Kamis, Mei 2, 2024

Perempuan dalam Lingkaran FoMO

anisginazda
anisginazda
writer wannabe

Lambat laun jika tidak ada evaluasi dari pemerintah dan masyarakat umum, lebih dari 30 juta perempuan di Indonesia akan teridentifikasi mengalami sebuah “karma”, berupa antikonteks, depresi, bahkan memungkinkan untuk bunuh diri.

Perempuan di Indonesia memiliki tingkat candu yang cukup tinggi dibandingkan laki-laki. Sebab laki-laki cenderung malas untuk bersikap ingin tahu yang berlebihan. Seperti halnya kecanduan membeli produk-produk kosmetik, baju, tas, dan lainnya yang diiklankan di televisi maupun internet. Iklan yang memakai bahasa dan visual menarik begitu cepat diminati dan dibeli, meski belum tentu realitasnya akan sama dengan yang diiklankan, bahkan terkadang menipu. Inilah problem antikonteks yang terjadi. Kemudian, ketika candu meningkat dan kita tidak mampu mendapatkan apa yang kita inginkan, depresi bahkan hilang akal sehat pun akan kita alami.

Psikiatri dari Johns Hopkins University School of Medicine, Kay Redfield Jamison, menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya adalah kecanduan akan sesuatu dan masalah hubungan sosial. Kedua hal tersebut tidak bisa lepas dari sindrom yang sedang ramai dibincangkan yakni FoMO (Fear of Missing Out).

FoMO adalah suatu kecenderungan akan ketakutan ketinggalan momen. Mereka yang terkena sindrom tersebut selalu berusaha mengikuti mode/trend terkini agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Sindrom ini memiliki dampak negatif dan positif di dalamnya. Tren tersebut bagi masyarakat seringkali tidak dilihat dari nilai gunanya, akan tetapi melihatnya dari sisi budaya kekinian (tidak mengikuti berarti terbelakang).

FoMO erat kaitannya dengan perempuan. Karena hakikat perempuan dan aktivitasnya tidak pernah lepas dari kurangnya rasa puas terhadap apa yang dimiliki. Apalagi ketika tengah membincangkan tentang gaya hidup (lifestyle), perempuan cenderung merasa ingin lebih.

Perempuan Indonesia dan FoMO

Berangkat dari pahlawan emansipasi, Kartini (1879-1904) yang begitu gigih memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia untuk bisa sekolah. Hal ini dikarenakan Kartini merasa iri dengan teman Eropanya yang dapat bersekolah dan memiliki banyak keahlian serta wawasan luas. Ia berjuang melawan tradisi yang ia rasakan sebagai sebuah pembodohan. Tradisi yang memaksa perempuan harus selalu berada di dapur, beraktivitas di balik kuasa laki-laki.

Keingingan Kartini  yang begitu kuat, detail dalam melihat masalah, dan tidak mau ketinggalan zaman, membuatnya tetap gigih memperjuangkan cita-citanya. Meski rintangan dan penolakan dari tradisi yang seakan membatu, yang dianggapnya mendiskriminasikan perempuan berulang kali menjegalnya. Pada akhirnya Kartini bisa memperoleh apa yang dia inginkan, yakni perempuan Indonesia bisa sekolah, sama dengan perempuan Eropa yang dianggapnya pintar.

Perjuangan Kartini tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya jiwa perempuan tidak ingin merasa terbelakang dari laki-laki. Perjuang perempuan sekarang mungkin lebih berat dari perjuangan era Kartini. Sindrom FoMO era Kartini masih terlihat jelas, namun sekarang di era virtual dengan membanjirnya informasi, semua terlihat sama. Sulit membedakan mana yang penting dan mana yang ‘spam’. Kartini-kartini masa kini dengan segala tantangan zamannya harus selalu waspada terhadap dampak negatif dan positif dari kemajuan zaman.

Dampak Negatif

Perempuan di era modern (net generation), berjalan seiring dengan kemajuan modernitas. Perempuan Indonesia yang menggunakan internet mencapai 51%. Data lain juga menyebutkan bahwa perempuan Indonesia memiliki indeks kepercayaan konsumen tertinggi dibandingkan 58 negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Eropa dan Timur Tengah.

