Sabtu, April 20, 2024

Peppu Pembubaran Ormas: Sebuah “Kemunduran Berkonstitusi”?

Disahkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) oleh Presiden Joko Widodo beberapa hari yang lalu memunculkan banyak pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah menganggap keberadaan Perppu tersebut dapat menjadi “senjata” yang efektif untuk menghadapi kelompok-kelompok yang dianggap intoleran, sebab memang sebelum disahkannya, telah terdapat wacana dari pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu Ormas yang dianggap intoleran oleh pemerintah.

Di sisi lain adanya Perppu tersebut juga menciptakan bahaya bagi demokrasi, sebab jika sebelumnya dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas mekanisme pembubaran ormas mengharuskan keterlibatan pengadilan untuk mencegah ormas dibubarkan secara sewenang-wenang, dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 mekanisme pembubaran ormas justru dipersingkat dengan dihapuskannya keterlibatan pengadilan, sehingga kewenangan membubarkan ormas benar-benar berada sepenuhnya di tangan pemerintah.

Hal inilah yang membuat banyak pihak merasa Perppu tersebut dapat membahayakan demokrasi, karena menyebabkan tak adanya kontrol terhadap pemerintah ketika membubarkan ormas, sehingga bukan tak mungkin jika kedepannya Perppu tersebut justru disalahgunakan pemerintah, bukan untuk membubarkan ormas yang intoleran, tetapi justru memberangus ormas-ormas lain yang dianggap mengganggu kekuasaan pemerintah.

Bahaya yang dapat ditimbulkan Perppu tersebut terhadap demokrasi, sontak mengingatkan saya akan sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang ahli hukum tata negara asal Amerika Serikat, Aziz Huq dan Tom Ginsburg berjudul “How to Lose a Constitutional Democracy”. Keduanya menganggap bahwa terdapat dua ancaman utama bagi demokrasi, yakni “kembalinya otoritarianisme” (authoritarian reversion) dan “kemunduran berkonstitusi” (constitutional retrogression).

“Kembalinya otoritarianisme” merupakan bentuk ancaman tradisional bagi demokrasi, dimana runtuhnya demokrasi terjadi secara cepat dan tiba-tiba melalui kudeta militer atau melalui penetapan keadaan kedaruratan yang membuat penguasa dapat mengesampingkan hukum yang berlaku seperti di masa Republik Weimar ketika Hitler merebut kekuasaan atau India di masa rezim Indira Gandhi. Berbeda dengan itu, “kemunduran berkonstitusi” merupakan suatu upaya pengrusakan secara perlahan dan bertahapterhadap tiga elemen utama demokrasi yaitu pemilihan umum secara kompetitif, hak untuk berpendapat dan berserikat, serta prinsip negara hukum, oleh penguasa dengan memanfaatkan mekanisme hukum yang ditentukan konstitusi.

Sekalipun dilakukan secara lambat dan perlahan melalui mekanisme hukum, tetapi “kemunduran berkonstitusi” dapat menimbulkan efek yang sama besarnya kepada demokrasi seperti “kembalinya otoritarianisme”, sebab pengrusakan terhadap elemen-elemen demokrasi oleh penguasa secara jangka panjang akan menurunkan kualitas demokrasi yang pada akhirnya dapat menciptakan penguasa yang otoriter pula. Hal ini yang membuat Huq dan Ginsburg menganggap cara ini jauh lebih berbahaya bagi negara-negara demokrasi untuk saat ini, karena melalui cara tersebut, terkadang kita tak sadar bahwa seorang penguasa secara perlahan-lahan sedang berusaha menikam demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, disahkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017, dapat menjadi indikasi awal kemunculan salah satu ancaman utama demokrasi yaitu “kemunduran berkonstitusi”. Mengingat, Perppu tersebut jelas-jelas mengancam salah satu elemen utama demokrasi yakni kebebasan berserikat. Dan digunakannya mekanisme Perppu sebagai baju hukum oleh penguasa, menunjukan jika penguasa memanfaatkan celah hukum yang terdapat dalam UUD 1945.

Celah hukum tersebut muncul, melalui kewenangannya menetapkan Perppu dengan dalih “ihwal kegentingan yang memaksa” yang memiliki pengertian keadaan kedaruratan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 UUD 1945, sehingga Presiden dapat menetapkan aturan hukum setingkat undang-undang secara subjektif dan cepat tanpa persetujuan DPR selaku perwakilan rakyat apabila ia menilai terdapat keadaan darurat tertentu.

Sekalipun kewenangan menetapkan Perppu dengan dalih “ihwal kegentingan yang memaksa” masuk kedalam kategori penetapan keadaan kedaruratan, seperti yang terjadi di India pada masa Indira Gandhi dan di Republik Weimar pada masa Hitler, yang oleh Huq dan Ginsburg dicontohkan sebagai langkah-langkah untuk melakukan “kembalinya otoritarianisme”, namun saya menganggap penetapan Perppu tersebut sampai saat ini tak diikuti dengan langkah-langkah ekstrem yang dapat meruntuhkan demokrasi secara cepat dan tiba-tiba seperti di kedua negara tadi, maka itulah saya memilih mengkategorikan penetapan Perppu tersebut kedalam bentuk “kemunduran berkonstitusi” yang merusak salah satu elemen utama demokrasi secara perlahan, bukan memasukannya kedalam bentuk “kembalinya otoritarianisme” yang mensyaratkan runtuhnya demokrasi secara cepat.

Adapun mengenai dalih “kegentingan yang memaksa” yang mendasari dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 sebenarnya juga tak relevan, karena seperti yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, terdapat tiga tolok ukur yang harus diperhatikan ketika Presiden hendak membuat Perppu yakni: (1) Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. (2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, atau ada tetapi tak memadai. (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU sesuai prosedur biasa karena akan memakan waktu lama.

Dari ketiga tolok ukur yang ditentukan MK diatas, penetapan Perppu tersebut seharusnya tidak diperlukan, sebab pada kenyataannya telah terdapat UU yang mengatur permasalahan tersebut secara memadai, belum lagi seperti dikatakan Bagir Manan tak seharusnya sebuah Perppu mengatur hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat (Manan, 1999), sayangnya subjektifitas Presiden memainkan peran penting sehingga membuat Perppu ini ditetapkan, kendati ia tidak dibentuk dengan dasar yang kuat serta memiliki substansi yang kontroversial.

Memang, untuk sekarang saya merasa masih terlalu dini jika kita menyatakan penguasa bertindak otoriter. Namun dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang substansinya mengancam hak rakyat untuk berserikat secara jelas telah menjadi indikasi awal, bahwa bahaya terhadap demokrasi melalui bentuk “kemunduran berkonstitusi” mulai mengintai secara nyata. Oleh karenanya kita harus berhati-hati terutama dalam menyikapi isu-isu terkait demokrasi yang muncul belakangan ini, jangan sampai kita terkecoh oleh penguasa yang dari luar terlihat bersahaja tetapi secara diam-diam berusaha menikam demokrasi, karena bagaimanapun juga seperti diingatkan Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.