Secara sekilas, belakangan ini perbincangan tentang perempuan dan kepemimpinan seolah bukan persoalan yang runyam, bahkan tidak sedikit yang menganggap hal ini bukan merupakan masalah lagi. Akan tetapi hal ini hanya seolah yang dipandang secara sekilas, bukan realitas. Realitas sebenarnya menggambarkan bahwa masih ada rasa dan anggapan ketidaklayakan perempuan menjadi seorang pemimpin, baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan sendiri.
Anggapan demikian sungguh memprihatinkan, lebih memprihatinkan lagi ketika pendapat yang menyatakan ketidaklayakan perempuan menjadi pemimpin dikokohkan dengan dalil-dalil agama yang belum sepenuhnya selesai dipahami.
Sebenarnya, Islam telah merintis kampanye penyadaran mengenai hak-hak perempuan setelah sebelumnya dunia ini dipenuhi oleh ketidakseimbangan antara kaum laki-laki dan peremuan. Namun realitas yang terjadi saat ini di berbagai Negara yang penduduknya mayoritas Muslim justru menampilkan sesuatu yang kontradiktif. Peristiwa ini terjadi hampir di seluruh sektor kehidupan, bahkan dengan dalih mengaplikasikan ajaran Islam.
Dalil-dalil yang Belum Selesai Dipahami
Biasanya pendapat ulama’ yang melarang kepemimpinan perempuan didasarkan kepada firman Allah SWT.; laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan (an-Nisa’: 34). Secara tekstual, ayat ini cenderung mendukung larangan perempuan menjadi pemimpin. Namun apalah arti teks jika tak mampu menyampaikan sebuah maksud penciptanya.
KH. Said Aqil Siroj menawarkan sebuah cara memahami firman Tuhan secara utuh, dengan mengutip pendapat ulama’ klasik ia mengungkapkan bahwa menurut al-Wahidi, sebab turunnya ayat ini berawal dari kisah Sa’ad bin Rabi’, seorang pembesar golongan Anshar dari Madinah. Diriwayatkan bahwa istrinya telah menentang ajakan Sa’ad untuk bersetubuh. Lantaran penentangannya itu, Sa’ad menampar istrinya.
Kemudian istrinya mengadukan masalah ini kepada Nabi, lalu Nabi memutuskan untuk membalas dengan sanksi serupa dengan perbuatan Sa’ad. Ketika sanksi akan dilakukan, Nabi memanggil pasangan suami istri tersebut seraya mengabarkan surat an-Nisa’ ayat 34, yang baru turun melalui Jibril. Dengan ayat ini Nabi membatalkan perintah sanksi terhadap Sa’ad.
Menurut Kiai Said (2006: 251), dari penjelasan al-Wahidi ini dapat dipahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan perempuan di luar urusan ranjang jelas sangat lemah. Ayat tersebut juga bukan kalimat intruksi, melainkan hanya bersifat berita. Dengan demikian, akurasi soal hukum wajib atau haramnya ternyata kurang efektif.
Selain menggunakan ayat ini, yang melarang kepemimpinan perempuan juga berpendapat dengan hadist shahi yang berbunyi ‘tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (pengangkat penguasa) kepada seorang perempuan.
Hadist ini harus ditelusuri penyebab kemunculannya dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Demi menjaga keutuhan, agar tidak tercerabut dari masa risalahnya, maka selayaknya dalam memahami hadist harus diiringi dengan memahami penyebab kemunculan hadist tersebut.
Begitu pula dalam memahami hadist ini, al-Asqalani menjelaskan bahwa hadist ini bermula dari laporan Abdullah Ibn Hudzaifah, kurir Rasulullah yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam kepada Kisra Anusyirwan, yang kemudian ajakan tersebut ditanggapi sinis oleh Kisra dengan merobek surat yang Nabi kirimkan.
Dari laporan tersebut, Nabi memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Kisra merobek-robek surat itu. Tidak lama kemudian firasat itu terbukti. Imperium Persia jatuh ketika dipimpin putri Kisra yang bernama Buran. Pernyataan Nabi ini sangat argumentatif, karena berdasarkan kapabilitas Buran yang lemah dalam menejemen kepemimpinan.
