Dalam kenyataan, korupsi telah menimbulkan segudang permasalahan. Mulai dari dampak kemiskinan terhadap rakyat di mana-mana dan juga kerugian terhadap Negara yang begitu besarnya. Korupsi merupakan perbuatan biadab karena membuat rakyat semakin melarat.
ICW mencatat, dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, terdapat 226 kasus korupsi. Dimana yang menjadi tersangka berjumlah 587 orang, dengan kerugian Negara mencapai Rp 1,83 triliun dan nilai suap sebesar Rp 118,1 miliar (dikutip dari detik.com).
Sungguh menggelikan. Bila kita bisa berpikir afektif, mungkin nilai uang sebesar itu akan bisa digunakan untuk mensejahterakan masyarkat kecil yang hidup berkesusahan karena terjerambab dalam lingkar kemiskinan.
Kekuasaan dan Korupsi
Tidak cukup hanya terjadi di tataran pemerintah pusat saja, perlahan ‘penyakit’ korupsi ini mulai menulari lapisan pemerintahan yang ada di tingkat daerah. Sebagai contoh di NTB, dikutip dari suarantb.com, HP (nama inisial) yang merupakan mantan Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Bima, terjerat sebagai tersangka karena dugaan kasus korupsi proyek pengelolaan lahan kebun kopi Tambora Bima.
Ditengarai ia menggunakan uang hasil kebun kopi sebesar Rp 40 juta untuk keuntungan pribadi. Bila kita mencermati kasus korupsi yang ada, hampir sebagian besar dari para pelaku adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sehingga seolah semakin memperkuat pernyataan bahwa kekuasaan dan korupsi merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan.
Ibarat dua sisi mata uang, korupsi selalu lekat dengan kekuasaan. Nietszche, seorang filsuf kelahiran Jerman pernah mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berkuasa (will to power). Setiap kekuasaan pasti selalu memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi, sementara korupsi selalu melibatkan kekuasaan dalam setiap aksinya. Banyak orang memiliki niatan korupsi, tetapi karena tidak adanya alat kekuasaan, maka perilaku korupsi bisa saja tidak terjadi. Berkaca dari contoh kasus di atas, maka apa yang diungkapkan oleh Nietszche tentang klisenya sebuah kekuasaan sebagai suatu fenomena yang nyata terjadi, patut diyakini.
Kita tidak bisa pungkiri dan hindari bahwa kekuasaan itu mempesona. Banyak orang rela menderita bahkan menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan kekuasaan. Demi harga diri, status sosial bahkan materi kekayaan, banyak orang yang kemudian berlomba-lomba dalam meraih tahta kekuasaan. Tidak peduli itu didapatkan dengan cara sportif atau tidak. Penulis sendiri tidak habis pikir, sebegitu prestisius kah sebuah kekuasaan di negeri ini bila kemudian dalam kenyataannya kekuasaan banyak melahirkan manusia-manusia amoral ? mengapa kekuasaan begitu diperebutkan dan masih saja dipertahankan mati-matian ?
Hancurnya Akhlak Akibat Korupsi
Begitu banyak kasus korupsi terjadi. Begitu banyak pula regulasi yang terlahir dari ‘tangan suci’ (otoritas) pemerintah dalam upayanya menuntaskan masalah korupsi. Namun korupsi seakan tidak pernah mati. Kwik Kian Gie (2006), menjelaskan bahwa letak permasalahan korupsi bukan memberantas kasus demi kasus. Yang sudah bobrok berat adalah manusianya. Fokus pembenahan korupsi adalah bagaimana memperbaiki akhlak manusia Indonesia. Jadi, kalau diibaratkan pohon, KPK hanya menangani daun yang rusak karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak di obati, selalu bermunculan daun-daun yang rusak.
Bila kita merenungi, apa yang dijelaskan oleh Kwik tersebut sebenarnya sudah menjadi jawaban atas persoalan korupsi yang begitu masif terjadi saat ini. Namun disisi lain juga kembali menimbulkan pertanyaan; bagaimana kemudian mengobati akhlak manusia sebagaimana yang diungkapkan Kwik sebagai akar yang telah busuk tersebut.
Mereduksi Perilaku Koruptif Melalui Peran Keluarga
Ada sebuah ungkapan; mencegah lebih baik daripada mengobati. Bila memang telah lebih dulu terluka, maka cara terbaik adalah dengan mengobati. Namun agar tidak kembali terluka, bukankah upaya pencegahan menjadi prioritas untuk dilakukan?
Bila demikian, hal tersebut berlaku juga dengan perilaku koruptif. Perilaku koruptif dapat kita analogikan sebagai luka yang ada pada tubuh kita. Ketika luka itu sudah sembuh diobati, bukan berarti tubuh kita akan bisa terhindar sepenuhnya dari adanya luka. Segala kemungkinan dari bagian tubuh yang lain untuk mengalami luka itu akan ada. Maka untuk meminimalisir hal tersebut, dibutuhkan upaya pencegahan.
Upaya pencegahan terhadap potensi korupsi melalui penguatan peran masyarakat dapat dilakukan. Dimana dalam hal ini dengan menguatkan peran aktif keluarga sebagai agen sosial, diharapkan perilaku koruptif bisa direduksi untuk tidak terus berkembang.
Mengapa kemudian harus peran keluarga? Menurut tokoh sosiolog George Herbert Mead (1972), dalam teorinya mengenai tahap pengembangan diri manusia menjelaskan; bahwa manusia dalam fase hidupnya akan melewati beberapa tahapan sosialisasi, salah satunya ialah melalui keluarga. Dimana lingkungan keluarga secara fundamen menjadi tahap persiapan bagi individu untuk dibekali nilai dan norma yang akan menjadi pedoman bergaul dalam masyarakat.
Bila berkaca pada teori Mead tersebut, maka keluarga sebagai salah satu unit sosial terkecil di masyarakat, tidak hanya berperan membentuk kepribadian individu (anak) agar sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat saja. Melainkan perannya juga sangat penting dalam mereduksi perilaku menyimpang untuk tidak berkembang sehingga berdampak merugikan masyarakat dikemudian hari.
Bayangkan ketika sebuah keluarga tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya, semisal, mendidik sang anak agar berperilaku jujur atau dapat berperilaku sesuai dengan nilai dan tata aturan yang berlaku di masyarakat ? maka akan berimplikasi pada munculnya permasalahan atau patologi sosial, termasuk perilaku koruptif. Perilaku koruptif bisa saja disebabkan karena adanya oleh kekosongan peran dari masyarakat seperti peran keluarga. Oleh karena itu, penting untuk ikut melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi, sehingga harapan untuk membumihanguskan korupsi di Indonesia bisa saja tercapai.
Perlunya Langkah Afirmatif Hukum
Terlepas dari asumsi yang ada, tentu yang menjadi harapan kita semua adalah adanya upaya afirmatif atas supremasi hukum dari pemerintah bagi siapa saja yang terlibat kasus korupsi. Sehingga kita tidak lagi melihat adanya hukum yang berat sebelah, tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.
Dimana pelaku korupsi ternyata tidak mendapat ganjaran hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Hukum tetaplah hukum yang harus di tegakkan seadil-adilnya. Tidak peduli ia seorang pejabat berpangkat tinggi setingkat presiden.
Hukum bukanlah materi yang bisa di perjual-belikan dimana mereka yang kaya dapat seenaknya memperalat hukum untuk menindas mereka yang miskin. Karena hukum adalah setara di hadapan kita semua. Dengan demikian, api harapan untuk negara Indonesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akan terus menyala.