Memasuki empat puluh satu tahun, Iran menjalani hukuman sanksi embargo ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya. Baqer Moin dalam bukunya “Khomeini: Life of The Ayatullah”, menyebutkan James Earl Carter Jr, Presiden AS, yang menjatuhkan sanksi atas Iran pada November 1979.
AS geram atas pendudukan Kedutaan Besar AS di Tehran, Iran, oleh sekelompok mahasiswa, yang dianggapnya radikal, di sana. Setelah itu, hubungan antara AS dan Iran selalu renggang, setiap Presiden AS tidak pernah berkompromi dengan Iran untuk mencabut sanksi embargo atasnya.
Iran yang ngotot mengembangkan nuklirnya menjadi bulan-bulanan mereka. Bahkan dalam pertemuan internasional, keduanya tak pernah tampak akur. Justru dalam setiap kesempatan, keduanya selalu bersitegang dan saling menyerang satu sama lain.
Di tahun 2015, konflik antara Iran dan AS sempat mereda. Iran, saat itu, bersedia menyepakati Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dengan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Langkah diplomasi Presiden Iran, Hassan Rouhani, berhasil memberi kelonggaran Iran dari sanksi embargo ekonomi.
Hanya saja, tak berlangsung lama, arah perbaikan Iran-AS kembali menemui jalan buntu setelah AS menarik diri dari perjanjian tersebut. Menurut Donald Trump, Presiden AS, Iran tidak menaati perjanjian terkait pengembangan nuklir.
Berbeda dengan The International Atomic Energy Agency, dewan pengawas pengembangan nuklir Iran, yang justru membantah tudingan Trump. Namun, hasilnya tetap saja nihil. AS tidak hanya sekedar memberi sanksi, tetapi justru memperberatnya sehingga semakin memperkeruh hubungannya dengan Iran.
Masa Awal Sanksi Embargo Ekonomi
Sanksi embargo ekonomi sendiri sangatlah memukul perekonomian Iran. Bahkan, pada masa awal sanksi, menurut data Bank Dunia, perekonomian Iran anjlok dengan minusnya pertumbuhan ekonomi sebesar 27,5 persen pada tahun 1980.
Butuh dua tahun bagi Iran untuk perlahan beradaptasi hingga akhirnya naik drastis menjadi 27,2 persen pada tahun 1982. Sayangnya, setelah itu ekonomi Iran kembali terseok-seok dan belum mampu keluar dari resesi. Tak kunjung stabil, pertumbuhan ekonomi Iran justru kerap terjungkal hingga minus.
Catatan gemilang sebetulnya pernah ditorehkan ekonomi Iran pada tahun 1990. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Iran melambung hingga 13,8 persen. Presiden Iran, Rafsanjani, dalam laporan The World Bank, World Development Report 1992 Oxford University, tengah mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun selama 1989-1994.
Pembangunan tersebut berorientasi pada perbaikan infrastruktur, peningkatan sumber daya komunikasi dan pendidikan. Proyek pembangunan tersebut pun mendapat gelontoran hutang sebesar 30 milyar dollar AS. Namun, perekonomian Iran tetap saja tidak kunjung bangkit. Malah tren pertumbuhan ekonomi terus menurun hingga akhirnya minus 1,5 persen pada tahun 1994.
Sektor Migas Tumpuan Ekonomi Iran
Selama masa sanksi embargo ekonomi, perekonomian Iran sejatinya sangat bergantung pada sektor migas. Tergabung sebagai anggota OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak) cukup memberikan keleluasaan bagi Iran untuk berdagang minyak dengan negara-negara lainnya.
Iran sendiri merupakan salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia. Menurut data OPEC, pada tahun 2017, Iran memiliki cadangan minyak senilai 155,6 miliar barel. Terbesar ketiga dalam daftar anggota OPEC dengan cadangan minyak terbesar, di bawah Venezuela dan Arab Saudi. Sepanjang tahun 2018, Iran juga mampu memproduksi minyak mentah hingga 3,8 juta barel per hari.
Pemberlakuan Kembali Sanksi
Sebetulnya, kelonggaran sanksi embargo ekonomi atas Iran cukup memberi dampak positif terhadap Iran. Tercatat pada tahun 2016, ekonomi Iran tumbuh 13,4 persen, setelah sebelumnya minus 1,3 persen. Banyak negara kemudian yang menjajaki kerja sama dengan Iran, mulai dari India, Jepang, termasuk Indonesia. Tetapi, berlakunya kembali sanksi embargo ekonomi mengakhiri upaya kerja sama tersebut. Terutama bagi negara mitra dagang AS, seperti Jepang, tidak berani mengambil resiko bekerja sama dengan Iran.
Untungnya, pemberlakuan kembali sanksi tidak segera menutup perdagangan minyak Iran dengan negara lainnya. AS masih memberikan kelonggaran selama enam bulan kepada Iran untuk menjual minyak ke beberapa negara, seperti Turki, Cina, Rusia, Jepang, India, Taiwan, Korea Selatan, Yunani, dan Italia.
Kelonggaran tersebut masih diintervensi AS dengan menetapkan batasan kuota impor bagi negara-negara pengimpor tersebut. Sebelumnya, dikutip dari bloomberg, Iran dapat mengekspor minyak 2,3 juta barel per harinya. Akibat pembatasan tersebut Iran hanya dapat mengekpor minyak 1 juta barel per hari. Tentu hal itu berdampak langsung terhadap pendapatan Iran dari sektor migas yang menurun dibanding periode sebelumnya.
Kondisi dalam negeri Iran pun sempat tidak kondusif pasca pemberlakuan kembali sanksi embargo. Sempat terjadi demonstrasi besar-besaran pada November 2019 merespon kondisi tersebut. Inflasi di Iran pun, menurut IMF, mencapai 30,5 persen pada 2018 dan diperkirakan akan terus naik. Belum lagi, harga bahan makanan pokok, seperti ayam, disebut Bank Dunia, melonjak hingga 116 persen. Naiknya harga-harga kebutuhan secara drastis tentunya langsung berdampak bagi masyarakat.
Kendati demikian, sanksi embargo ekonomi telah mendorong Iran menjadi negara yang mandiri. Selama berpuluh-puluh tahun melewati masa hukuman sanksi, Iran pun mengembangkan industri dalam negeri dan juga ipteknya. Terbukti, salah satunya dari sektor industri otomotif.
Sejak tahun 2011, Iran Khodro, industri otomotif Iran, produksinya tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tetapi, dikutip Xinhua, juga telah mengekspor 40 ribu unit mobil ke 30 negara. Kemajuan iptek Iran juga ditandai dengan kemajuan medis Iran menemukan stem cell, sel yang mampu meremajakan diri dan memproduksi lebih banyak sel untuk membentuk sel baru.