Jumat, Oktober 4, 2024

People Power atau Politik Kemarahan Ala Elite?

Adriansyah D Darmawan
Adriansyah D Darmawan
Pembelajar Lepas

Hajatan elektoral kita dalam hitungan hari akan final. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu hampir menyelesaikan proses penghitungan riil secara keseluruhan di 34 provinsi. Meskipun  santer dan nyaris dapat dipastikan bahwa petahana kembali memenangi tampuk kuasa, namun pengumuman resmi di tanggal 22 Mei 2019 tetap dinanti sebagai pengukuh legitimasi kemenangan.

Apakah dalam perjalanan menuju hingga sampai pada hari H hawa politik kita akan adem-adem saja? Nyatanya dan sepertinya, tidak. Tepat beberapa jam setelah pemungutan suara ditutup, kubu Prabowo-Sandi gagah mengumumkan deklarasi kemenangan.

Dikemas dengan prosesi sujud sukur dan paparan data prosentase kemenangan yang meyakinkan, deklarasi tersebut dilakukan tak hanya sekali. Para pendukungnya pun bagai disiram bahan bakar untuk terus menjaga militansi dalam mengawal penghitungan suara sembari meyakini aspek kemenangan Prabowo-Sandi.

Sementara, publik secara umum dibuat gaduh dan merasa mengalami de javu kemiripan kejadian saat Pilpres 2014 di saat mayoritas lembaga survey independen yang terdaftar di KPU merilis hasil hitung cepat yang jauh berbeda dari harapan mereka.

Merasa ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam proses penyelenggaraan pemilu, diadukanlah KPU kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Hasil dari pemeriksaan Bawaslu kemudian menyatakan bahwa KPU melakukan pelanggaran peraturan pemilu soal hitung cepat.

Realita kecurangan pemilu tak bisa kita nafikan. Praktik tersebut tentu mencederai demokrasi yang sedang kita bangun serta merugikan kedua belah pihak yang bertarung. Namun biarlah kita serahkan penanganannya kepada lembaga negara yang telah kita sepakati bersama sebagai penegak dalam koridor konstitusional.

Yang menarik adalah membaca cara berpikir para elite dalam merespon proses demokrasi elektoral yang belakangan ini justru membuat situasi kian memanas.

“People Power” yang serampangan

Terminologi People Power” akrab kita dengar dan baca di berbagai media pemberitaan akhir-akhir ini. Sumbernya dari tokoh reformasi yang dulunya turut terlibat aktif dalam mobilisasi “kekuatan rakyat” atau “the people” untuk menumbangkan sebuah rezim otoritarian.

Namun kali ini, Amien Rais, yang juga masuk dalam struktur BPN menggunakan People Power sebagai senjata serangan atas temuan kecurangan dalam proses elektoral. Meski setelahnya, Amien Rais mengganti menjadi “Kedaulatan Rakyat” sebagai ungkapan satire atas respon pemerintah terhadap penangkapan Eggi Sudjana yang memakai kata People Power sebagai upaya makar.

Sebagai sebuah ide pemikiran, tentu hal ini sah secara konstitusi dan tak ada pihak yang berhak untuk merepresi. Namun yang paling fundamental dan menarik untuk dibahas adalah bagaimana People Power atau Kedaulatan Rakyat kemudian ditempatkan dalam konteks yang justru mereduksi aspek politis gerakan tersebut.

Dalam kerangka demokrasi elektoral, People Power sebenarnya telah muncul secara organik pada proses pemilihan itu sendiri di mana rakyat memiliki peran determinatif yang setara untuk menyuarakan artikulasi politiknya melalui surat-surat suara.

Tentu tak selesai di bilik suara. Representasi People Power idealnya berlanjut dalam proses demokrasi yang jauh lebih substantif di mana setiap warga negara secara bersama-sama menjadi pengawas pemerintahan dengan menanggalkan sekat-sekat partisan di bilik suara. Atau secara gamblang tak lagi terpolarisasi sebagai cebong-kampret.

