Meminjam istilah Alef Theria (2012), bahwa perempuan memiliki kemerdekaan dalam menentukan masa depannya. Perempuan tidak hanya sibuk di dalam kamar dan di belakang dapur, melainkan mereka juga mempunyai sikap dan kebebasan untuk memilih pilihan yang terbaik untuknya. Tanpa dikekang oleh siapa pun.
Perempuan memiliki peranan yang kompleks, tak ada keraguan akan kemampuan dalam diri mereka. Sudah saatnya para perempuan memiliki jalan pikiran sendiri, yang menjadi halangan dan kemajuan seorang perempuan adalah dirinya sendiri.
Murtadha Muthahhari menunjukan struktur pandangan dunia Islam tentang perempuan. Muthahhari menegaskan ada konsepsi yang salah bahwa perempuan adalah sumber godaan dan dosa.
Perempuan diciptakan untuk laki-laki, perempuan untuk melahirkan keturunan dan perempuan tidak punya peran yang berarti dalam kehidupan masyarakat. Teks dan sejarah yang demikian perlu untuk dibebaskan, untuk memanusiakan perempuan.
Pada hakikanya perempuan adalah mahluk yang lemah lembut, ia sejuk bagaikan alam, tapi ia rapuh bagiaikan kapas, ia menjadi tawanan bagi perasaannya, yang mudah terbuaih hanya dengan kata “aku sayang kamu”, dari lawan jenisnya.
Perempuan harus mampu keluar dari cengkraman dan pemancungan perasaan, yang disebabkan oleh beberapa laki-laki yang tak setia dan penuh rayuan gombal. Perempuan harus cerdas memilih calon imam yang baik, untuk anak-anaknya nanti.
Padan zaman milenial ini, ternyata masih ada pernikahan yang didasari oleh asas perjodohan. Di Sumenep Madura, beberapa praktek perjodohan masih sering dijumpai. Terkadang, sang Ayah memilihkan calon suami untuk anak perempuannya, dan seorang anak hanya bisa diam dan menerima keputusan itu, tanpa mampu melawan atau pun menolak.
Saya punya sahabat yang sekarang menjadi guru di MTs Muhammadiyah 1 Malang. Ia adalah korban perjodohan yang gagal. Ia dijodohkan dengan sepepuhnya sendiri, ia tidak mampu menolak kemauan orang tuannya. Namun, karena persoalan jarak dan kerinduan, perjodohan itu pun dibatalkan. Rasa sakit menghampiri, namun itu adalah realitas yang harus diterima dengan lapang dada.
Kasus seperti ini bukan hanya terjadi pada sahabat saya, kaum muda diluar sana pun mengalami hal yang serupa. Lantas, apa falsafah kemerdekaan itu; terutama bagi perempuan?
Profesor Driyarkara, mengatakan bahwa merdeka itu harus punya kekuasaan untuk menguasai diri sendiri dan perbuatannya. Dan tentu saja, seseorang yang merdeka tak boleh menindas kemerdekaan subjek lainnya. Sebab, dibalik kemerdekaan diri sendiri ada kemerdekaan orang lain yang patut dihargai dan dihormati.
Bung Hatta juga pernah mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya merdeka dari penjajahan, tetapi juga merdekanya setiap individu dan warga negara dari segala macam penindasan, eksploitasi dan penghisapan.
Permasalahannya adalah, apakah perempuan Indonesia hari ini sudah menikmati kemerdakaannya?Menurut beberapa referensi, Badrun dalam tulisannya mengenai persoalan perempuan mengatakan bahwa perempuan Indonesia belum punya kemerdekaan penuh atas tubuhnya sendiri. Buktinya, sampai sekarang ini, tubuh perempuan masih menjadi objek eksploitasi dan sasaran kekerasan.
