Kepemimpinan perempuan dalam konteks keindonesiaan tidak ada hal yang kontradiksi dalam hal ini terbukti dalam sejarah presiden di Indonesia, perempuan juga ikut andil dalam sejarah dan juga tidak sedikit menteri-menteri perempuan yang turut memajukan kenegaraan Indonesia.
Meskipun demokrasi di Indonesia bukanlah yang terbaik di dunia namun keberhasilan sistem demokrasi di Indonesia patut untuk diacungi jempol, lain halnya dengan Amerika meskipun dengan sistem demokrasi namun masih belum ada sejarah perempuan ikut andil menjadi presiden.
Dalam konteks keindonesiaan, sebagaimana UUD 1945, pasal 6 ayat (1), menyatakan bahwa untuk dapat menduduki jabatan presiden atau kepala negara republik Indonesia seseorang harus orang Indonesia asli, dengan tidak ada persyaratan jenis kelamin. Berarti jabatan tertinggi di Negara ini juga terbuka bagi kaum wanita, asalkan orang Indonesia asli.
Demikian juga dalam sistem perundang-undangan Indonesia sama sekali tidak terdapat diskriminasi yang didasarkan atas jenis kelamin. Berdasarkan universal suffrage kaum wanita mempunyai hak politik yang sama dengan kaum pria, hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, dengan bobot yang sama.
Pria dan wanita masing-masing memiliki satu suara. Kaum pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama tinggi di muka hukum. Kaum wanita, sebagaimana kaum pria, berhak menjadi saksi dalam segala macam perkara, perdata, pidana, juga dengan nilai dan bobot yang sama. Kesaksian wanita sama dengan kesaksian seorang pria.
Lain dari pada itu kaum wanita dan kaum pria mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama besar dalam kehidupan bernegara. Sementara itu dalam konteks kajian islam tidak sedikit ayat-ayat dan hadis yang sarat akan bias gender dikaji secara tekstualis untuk kepentingan-kepentingan politik yang dibungkus dengan agama.
Salah satunya, seperti hadis yang terkenal yaitu HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’I, dan Tirmidzi
فقال النبي صلى الله عليه وسلم لن يفلح قوم ولو امرهم امرأة
Artinya: Nabi bersabda, tidak akan sejahtera suatu kaum jika perempuan yang memerintah mereka.
Padahal makna sebenarnya dalam hadis tersebut tidak serta-merta pemimpin perempuan mengakibatkan negaranya akan sial. Melainkan dalam memahami dan mengkaji hadis tersebut mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis) yang melingkupi teks tersebut.
Sebenarnya jauh sebelum hadis tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwah Islam dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Kisra di Persia.
Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek surat Nabi Muhammad SAW.
Menurut riwayat Bin al-Musayyab —setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu” (al-Asqalani. Fath al-Bari, hal. 127-128).
Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh-membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia.
Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H. tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan.
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab.
Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya?
Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan juga dihormati oleh masyarakat Kisra pada saat itu, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.
Sementara itu dalam beberapa pendapat yang menyatakan pemimpin perempuan akan lebih emosional dan cenderung mementingkan kelembutan dan kasih sayang menurut (Tjokroaminoto, 1996: 59) hal tersebut hanyalah pandangan kental yang terkontaminasi kultur dengan adanya syndroma subordinasi. Dan tentunya budaya patriarki yang membentuk kultur ini.
Faktor psikologis perempuan maupun laki-laki lebih cenderung terbentuk karena lingkungan sekitar tidak berdasarkan jenis kelamin maupun Gender, sebagaimana tidak sedikit laki-laki yang ‘melambai’ dan perempuan yang ‘tomboi’.