Miris rasanya melihat suasana di sekitar kita yang dipenuhi papan baliho, iklan dan poster-poster yang mengobjektifikasi tubuh manusia, laki-laki maupun perempuan, baik melaui tulisan atau gambar.
Namun sangat disayangkan, dari masyarakat kita sendiri justeru mengamini hal tersebut. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan budaya seksis yang mendarah-daging di dalam tatanan kehidupan masyarakat. Maka bukan tidak mungkin bahwa masyarakat dengan kondisi seperti ini seakan-akan menggali liang penindasan untuk diri sendiri.
Obat kuat adalah salah satu produk yang tentu sudah tidak asing lagi. Obat yang dirancang untuk meningkatkan stamina atau kekuatan laki-laki dalam melakukan hubungan seksual ini dapat dipandang sebagai suatu upaya atau strategi pemasaran yang menggantungkan pada rasa kepercayaan diri seseorang.
Dengan mengatasnamakan kenyamanan dan kepuasan pasangan, apabila startegi berhasil menurunkan rasa kepercayaan diri seorang laki-laki, maka tebuka celah untuk menawarkan produk ini.
Lalu apa sih kaitannya antara “Obat Kuat” dan kondisi saat ini?
Bahaya Konsumerisme
Perilaku konsumtif atau konsumsi yang dilakukan secara berlebihan sangat berbahaya. Bukan hanya menggantunkan rasa kepercayaan diri kita pada produk-produk yang ditawarkan, namun juga memiliki pengaruh dan dampak yang besar pada kelestarian alam dan masa depan umat manusia.
Anggapan dasar dari perilaku konsumtif ini bahwa memang masyarakat memiliki keinginan yang luar biasa tak terbatas, sedangkan hal-hal guna mencapai pemenuhan kebutuhannya terbatas.
Namun di sisi lain, masyarakat yang konsumtif hari ini ada karena terpengaruh oleh berbagai faktor dari berbagai aspek tertutama ketersediaan sumber daya yang turut didorong oleh kondisi politik.
Pesatnya prtumbuhan industri e-commerce misalnya, yang tentu saja memiliki pengaruh cukup besar dalam hal mendorong laju perekonomian nasional. Namun, seharusnya pemerintah mampu menganalisis bukan saja dalam ranah ekonomi, namun juga kehidupan masa depan kaitannya dengan kemajuan industri e-commerce dan meningkatnya masyarakat yang konsumtif.
Perilaku konsumtif juga mendorong masyarakat untuk bergantung pada segala sesuatu yang telah ada dan bersifat instan. Perilaku tersebut akan serta merta menurunkan tingkat kreativitas dan kualitas dari pada masyarakat Indonesia sendiri.
Dapat kita tarik benang merah antara konsumerisme dan “Obat Kuat” bahwa memang, “Obat Kuat’ ini bukan hanya berpengaruh pada rasa kepercayaan diri seorang laki-laki atas kekuatan diirnya, namun juga turut menyumbang tingkat konsumsi masyarakat yang berlebihan atau konsumtif.
Obat Kuat dan Konstruksi Sosial
Konstruksi sosial adalah elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui konstruksi sosial pula, nilai-nilai, asas, hukum-hukum dalam masyarakat terbentuk. Meski begitu, konstruksi sosial ini tidak selamanya dapat dibenarkan. Jika berbicara mengenai keadilan, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan yang kemudian mengakar menjadi budaya namun cenderung diskriminatif.
Misalnya saja, pemaknaan “kodrat” laki-laki untuk menjadi kepala keluarga sedangkan “kodrat” perempuan untuk menjadi istri, pandai memasak, mengurus rumah, anak dan melayani suami. Maka bukan tidak mungkin bahwa, masyarakat yang hidup dengan kebiasaan atau budaya diskriminatif tersebut melakukan penindasan terhadap anggota masyarakatnya sendiri. Karena kebanyakan, anggota masyarakat yang “berbeda” atau tidak sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam konstruksi sosial masyarakat tersebut mendapa perilaku yang tidak menyenangkan, misalnya dikucilkan.
Isu-isu penindasan atas diri manusia bukan saja menghampiri kaum perempuan. Disadari ataupun tidak, kaum laki-laki pun mengalami hal yang sama. Kebiasaan yang telah berkembang menjadi budaya dalam masyarakat kita merumuskan laki-laki sebagai seseorang yang pemberani, kuat, tangguh, gagah, perkasa dan semacamnya. Oleh karenanya, laki-laki dilarang menangis. Karena itu adalah pantangan besar di dalam masyarakat.
Maka sudah sepatutnya kita pahami bahwa isu kesetaraan atau keadilan gender ini bukan hanya problem struktural yang menimpa perempuan saja, namun juga menghantui kehidupan kaum laki-laki dan masyarakat pada umumnya.
Jadi, Siapa yang Lemah? Perempuan atau Laki-Laki?
Tidak ada yang lemah dari keduanya, jika dikaitkan antara bagaimana strategi pemasaran yang dilakukan untuk memperjual-belikan “Obat Kuat” , kapitailsme adalah dalang di balik segalanya. Kapitalisme lah yang lemah secara substansi namun besar dalam pengaruh. Karena lagi-lagi, kapitalisme berhasil memliki alat produksi dan kekuasaan.
Maka laki-laki dan perempuan, yang terpengaruh oleh strategi kapitalistik hanya akan dilemahkan melalui produk-produk kapital yang mendorong kita menjadi masyarakat yang konsumtif.
Lebih jauhnya lagi, jika kekuasaan, alat produksi bahkan kepercayaan masyarakat sudah berada di dalam genggaman kapitalisme, akan mudah baginya untuk melakuan penindasan kemanusiaan dalam bentuk apa pun.
Dengan begitu, apakah kita sebaiknya tidak memakai semua produk kapitalisme?
Kapitalisme saat ini, sudah menguasai setengah dari kehidupan manusia. Mulai dari kebutuhan makanan, ideologi, kekuasaan, bahkan kualitas tidur kita pun berada dalam genggaman kapitalisme.
Namun bukan tidak mungkin bahwa suau saat nanti, kapitalisme akan gulung tikar. Asalkan kita sudah sudah sadar akan bahaya kapitalisme, berani dan saling menularkan keberanian untuk menghapuskan bahaya kapitalisme dari dunia ini.
Maka usaha yang dapat dilakukan untuk menghinari perilaku konsumtif yang memperkaya kaum kapitalis adalah dengan mengontrol keinginan kita. Menentukan prioritas kebutuhan yang penting, mendesak dan lainnya.
Dengan begitu, sekalipun itu tidak memberikan dampak langsung terhadap kemunduran kapitalisme, setidaknya tidak berkontribusi banyak dalam kehidupan para kapitalis.