Sabtu, April 27, 2024

Perempuan dengan Gejala ADHD, Layakkah Berperan Sebagai Ibu?

Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura
Ibu dari dua orang anak, tiga anak bulu, puluhan anak hijau. Mengisi waktu luang dengan membaca artikel lalu mengomentari dalam hati, menulis topik-topik ringan, dan memberi sedikit ruang tinggal sementara untuk hewan-hewan terlantar.

Pada tanggal 9 Juni 2021 seorang ibu di Bengkulu menganiaya anak kandungnya yang berusia 4 tahun hingga tewas karena emosi sesaat gara-gara anaknya tidak mau berhenti menangis. 21 April 2021 lagi-lagi seorang ibu menggorok leher anaknya yang berusia 9 tahun yang sedang tidur, karena stress.

Contoh di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyaknya wanita yang memiliki gangguan jiwa yang mengemban tugas sebagai seorang ibu. Banyak faktor yang menyebabkan gangguan jiwa pada seseorang, seperti stress, trauma, ketidakseimbangan kimiawi di otak, dan faktor genetik. Lalu bagaimana halnya dengan ADHD?

ADHD  atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder adalah gangguan jiwa/ mental yang menyebabkan seseorang sulit memusatkan perhatian, serta memiliki perilaku impulsif dan hiperaktif. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

ADHD pada orang dewasa, biasanya sudah ada dari sejak anak-anak, gejala tersebut bisa berkurang seiring bertambahnya usia, namun bisa muncul kembali ketika ada kejadian pencetus. Pada anak laki-laki, gejalanya jelas terlihat, hiperaktif, sulit untuk fokus pada hal yang tidak diminatinya, sehingga mengakibatkan nilai-nilai di sekolah tidak memuaskan. Padahal mereka memiliki IQ 130-an, biasa disebut anak-anak gifted.

Berbanding terbalik bila terjadi pada anak perempuan, mereka agak lama dalam mencerna pelajaran akibat kesulitan fokusnya, namun mereka biasa berprestasi di kelasnya, cenderung pendiam, dan sangat suka menolong orang lain. Dengan karakter seperti itu, ADHD pada perempuan hampir tidak pernah terdeteksi sebelum akhirnya ada diagnosa tersebut pada anak laki-laki atau saudaranya.

Gejala yang terjadi pada orang dewasa, menyebabkan mereka menjadi impulsif, tidak dapat menentukan skala prioritas, manajemen waktu yang buruk, kesulitan berfokus pada tugas, kesulitan multitasking, aktivitas berlebihan dengan perencanaan yang buruk, perubahan suasana hati yang sering, mudah marah, dan kesulitan mengatasi stress.

Tugas seorang ibu, bukan hanya melahirkan anak. dia juga harus bisa menjaga, mengasuh, mendidik, membesarkan, dan yang paling penting adalah menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya, karena pada dasarnya, anak-anak itu adalah peniru.

Selain bertanggung jawab dalam pengasuhan, pada masa pandemi ini, seorang ibu harus mendampingi anaknya dalam belajar juga, karena mengandalkan pengajaran secara online akan kurang efektif. Lalu masih ditambah kewajibannya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, belum lagi untuk ibu bekerja, atau yang mempunyai usaha sampingan. Terbayangkah beban fisik dan mental mereka setiap harinya?

Dengan kewajiban yang demikian, layakkah seorang wanita dengan gangguan mental tersebut menjadi seorang ibu? Dari sekian banyak gejala yang mungkin terjadi, yang paling berbahaya adalah bila si ibu kesulitan mengatasi tekanan, sehingga mudah marah, bertindak impulsif, bertindak tanpa memikirkan akibatnya. Dan akhirnya hampir selalu anak-anak yang menjadi pelampiasan.

Bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga, orang dewasa yang memiliki ADHD akan beresiko mengalami perceraian karena kurangnya komitmen, krisis finansial, penyalahgunaan obat, stress berkepanjangan karena kesulitan menata kehidupan sehari-hari. Lalu anak-anaknya pun,  memiliki 50% probabilitas membawa gen ADHD tersebut dalam tubuhnya. Pola asuh mereka juga akan menyebabkan children difficulties.

Children difficulties ditandai dengan rewel, mudah bereaksi negatif, jadwal kegiatan sehari- hari yang tidak teratur, dan lambat menyesuaikan diri pada lingkungan baru.

Penelitian yang dilakukan oleh PMC (US National of Library Medicine National Intitute of Health) pada April 2011, berkesimpulan bahwa tidak ada korelasi positif antara orang tua dengan gejala ADHD dengan keefektifan pola asuh, disebabkan ketidakkonsistenan dalam melatih disiplin, serta reaksi negatif pada emosi negatif si anak.

Yang artinya, ketika kesabaran, kekonsistenan, perencanaan yang baik, dan kemampuan problem solving, sangat dibutuhkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anaknya, para orang tua dengan gejala ADHD ini tidak memiliki kriteria tersebut. Jadi, secara teori, mereka tidak layak menjadi orang tua, karena akan menyebabkan tidak terpenuhinya kesejahteraan anak-anak secara fisik, terlebih mental.

Beruntung bagi sebagian kecil orang yang terdeteksi memiliki gangguan jiwa, karena gejalanya bisa diminimalisir dengan pemberian obat dan terapi kognitif (persepsi, pola berpikir), bahkan pendampingan, sehingga dapat menjalani hari-harinya dengan lebih baik dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain, khususnya anak-anaknya.

Yang menjadi masalah adalah ketika gejala tersebut tidak terdeteksi seperti pada kebanyakan wanita, dan hanya dianggap sebagai stress biasa. Dalam masyarakat kita, bila merasa tertekan, maka obatnya adalah “me time”, dan banyak-banyak bersyukur. Maka ketika sudah ada korban, antara si anak celaka, atau si ibu bunuh diri,  orang-orang cenderung mengaitkannya dengan masalah keimanan. Padahal, yang terjadi lebih rumit dari itu. Betapa mereka membutuhkan pertolongan.

Lalu bagi seorang istri, disini peran suami sangat penting  untuk lebih sensitif terhadap kesulitan yang dialaminya. Dengan kemampuan mentalnya yang terbatas dalam  mengatasi tekanan, semua tanggung jawab itu sangat berat untuk dipikul sendiri. Sedikit bantuan dari suami dalam mengerjakan pekerjaan rumah, dan bergantian mengasuh anak, atau sekedar  mendengarkan keluhan-keluhannya, akan sangat meringankan.

Kepekaan terhadap perilaku tidak wajar seseorang sangat dibutuhkan, apalagi kalau sudah berhubungan dengan kesejahteraan fisik dan mental orang lain, terutama anak-anak. Karena ketika berbicara ADHD, gejala pada orang dewasa cenderung sangat umum dan kabur. Bisa disalahartikan sebagai kepribadian yg tidak baik.

Namun, dalam sederet sisi negatif yang dimilikinya, ADHD juga memberi seorang ibu kemampuan untuk berempati kepada anak-anaknya, kreatif dalam mencari solusi, serta menciptakan suasana rumah yang penuh kasih dan menyenangkan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.

Pada akhirnya, teruntuk para ibu dengan ADHD, belajarlah untuk menghargai talenta, dan minimalisir kelemahan yang diberikan oleh penyakitmu. Pada akhirnya nanti, anak-anakmu tidak akan mengingat lantai rumah yang jarang dibersihkan atau kaca yang penuh debu. Tapi mereka akan selalu ingat bahwa mereka dicintai.

Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura
Ibu dari dua orang anak, tiga anak bulu, puluhan anak hijau. Mengisi waktu luang dengan membaca artikel lalu mengomentari dalam hati, menulis topik-topik ringan, dan memberi sedikit ruang tinggal sementara untuk hewan-hewan terlantar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.