Ini sesuai dengan data yang sampaikan oleh Komnas Perempuan. Menurut laporan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2017, terjadi 259.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Kekerasan di ranah personal masih menempati urutan atas yakni 255.000 kasus. Bentuk kekerasan di ranah personal itu semisal kekerasan fisik, psikis, seksual, dan kekerasan ekonomi.
Sedangkan untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal (KDRT) seperti kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama 5.700 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran 2.100 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.700 kasus. Pemerkosaan sebanyak 1.300 kasus, pencabulan 1.200 kasus, (KBR, Jakarta).
Realitas ini menunjukan bahwa perempuan masih belum merdeka terhadap dirinya, ia menjadi pelampiasan kemarahan fisik maupun biologis. Kedewasaan dalam menghormati martabat perempuan dan mengindahkannya, menjadi persoalan sosial yang harus segera diselesaikan.
Kekerasan fisik maupun seksual terhadap perempuan, menunjukan masih adanya budaya patriakal dalam masyarakat. Budaya ini mengganggap bahwa perempuan tak lebih sebagai alat pemuas supperioritas laki-laki.
Perempuan dalam konteks ini harus mengambil langkah solutif sebagai upaya menjaga dan melindungi harkat dan martabatnya. Perempuan juga harus mengambil peran srategis dalam kehidupan sosial, politik, dan pekerjaan. Sebagai upaya aktualisasi diri, dan memberikan sumbangsi atas nama warga negara, yang peduli akan kepentingan dirinya dan lingkungannya.
Perempuan juga harus mengambil peran penting di wilayah politik, karena wilayah ini merupakan sumber lahirnya kebijakan. Jumlah perempuan Indonesia di parlemen sebanyak 97 orang atau 17,32 persen dari 30 persen kuota yang tersedia, total anggota DPR RI berjumlah 560 orang. Selisi ini menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dalam pemilu, dan kepengurusan partai tidak begitu efektif. Penyebabnya, sistem politik Indonesia memang masih sangat patriarkal.
Kehadiran seorang sosok perempuan di wilayah publik, bisa mengispirasi perempuan lainnya untuk ikut serta dalam menjaga dan merawat bangsa ini. Memang, tembok besar ada dihadapan perempuan Indonesia, tembok itu bukan berarti tidak bisa diruntuhkan.
Tembok kekerasan, eksploitasi dan penghisapan terhadap perempuan yang menghalangi langkahnya, harus dimusnakan di bumi Indonesia. Perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan harus senantiasa ditegakkan. Bahkan pesan kitab suci, kita harus memuliakan perempuan.
Pembebasan terhadap hak-hak perempuan merupakan tugas kebangsaan. Bung Karno pernah berkata, “proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan hanya untuk mempunyai negara belaka, melainkan sebagai pijakan perjuangan sosial untuk menyelenggarakan sebuah pergaulan hidup yang di dalamnya tidak ada lagi kekerasan dan penindasan, termaksud tidak ada lagi penindasan terhadap kaum perempuan.
Pemerintah dalam konteks ini harus selalu mengupayakan pencegahan serta penanganan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. Proses rehabilitas terhadap trauma sosial akibat kekerasan, perlu dilakukan secara mendasar dan menyeluruh, sebagai upaya memanusiakan perempuan.
Pada dasarnya, secara filosofis perempuan diciptakan untuk mengisi kesepian dan kegundahan seorang laki-laki. Perempuan menjadi solusi atas kebuntuan seorang laki-laki, yang tak berdaya. Ia hadir menjadi teman canda-tawa, kawan bermain dan sahabat yang selalu menemani, dalam menggapai ridho Tuhan.
Dan yang harus kau tahu, ketika perempuan itu tertindas, teraniaya, dieksploitasi secara seksual, dimadu, dan ditinggalkan tanpa kabar, ia akan tetap kuat, walau beban berat dipundaknya. Satu hal yang ku kagumi, dalam kondisi apapun, dan bagaimanapun, ia masih bisa tersenyum, walau hatinya terluka. Itulah perempuan!