehari-hari seperti beras dan lauk pauk jarang sekali kami membeli, karena beras melimpah dilubung padi, sementara lauk sayur cukup kami petik dikebun sendiri,” Tutur Rahma.
Rahma memang patut bersyukur. Sebab, hampir semua tanaman dapat tumbuh subur untuk memenuhi papan dan sandang sehari-hari. Namun ia menyadari segala karunia yang tumbuh di bumi Rantau Kermas sangat tergantung dari kearifan manusia menjaga alam.
Dalam menjaga hutan, masyarakat Rantau Kermas memiliki hukum adat yang berlaku tanpa memandang jenis kelamin. Bagi siapa yang menebang pohon akan dikenakan denda 1 ekor kambing dan 20 gantang beras. Soal kepemilikan tanah juga diatur dalam adat, setiap warga dibatasi maksimal 2 hektar lahan. Dan tanah tersebut wajib ditanami kopi.
Kerjasama laki-laki dan perempuan
Sejak zaman nenek moyang, masyarakat adat Serampas hidup dengan semangat gotong royong. praktek kerjasama yang mencolok dapat dilihat ketika laki-laki dan perempuan bekerjasama dalam mengolah lahan untuk pertanian. Jika kekurangan tenaga, mereka melakukan kerja borongan dimana setiap keluarga laki-laki dan perempuan, orangtua dan pemuda wajib mengikuti pekerjaan borongan ini.
Tidak ada sekat kerja domestik dan kerja publik yang kaku antara suami dan istri. Jika istri melahirkan, suami akan mencari rempah dan ramuan untuk peyembuhan istri paska melahirkan. Pengasuhan anak juga dilakukan bersama-sama. Jika suami dan istri sedang sibuk di kebun, maka anak-anak mereka bisa dititipkan dengan keluarga lain.
Laki-laki juga turut terlibat dalam proses pembuatan kiding yaitu mengikat anyaman rotan yang dibuat ibu-ibu. Kiding adalah tempat yang digunakan untuk mengangkut hasil ladang kerumah dibawa dengan menambatkan tali pengikat keatas kepala.
Desa yang memiliki sekitar 150 kepala keluarga ini memuliakan posisi dukun perempuan dalam musyawarah desa, sebagai perwakilan orang yang memiliki ketrampilan dan pengalaman dalam peyelesaian masalah dengan alam dan manusia.
“ Ibu-ibu disini yang berumur sekitar 36 tahun keatas pasti pandai meramu obat, tapi tidak semua orang pandai mengobati orang sakit, apalagi melihat makhluk halus, yang memiliki kemampuan tersebut hanya dukun kampung,” terang Rahma.
Getah dari pohon manau dapat digunakan sebagai obat sariawan sedangkan buah jamban digunakan untuk obat bengkak-bengkak, sementara kunyit melay (kunyit) yaitau kunyit yang sudah dibacakan doa dipercaya untuk melindungi diri dari gangguan makhluk hidup.
Keberadaan dukun dan orang sakti memang banyak dimiliki masyrakat keturunan marga serampas. karena itu sejarah pengunaan Istilah serampas berasal dari se dan ampu yang berati orang-orang sakti yang pandai mengobati orang sakit dan memiliki kemampuan gaib
Lebih lanjut Rahma menjelaskan bahwa masyarakat Serampas menganut sistem kekerabatan matrinieal yang mengatur hak atas harta warisan jatuh pada anak perempuan namun kondisi tersebut berlangsung relatif- bergantung dari proses musyarawah didalam keluarga untuk mengetahui siapa yang paling berhak mendapati harta warisan-
Arus Perubahan
Prinsip Gotong royong Masyarakat di Rantau kermas terangkum dalam upacara, ritual maupun tradisi sehari-hari. Dengan mengejawantahkan hidup pamrih, kesetaraan, dan toleransi laki-laki dan perempuan.
Gotong royong merupakan kebiasaan yang di atur dalam hukum adat setempat cenderung memberi ruang dan pengakuan perempuan sebagai subyek dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal tersebut berlangsung secara periodik dan kemudian membentuk identitas gender.
Jika seorang pimpinan lembaga adat gagal dalam melaksanakan keputusan adat, pertama-tama diingatkan untuk mengubah prilaku dan jika tidak mengindahkan akan diberhentikan sesuai dengan aturan adat. supremasi laki-laki tidak begitu kental mendominasi hukum. masing-masing individu hanya membutuhkan persetujuan dan penolakan dari komunitas.
Lantas, seberapa kuat sebuah kearifan lokal yang menjunjung tinggi keadilan gender dapat bertahan ditengah arus kapitalisasi?bukankah pembangunan desa-desa di seluruh indonesia syarat dengan bantuan modal perlahan menghancurkan ketahanan sosial yang ditopang oleh gotong royong?
Gotong royong tidak lagi secara otentik mencerminkan solidaritas antar desa melainkan bentuk mobilisasi pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program pembangunan. dengan menafikan adanya keikutsertaan masyarakat yang secara turun temurun menjaga hutan secara lestari.
Agar menjamin mulusnya proyek pembangunan, masyarakat desa yang bertahan dengan kearifan lokal justru dituntut untuk membentuk pemerintahan desa yang bekerja menjalankan mesin-mesin birokrasi yang hanya menjalankan perintah yang ditentukan atasannya.
Bekerjanya mesin-mesin birokrasi di desa untuk menjalankan berbagai proyek pembangunan.lembaga komunitas lokal dimatikan eksistensinya. Lembaga yang eksis adalah lembaga bentukan negara seperti PKK, dan lembaga lain yang telah dikooptasi oleh negara.
Ditengah wacana tentang pemberdayaan, Keberadaan organisasi perempuan seperti PKK menjadi sarana elit desa untuk mobilsasi suara perempuan dalam ajang pemenangan partai politik. Dan Kegiatan PKK tidak pernah mengarah pada peningkatan kapasitas perempuan untuk mengenali potensi desanya, justru masih berkutat pada ketrampilan domestik perempuan
Pada akhirnya Sejumlah kearifan lokal tersisihkan dengan semakin memudarnya lembaga adat. hubungan kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan digantikan dengan sistem kerja yang menghamba pada negara sebagai pemilik modal pembangunan.
Pelabelan Tenaga perempuan sebagai tenaga yang lemah dilanggengkan Untuk mendapatkan surplus ekonomi dari proyek pembangunan. Sementara keunggulan perempuan dalam kerja domestik menjadi tidak berarti.
Kalau sebelumnya perempuan sebagai relasi yang setara dengan laki-laki dalam pengelolaan sumber daya alam. Kini perempuan mengalami kemunduran performativitas. perempuan hanya menjadi properti yang hanya berfungsi melangsungkan keuntungan dari eksistensi pembangunan.
Artinya, arus pembangunan lambat atau cepat akan mengubah prilaku gender didalam masyrakat adat serampas. tentu mempertahankan nilai kearifan lokal tidaklah mudah. Karena itu, perlu mengkaji dan Revitalisasi fungsi budaya gotong royong sebagai kekuatan kolektif sekaligus modal bagi pentingnya keberlangsungan entitas perempuan sebagai relasi yang setara.