Indeks kepercayaan konsumen tersebut menunjukkan bahwa ada tingkat aktivitas yang signifikan. Salah satu penyebabnya yakni pengaruh sindrom FoMO bagi perempuan pengguna internet, yang pada kenyataannya internet telah menjadi kebutuhan primer.

Masyarakat konsumtif adalah cermin dari ketidakmajuan, cermin dari SDM yang rendah. Sehingga dampak dari FoMO bagi perempuan di Indonesia kini masih dapat dikatakan sebagai sindrom yang negatif. Masih banyak perempuan Indonesia yang instan dalam aktivitas pemenuhan kualitas hidupnya. Informasi yang didapatkan selalu diterima secara mentah, mereka cepat merasa puas dengan pengetahuannya yang cepat berganti hingga terjadi kebingungan dalam memilih.

Terjadi perubahan karakter pada perempuan Indonesia yang membuat mereka bersikap individual dan mudah menjadi korban suatu informasi. Banyaknya iklan yang menarik nampaknya membuat perempuan Indonesia menjadi terlena. Iklan-iklan tersebut selalu menawarkan hal yang menjanjikan. Namun pada kenyataannya, Iklan tersebut hanya merupakan simulacra. Sebuah  keterampilan berbahasa tanpa ada indikator, appropriasi, dan bukti material.

Dampak Positif

Kecenderungan atau sindrom FoMO sebenarnya memiliki pengaruh positif dan akan sangat dibutuhkan. Salah satu bentuk FoMO yang positif adalah saat perempuan sedang berproses dalam menitih karir. Seiring dengan canggihnya teknologi, mudahnya mengakses informasi, tatanan ekonomi pasar yang bebas dapat meningkatkan daya kompetitif dan efisiensi yang tinggi dalam berbagai bidang.

Kemajuan pesat tersebut menuntut perempuan untuk selalu mengikuti arusnya. Bila tertinggal sedikit saja, kita tidak akan memperoleh kesempatan dalam eksistensi dan peluang untuk hidup yang lebih baik. Di sanalah FoMO menjadi alasan positif, karena sindrom keingintahuan akan sesuatu dan selalu ingin aktif dalam apapun sangat diperlukan dalam hal ini. Poin penting dalam bersikap di era kini adalah selalu kontrol diri, struktur pengetahuan yang cukup dan skill yang mumpuni sangat dibutuhkan bagi perempuan Indonesia di era digital.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menyebutkan bahwa 1.077.423 Perempuan Indonesia telah lulus perguruan tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa perempuan sudah tak bodoh lagi. Mengapa perempuan Indonesia masih kontra-produktif? Jika melihat data pengguna internet paling banyak di atas adalah dari kaum perempuan, tentu masalah ini penting untuk ditelaah lebih  mendalam.

Perlunya Upaya Nyata

Hidup sebagai masyarakat informasi yang berbasis digital seperti di Indonesia, dengan 82 Juta pengguna aktif internet dan menempati peringkat 6 dunia tentu memiliki konsekuensi. Perempuan sebagai pengguna terbanyak bisa menjadi harapan kehidupan yang lebih baik. 

Pertama, jika kita memikirkannya matang-matang, khususnya pemerintah tentang bagaimana memperbaiki SDM dalam menghadapi persaingan global, terlebih bagi perempuan dalam menggunakan internet. Kedua, perlunya mulai menggali Sumber Daya Alam (SDA) lokal yang bisa dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menjadi produk yang layak untuk bersaing.

Perempuan dengan pengetahuan yang tinggi dan skill yang memadai bisa menjadi solusi atas ironi Indonesia yang masih duduk di zona negara berkembang untuk naik peringkat menjadi negara maju.

Penulis : Anissa Gina Nazda

(Mahasiswi UIN Walisongo Semarang Jurusan Tadris Bahasa Inggris)

anisginazda
anisginazda
writer wannabe
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.