Hebohnya media dan khalayak ramai ketika Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti), Nadiem Makarim, menyampaikan kebijakan skripsi bukan lagi syarat wajib kelulusan program sarjana. Sambutan dan tanggapan yang beragam sudah tentu meramaikan isu ini.
Sebenarnya kebijakan ini sudah pernah disebut oleh Menristekdikti sebelumnya, Mohamad Nasir, pada 2015. Tanggapannya pun tidak jauh berbeda dengan saat ini yangmana suara akademisi dan publik terbagi dua.
Kebijakan Baru, Kontoversi Lama
Asoiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) wilayah Jawa Timur, Suko Wiyono, kala itu mendukung gagasan Nasir untuk menghapus skripsi. Menurutnya skripsi lebih mirip kompilasi rangkuman materi terkait suatu topik sehingga tidak mampu menunjukkan kemampuan, potensi dan kualitas mahasiswa.
Penghapusan skripsi baginya menjadi cara bagi pembenahan proses belajar mengajar. Dia menggarisbawahi bahwa keharusan linear menutup penelitian multidisiplin, tidak dialogis dan terbuka.
Mestika Zed, seorang guru besar Universitas Negeri Padang senada dengan Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Agus Maimun. Keduanya tidak sepakat dengan gagasan itu karena skripsi adalah aktualisasi dari ilmu didapat sekaligus ujian pertama kesarjanaan.
Mereka bersepakat bahwa mahasiswa harus bisa berpikir sistematis dan mampu menyampaikannya dalam tulisan. Zed bahkan menyebut bahwa penghapusan skripsi melahirkan sarjana pragmatis yang tidak mampu berpikir kritis dan solutif terkait keilmuannya juga kehidupan di masyarakat.
Sementara itu, survei Litbang Koran Sindo di tahun 2015 menyebutkan bahwa 50% dari 100 mahasiswa fan pelajar SMA di lima kota besar sepakat dengan tidak wajibnya skripsi sebagai prasyarat kelulusan. Tentunya penghapusan dan tidak wajib adalah dua hal yang berbeda, tapi yang menjadi isu kemudian adalah kemampuan literasi mahasiswa.
Literasi bukan cuma membaca dan menulis
Kekhawatiran para mahasiswa tidak mampu berpikir kritis dan memiliki kemampuan literasi memang wajar terjadi. Sebagai mantan guru dari semua jenjang pendidikan dan dosen di perguruan tinggi swasta, saya yakin literasi bukan cuma membaca dan menulis.
Kalaupun soal membaca, seseorang tidak cuma sekadar menyuarakan kata demi kata dari suatu bacaan. Dia harus mampu memahami bacaan itu secara harfiah, mampu menata informasi, merujuk, mengevaluasi dan mengapresiasi.
Setidaknya demikian kemampuan literasi berdasarkan Taksonomi Barret, sehingga ketika dia memenuhi lima kriteria itu dapatlah dia disebut sudah berpikir kritis. Meski begitu, kemampuan ini tidak bisa serta merta dibebankan kepada paa dosen, apalagi pembimbing, di perguruan tinggi.
Proses berpikir kritis dan berliterasi ini sudah seharusnya dibangun dan ditanamkan sejak dini. Bagaimanapun pendidikan pertama berasal dari lingkungan keluarga. Berdasarkan pengalaman, saya masih bisa menghitung dengan jari jumlah mahasiswa yang sudah mampu berpikir kritis di awal perkuliahan.
Memang di tahun terakhirnya banyak dari mereka mengalami peningkatan pada kemampuan literasinya. Namun, pendidikan sejak dini jauh lebih penting sebagai bekal dan modalnya di masa depan yang akan dituainya ketika dewasa. Proses panjang itu kemudian bisa diketahui dari kemampuannya menyampaikan gagasan lewat tulisan, misalnya esai.
Tulisan bukti literasi dan berpikir kritis
Ketika seorang mahasiswa diminta untuk menulis esai terkait topik tertentu, kemampuan berpikir kritisnya pun sedang diasah. Kepekaannya terhadap isu atau fenomena sekitar topik yang diangkat sedang diuji.
