Sabtu, April 20, 2024

Penumpang KRL yang Dirindukan

suryani amin
suryani amin
sosiolog, penulis paruh waktu

Bagi penduduk Jakarta –istilah populer bagi penghuni kawasaan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), ketersediaan KRL menjadi penolong. Terutama bagi mereka yang mobilitas rutin hariannya menempuh rute dari rumah menuju Jakarta. Kaum ini, terbanyak adalah para pekerja kantor.

Bagi mereka, berkereta adalah solusi terbaik. Karena tidak tersedia pilihan yang lebih baik KRL menolong mempersingkat waktu tempuh. Hingga kini, kemacetan masih menjadi perkara besar yang belum terpecahkan bagi Jakarta.

Bahkan setelah keriuhan politik pergantian kepala daerah dalam beberapa periode pemilihan berlalu. PT. KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) membukukan jumlah penumpang mecapai hampir satu juta setiap hari dari 918 perjalanan di 2017. Kabarnya, PT. KAI menargetkan menjangkau hingga 1,2 juta  penumpang perhari di 2019.

Tulisan ini tidak hendak menyoal sengkarut  sistem transportasi publik dalam cakupan luas. Tapi menilik sikap (manner) penumpang KRL. Sebab polah bertransportasi jelas berkonstribusi memperbaiki sistem tranportasi publik. Manner penumpang merupakan satu elemen penting dalam sistem transportasi.

KRL sudah banyak berbenah kini. Mewakili banyak penumpang kereta, saya mesti berterima kasih. Jumlah kereta dan frekuensi perjalanan menjadi lebih banyak, infrastruktur ditata lebih baik. Jauh lebih nyaman ketimbang bertahun-tahun lalu dimasa KRL terasa mengingkari rasa kemanusian. Sebab menyepelekan penumpang sebagai hanya kerumunan yang hendak diangkut dengan layanannya. Sayangnya, kemajuan kereta tidak berbanding lurus dengan polah penumpangnya.

Paling sering, kita mendapatkan gambar yang beredar luas menunjukkan perilaku penumpang yang abai memberi hak duduk penumpang prioritas. Umumnya informasi semacam ini kemudian menjadi viral dan menarik simpati banyak orang. Ini salah satu sikap  buruk. Modusnya bisa perpura-pura tertidur, seolah-olah tidak menyadari atau  yang terparah, tahu tapi tidak peduli. Karena mengutamakan kenyamanan diri sendiri. Tapi bicara tentang sikap buruk penumpang KRL tidak  terbatas dalam memberi hak sepatutnya pada penumpang prioritas.

Jika anda penumpang rutin KRL, saya percaya Anda pernah menjadi saksi adu mulut antar penumpang. Dalam gerbong yang penuh berjejal di jam puncak kepadatan, seringkali beberapa penumpang tidak bisa mengendalikan emosinya. Hanya karena merasa kena sikut atau terdorong, bisa menyulut amarah.

Biasanya pada mereka yang terkena amarah dan juga tidak bisa menahan diri, adu kemarahan tidak bisa dihindari. Tidak ada toleransi sedikit pun. Padahal, mustahil bisa punya ruang yang leluasa untuk diri sendiri tanpa bersinggungan.

Penumpang garang

Di jam padat penumpang, di pagi dan sore hari, adalah saat di mana banyak para calon penumpang berubah menjadi beringas. Bagi mereka, yang terpenting adalah bisa terangkut segera. Tidak peduli apapun caranya. Jangan heran, Mbak-mbak dan Mas-mas kantoran berkostum rapi seketika berubah menjadi garang.

Sesaat menjelang kereta masuk, seluruhnya merangsek bahkan melewati batas garis yang diperbolehkan. Begitu pintu kereta terbuka, tidak ada kesempatan bagi penumpang turun dengan leluasa. Semua sisi dikepung untuk masuk. Tidak ada sisa ruang sedikit pun. Bahkan jika bisa, tubuh penumoang lain didesak paksa untuk bisa menyelip diantaranya.

Jangankan kenyamanan, keamanan dan keselamatan pun tidak jadi pertimbangan. Di saat demikian, jangan pernah berpikir tentang  kereta yang ramah bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik.

Popularitas penggunaan telepon pintar juga berdampak pada perilaku pengguna KRL. Dalam kondisi apapun, sebagian besar pengguna akan sibuk merunduk  menatap telepon di tangan. Sebagian membunuh waktu dengan membaca informasi dan bertukar pesar, sebagian sibuk menonton film atau mendengarkan lagu.

Sesaat menjelang tiba, kesibukan dengan telepon pintar terkait dengan aplikasi pemesanan transportasi daring untuk melanjutkan perjalanan. Ini bukan tentang salah atau benar. Tapi perkara menggunakan teknologi secara  bijak. Seringnya, menjadikan  penumpang kehilangan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Bayangkan pula dalam antrian turun, penumpang susah payah menyelamatkan ponselnya, atau bahkan terhambat langkahnya menghalangi penumpang lain di peron karena sibuk dengan telepon di tangan.

Dalam ruang publik, kita tentu tak hendak mendengarkan secara detil percakapan yang bersifat privat. Nah,sebagian penumpang sering lupa. Maka terjadilah, obrolan langsung dalam kereta, antar kawan ,antar pasangan, atau percakapan telepon dibiarkan nyaring hingga resonansinya sampai ke telinga penumpang lain.

Bersiaplah untuk tahu cerita  detil tentang penyakit yang diderita, atau mbak pengasuh yang pulang, keluhan tentang bos di kantor,  anak yang sulit makan, berat badan, bahkan jumlah gaji dan lain-lain menjadi konsumsi banyak orang.

Perihal pelecehan seksual dalam gerbong kereta, bukan isu baru. Seringnya hanya dibicarakan saat terjadi kasus yang tercium oleh media. Padahal secara konstan, pelecehan seksual dalam berbagai skala masih terjadi.

Nyatanya, menyediakan  gerbong khusus perempuan bukan jalan keluar tunggal. Sebab jumlah penumpang perempuan lebih banyak dari dua gerbong yang disediakan. Dalam kondisi padat, tidak ada yang bisa dilakukan petugas penjaga gerbong untuk mencegah atau menangani kasus demikian.

Terang saja, kita tidak cuma perlu kereta bersih, frekuensi perjalanan yang semakin sering, peron yang luas dengan jumlah bangku tunggu yang cukup atau penggunaan metode non-tunai yang mengefisienkan waktu antrian. Tapi juga perlu penumpang KRL yang punya manner. Kapan ya?

suryani amin
suryani amin
sosiolog, penulis paruh waktu
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.