Di situlah letak masalah People Power yang dipakai Amien Rais. Ia membayangkan sekaligus mengorkestrasi People Power dalam kapasitasnya sebagai partisan salah satu kandidat. Seruannya pun lebih terdengar sebagai ancaman kepada rezim ketimbang ajakan mengawal demokrasi demi tercapainya kedaulatan rakyat. Penggunaan terminologi yang serampangan ini dapat kita pahami muncul dari kemarahan elite yang berkali-kali merasa dikalahkan serta temuan kecurangan elektoral sebagai justifikasinya.

Agregasi identitas dalam reproduksi kemarahan elite

Kecurangan-kecurangan pemilihan umum tampaknya hanya satu faktor minor yang memantik reproduksi kemarahan para elite partisan dalam proses demokrasi. Kemarahan yang kita lihat saat ini hanyalah tampilan muka dari serentetan politisasi identitas keagamaan yang bernilai jual politik bagi pasar mayoritas. Dan tak dipungkiri lagi, penggunaan embel-embel agama memang selalu menjadi basis langkah politik dari kubu tersebut.

Pertanyaannya, apa yang memunculkan kemarahan dan mengapa identitas dipakai sebagai jembatan untuk merebut simpati publik? Francis Fukuyama dalam buku terbarunya Identity memaparkan faktor di balik penggunaan politik identitas bagi suatu kelompok dikarenakan adanya perasaan termarginalkan dalam situasi politik tertentu dan secara paralel menuntut rekognisi sosial terhadap martabat kelompok tersebut.

Pada lanskap politik kita, kemunculan kelompok agama sebagai identitas politik yang membawa nilai-nilai konservatisme mulai masif pada persitiwa Surat Al Maidah 51. Momentum tersebut kemudian dipakai untuk membangun narasi besar bahwa kalangan muslim sedang dihinakan, dinodai ataupun dicemooh. Atas nama persatuan umat, digelarlah serangkaian aksi demonstratif berjilid-jilid dengan kombinasi tanggal yang sampai saat ini mudah diingat.

Dalam kacamata politik, kita pahami aksi tersebut ialah upaya meneguhkan eksistensi dan klaim rekognisi kelompok mereka. Namun yang menjadi persoalan kronis ialah keinginan atas klaim rekognisi tersebut dapat dengan mudahnya berubah menjadi upaya afirmasi atas kuasa superioritas kelompok.

Gejala ini pun sudah kita lihat dari penyelenggaraan Ijtima Ulama yang mewarnai proses elektoral belakangan ini. Hasil Ijtima Ulama paling akhir justru sangat otoritatif yang meminta KPU untuk mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Maruf Amin dikarenakan banyaknya kecurangan yang ditemukan. Padahal jalur konstitusional masih terbuka lebar untuk ditempuh. Alhasil, aspek kebenaran pun seolah dikuasai secara sepihak oleh kelompok tertentu.

Tapi apakah kelompok muslim “termarginalkan”? Hal ini bisa kita diskusikan lebih lanjut entah dari sisi perspektif mayoritas-minoritas, substansi nilai agama dalam kerangka kenegaraan atau dalam hal regulasi pemerintahan.

Namun satu hal, agregasi identitas yang telah dibangun dalam kurun waktu tersebut memuncak dengan tampilan kemarahan untuk digunakan sebagai upaya merebut arena politik yang selama ini urung dicapai. Konsekuensinya, aspek kemarahan yang digaungkan para elite beresonansi ke tataran pendukungnya dan berpotensi merusak jahitan relasi sosial masyarakat. Jika hal ini diteruskan tentu sangat tidak menyehatkan kondisi sosial politik kita.

Amien Rais merevisi People Power menjadi Kedaulatan Rakyat sebagai upaya satire. Dan sebagaimana cara kerja satire yang menyindir suatu keadaan, semoga pula hal itu menyindir semua pihak. Termasuk yang selama ini mengkapitalisasi “Kedaulatan Rakyat” untuk bisa dikembalikan pada marwah sebenar-benarnya kedaulatan rakyat.

Sehingga di tanggal 22 Mei 2019 nanti situasi tetap kondusif dan rakyat lah yang memenangi demokrasi elektoral dengan menerima dan mengawasi pemerintahan terpilih. Mari mencoba berkhusnudzon. Semoga. Tabik.

Adriansyah D Darmawan
Adriansyah D Darmawan
Pembelajar Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.