Dari asbabun nuzul yang diceritakan oleh al-Asqalani, dapat disimpulkan bahwa hadist tersebut bersifat kasuistis dan kondisional. Hadist ini tidak memiliki tujuan larangan kepada seluruh perempuan dalam hal kepemimpinan, melainkan khusus putri Kisra yang kredibilitas kepemimpinannya sangat meragukan. Selian itu, hadist ini bukan merupakan larangan atau perintah, melainkan berita.
Dengan pemahaman demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin, Islam memandang perempuan sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan. Mengenai kepemimpinan, Islam cenderung memandang kualitas yang ada dalam diri manusia, tidak memandang dari segi harta, status sosial, apalagi sekedar perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin diciptakan hanya sebagai lantaran penyatuan antar sesama manusia, bukan maksud lain.
Perempuan Sebagai Cermin Tuhan
Dalam pandangan sufisme,kelelakian dan keperempuanan bukanlah representasi dari hakekat kemanusiaanyang sesungguhnya, sebab gabungan unsur maskulin dan feminin merupakankemanusiaan yang sesungguhnya. Pada hakekatnya, kedua unsur tersebut terdapatdalam setiap diri manusia, meskipun maskulinitas lebih dominan dalam dirilaki-laki, dan femininitas lebih dominan dalam diri perempuan.
Jika ditinjau lebih dalam lagi, unsur-unsur tersebut bukan merupakan kendala yang berarti dalam wacanasufisme. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama dalam mencapaisebuah maqam untuk meniti jalan sebagai sufi. Untuk menjadi sufi tidak disyaratkan harus laki-laki, tetapi kejernihan hati, sebab hati merupakan wadah bagi epistemologi yang menjadi kekhasan sufisme, yaitu intuisi.
Semakin tajam intuisinya, maka semakin tajam pula penglihatannya kepada kebenaran Tuhan. Kebersihan hati menjadi penting karena Tuhan merupakan Dzat yang MahaSuci, yang tidak mungkin menyatu dengan sesuatu yang kotor.
Telah umum diketahui bahwa pekerjaan baik yang tetap (lebih) baik adalah pekerjaan yang dimulai dari diri sendiri, termasuk dalam hal kepemimpinan. Pemimpin yang baik adalah yang memulai kebaikan dari dirinya sendiri, sebab pemimpin bukan sekedar ketua, tetapi juga menjadi otak kemana harus bergerak mengejar kebenaran. Hal ini bisa ditemukan dan dilakukan oleh semua manusia, laki-laki atau perempuan.
Laki-laki dan perempuan tidak selayaknya dijadikan hal yang berlawanan, melainkan harus dipandang secara sejajar, semacam patner, untuk mencapai kebenaran-kebenaran Tuhan. Ibnu Arabi, seorang sufi Agung asal Spanyol, mampu menyingkap rahasia ketuhanan di balik keperempuanan, perempuan tidak selayaknya dipandang sebagai sumber maksiat atau malapetaka dalam suatu Negara. Baginya, kerinduan dan kecintaan laki-laki kepada perempuan merupakan cermin dari kecintaan Tuhan kepada manusia.
Ketika laki-laki mencintai perempuan, ia mencari kesatuan yang tergunfigurasi dalam bentuk perkawinan. Pada saat itu terjadi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana penyatun manusia dengan Tuhan. Kesatuan ini yang kemudian menjadi cerminan kesatuan manusia dengan Tuhan.
Oleh sebab itu, kaum sufi menyatakan bahwa yang dimaksud ayat ‘kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan (an-Nisa’: 34)’ yaitu sebagai pemimpin yang mengeluarkan nafkahnya untuk kaum perempuan, dan membelanya. Pada hakekatnya, wacana sufisme merupakan pencarian pandanagan relasi gender yang adil dalam Islam, dan bukan melalui pendekatan formalitas agama.