Dia harus mampu menganalisa isu dan gagasan dibaliknya baik informasinya disampaikan secara tersirat maupun tersurat. Pengalamannya sebagai individu secara tidak langsung akan mendorongnya memiliki koneksi dengan isu itu. Jikapun dia tidak berpengalaman, kemampuannya berpikir kritis akan mengarahkannya pada pencarian referensi.
Pada prosesnya, dia akan berpikir sistematis sehingga tidak asal mengambil referensi bahkan mengutip. Dia memahami bahwa untuk membahas suatu topik, sebuah batasan perlu ditetapkan sehingga pembahasan tidak melebar. Pembatasan yang dibuat menunjukkan kemampuannya untuk membuat hipotesis dari isu itu.
Dugaan sekaligus jawaban atas topik yang dibahas bisa benar atau kurang tepat, bahkan salah ketika dia menuliskan hasil evaluasinya. Cara dia mengambil simpulan dari pembahasan yang bisa jadi berbeda dengan hipotesisnya pun menunjukkan kedewasaan dan tanggung jawab keilmuannya.
Apakah semua ini hanya dilakukan pada saat skripsi? Tentunya tidak, sebab bukankah dalam setiap perkuliahan ada tugas menulis esai? Artinya seorang mahasiswa memang dididik untuk berpikir, mencari solusi, dan beraksi. Adapun aksinya bergantung pada orang per orang dan kebijakan yang menaunginya.
Literasi itu multidisiplin dan terbuka
Memang perlu diakui tidak semua mahasiswa mampu menulis dengan baik, tetapi setidaknya mereka memiliki kemampuan berpikir kritis. Bisa jadi solusi atau hasil berpikirnya tidak berupa gagasan yang sifatnya abstrak melainkan sesuatu yang konkret.
Dia mungkin menemukan bahwa isu kemiskinan struktural di masyarakat perkotaan bisa diangkat melalui sebuah media film. Padahal dia bukan seorang mahasiswa perfilman atau seni melainkan mahasiswa sosiologi, antropologi atau sastra. Dia akan mengeksplorasi kemampuannya dan berkolaborasi dengan rekan lainnya di bidang terkait.
Ketika dia melakukan proses ini, ada banyak keterampilan yang dilatih dan dikembangkan selain berpikir kritis dan sistematis. Keterampilan komunikasi interpersonal dan negosiasi, misalnya, akan diasah sebab dia harus mampu mengutarakan gagasannya pada mereka yang berada di luar keilmuannya.
Begitu juga keterampilan menyusun perencanaan, manajemen waktu, kerja sama tim, penyelesaian masalah, dan kepemimpinan akan muncul dan dilatih. Bentuk dari hipotesisnya yang semula abstrak bisa jadi melahirkan sebuah karya konkret berupa film pendek dengan kualitas dan potensi yang cukup mumpuni.
Simpulan: Ada Skripsi atau Tidak, Literasi adalah Sebuah Esensi
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di era ini memaksa semua orang untuk beradaptasi. Tidak cuma di kehidupan sehari-hari, tetapi khususnya di bidang pendidikan yangmana para pendidik dan siswanya perlu bersinergi.
Adalah benar bahwa skripsi bermaksud menguji kemampuan seorang mahasiswa berpikir kritis dan sistematis juga menyampaikannya dalam tulisan terstruktur. Namun jika dengan begitu kualitas, potensi dan kemampuan sesungguhnya tidak bisa diketahui,solusi lainnya perlu dilakukan.
Berliterasi tidak melulu soal membaca dan menulis suatu wacana, membaca fenomena di sekitar secara langsung dan menerjemahkannya menjadi suatu bentuk riil dan konkret sehingga hasilnya bisa dinikmati atau dirasakan bersama.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sepenuhnya siap berbenah diri sambil beriringan dengan perkembangan zaman? Sebab menurunnya tingkat literasi di kalangan pelajar dan mahasiswa tidak bisa melulu dilihat lewat hasil akhir yang sebenarnya menyimpan banyak permasalahan.