Rangkaian panjang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia telah tiba di ujung yang menentukan. Penentuan final hasil Pemilu pun akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Jika menengok ke belakang, tercatat bahwa pelaksanaan pesta demokrasi ini tidaklah berjalan dengan mulus. Tercatat bangsa kita disuguhi dengan pelaksanaan Pemilu yang penuh dengan nuansa konflik, perpecahan, dan saling curiga.
Bangsa kita seakan dibelah menjadi 2 kubu, yang dikenal dengan istilah kubu cebong dan kubu kampret. Kubu cebong mewakili kubu Paslon 01 sedangkan kubu kampret mewakili kubu Paslon 02.
Puncak perpecahan ini terkristalisasikan pada peristiwa bentrok dan kerusuhan yang berlangsung pada tanggal 21 & 22 Mei di area Kantor Bawaslu dan sekitarnya. Peristiwa ini disinyalir dipicu oleh adanya ketidakpercayaan sekelompok masa pendukung kubu 02 terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan oleh KPU, sehingga menuntut diadakannya Pemilu ulang.
Berdasarkan data yang dikutip dari Detik.com, tercatat dalam bentrokan tersebut terdapat 9 korban jiwa, puluhan korban luka, serta beberapa kendaraan yang dirusak. Peristiwa ini seakan memberikan stigma negatif bagi berlangsungnya Pemilu yang seakan penuh dengan nuansa konflik, perpecahan, dan saling curiga.
Kondisi ini tentunya menjadi noda buruk bagi penyelenggaraan Pemilu serta menjadi anomali bagi perjalanan bangsa ini yang mencita-citakan terwujudnya persatuan di tengah keberagaman (bhinneka tunggal ika).
Demokrasi yang kebablasan
Salah satu penyebab terjadinya kondisi saling tuduh menuduh ini dikarenakan adanya ketidakpercayaan terhadap hukum sebagai acuan dan pegangan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada prakteknya, terdapat sekelompok masa yang justru mengedepankan pendapatnya masing-masing dan menolak hasil Pemilu yang ditetapkan oleh KPU sebagai organ pemerintah yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Ungkapan penolakan pun dilakukan dengan cara yang diluar koridor hukum sehingga memunculkan kondisi saling menuduh sehingga mengakibatkan perpecahan di masyarakat. Mirisnya, kondisi ini justru diperlihatkan oleh tokoh-tokoh penting dari masing-masing kubu yang seharusnya menjadi contoh dan panutan bagi pendukungnya.
Adanya perbedaan pendapat sesungguhnya bukanlah sesuatu yang haram, namun merupakan keniscayaan dari dianutnya prinsip demokrasi. Dalam koridor demokrasi, pemerintah wajib melindungi (obligation to protect) dan memenuhi (obligation to fulfill) kebebasan warganya untuk mengemukakan dan mengekspresikan pendapatnya (Eko Riyadi:2018).
Namun, apakah warga negara dapat mengekspresikan pendapatnya secara bebas dan tanpa kendali? Sekiranya kita perlu menggali lebih dalam lagi mengenai makna demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Prinsip demokrasi yang dianut Indonesia bukanlah demokrasi yang mengedepankan kebebasan tanpa batas. Prinsip demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi yang dibalut dengan prinsip negara hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Jimly Asshiddiqie mengistilahkan, pemaknaan pasal tersebut sebagai perwujudan prinsip negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (democracy rechstaat) sekaligus negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitusional democracy) (Jimly Asshiddiqie:2005).
Jimly menegaskan bahwa, demokrasi konstitusional menekankan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan demokrasi haruslah disalurkan serta diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Oleh karena itu, warga negara tidak bisa mengekspresikan pendapatnya secara bebas tanpa ada batasan-batasan tertentu.
Adanya demokrasi yang kebablasan justru dapat menimbulkan anarkisme dan konflik sosial. Hal ini pun senada dengan pendapat dari Mahfud MD yang menyatakan bahwa hukum tanpa demokrasi akan bersifat elitis, sedangkan demokrasi tanpa hukum akan bersifat anarkis (Mahfud MD:2000).
Percaya kepada MK
Mekanisme hukum Pemilu sebenarnya telah memberikan ruang keadilan bagi para pihak untuk mengajukan gugatan atas hasil Pemilu yang ditetapkan oleh KPU. Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI 1945, gugatan tersebut diajukan kepada MK melalui mekanisme sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
MK menjadi satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan langsung oleh konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu. Hal ini merupakan perwujudan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) serta sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy).
Dalam prakteknya, MK tidak hanya membatasi dirinya untuk memutus sengketa PHPU berbasis pada angkat semata (kuantitatif). Namun, dalam perkembangannya, guna mencari keadilan subtansial, MK juga memperluas kewenangannya dengan mengadili keseluruhan proses Pemilu yang menciderai asas Luber Jurdil dari Pemilu (kualitatif) (Nimatul Huda dan Imam Nasef:2017).
MK mengkategorikan tindakan kecurangan tersebut berdasarkan 3 hal dasar yaitu pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massive. Adanya perubahan paradigma ini merupakan ikhtiar MK untuk mewujudkan keadilan Pemilu yang dalam prakteknya tidak hanya terakomodir pada sengketa hasil Pemilu semata. Hal ini merupakan perwujudan fungsi MK sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy) serta pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional right).
Putusan MK bersifat final, yang berarti bahwa tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan MK ini. Putusan MK juga bersifat mengikat (binding), yang berarti bahwa putusan MK mengikat tidak hanya para pihak, namun juga bagi seluruh warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, para pihak dan seluruh warga negara Indonesia secara sadar haruslah mematuhi dan menghargai putusan MK ini. adanya keengganan dalam melaksanakan dan mematuhi putusan MK ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang merupakan kesepakatan luhur (modus vivendi) dari seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan hal itu, sudah selayaknya bagi para pihak yang bersengketa serta seluruh rakyat Indonesia untuk menghapuskan rasa saling curiga, meredakan ketegangan pribadi, menghilangkan egoisme kelompok, serta mempercayakan keputusan akhir hasil Pemilu kepada MK.
Para tokoh dari kedua kubu selayaknya juga harus mulai menunjukan jiwa kenegaraannya dengan menciptakan nuansa rukun dan damai yang bisa ditempuh melalui jalan rekonsilisasi nasional pasca Pemilu sehingga tercipta suasana persatuan bangsa yang menjadi asas luhur dari Bangsa Indonesia.