Penulisan sejarah sastra Indonesia periode 1960-an membahas tentang politik. Hal ini terlihat bahwa berbagai peristiwa politik terjadi pada tahun 1960-an. Peristiwa tersebut banyak memakan korban jiwa bangsa Indonesia. Sejarah sastra Indonesia tentunya berkaitan dengan sastrawan dan karya sastra pada masa itu.
Politik masuk ke dalam sastra Indonesia karena adanya kebijakan di bidang sastra, yaitu “politik sebagai panglima”. Dampak dari kebijakan itu, sastrawan Indonesia pada periode 1960-an dibagi menjadi empat kelompok yaitu sastrawan lekra, sastrawan manikebu, sastrawan partai politik, dan sastrawan independen. Dari keempat kelompok sastrawan tersebut, sastrawan lekra yang sangat dekat dengan PKI dan menguasai media massa pada saat itu yang memungkinkan mereka untuk membungkam sastrawan manikebu.
Setelah peristiwa gerakan 30 September 1965, karya-karya sastra yang ditulis oleh sastrawan lekra dilarang beredar. Akibatnya, karya-karya sastrawan lekra itu lenyap dari publik, lenyap dari buku-buku pelajaran di sekolah, dan lenyap dari tanah airnya sendiri. Artinya kita kehilangan aset budaya dan sastra yang luar biasa besarnya. Meskipun begitu, sastrawan lekra juga ikut memberikan kontribusi yang baik bagi perkembangan sastra Indonesia.
Buku-buku sejarah sastra sampai saat ini bersifat kekuasaan. Kita semua mengetahui bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan, merupakan keadaan yang dialami oleh sastrawan dan masyarakat itu sendiri. Sastrawan lekra, sastrawan manikebu, sastrawan partai politik, dan sastrawan independen sangat berjasa bagi bangsa Indonesia. Karya-karya sastra yang mereka hasilkan itu dapat menjunjung tinggi kesusastraan sekaligus kebudayaan Indonesia. Dalam penulisan sejarah karya sastra tidak ada istilah kalah dan menang, benar dan salah, karena ini bukan sebuah perlombaan melainkan sebuah perbedaan dan keberagaman.
Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan lekra pada masa itu dibuat dengan pandangan-pandangan dari masyarakat itu sendiri dan penulisan karya sastra tersebut bersifat subjektif. Oleh karena itu, jika karya-karya sastra yang dibuat oleh sastrawan lekra dilarang beredar, maka kita sebagai pembaca sastra akan rugi karena kita tidak bisa menikmati karya sastra tersebut.
Yudiono K.S. memperhatikan bawa karya-karya sastrawan lekra itu merupakan aset budaya yang disia-siakan oleh pemerintah dan bangsanya sendiri. Oleh karena itu, Yudiono K.S. segera merevisi buku yang berjudul Pengantar Sejarah Sastra Indonesia dengan memberi tempat kepada sastrawan lekra. Alasan kenapa sejarah sastra Indonesia harus diperbaiki atau direvisi yaitu karena perkembangan zaman dan penulisan sejarah sastra seringkali hanya memperhatikan sastra kanon.
A. Teeuw dalam Kratz (1988) mengatakan bahwa kanon dalam sastra itu sangat penting, tetapi juga sangat berbahaya, karena kanon akan menimbulkan kecenderungan untuk memfosilkan sastra dan akan mencegah orang untuk membuat penemuan-penemuan baru. Dalam buku A Bibliography of Indonesian Literature in Journals, Kratz mencatat ada 27.078 judul karya sastra yang terbit di majalah pada tahun 1922-1982. Dengan rincian, puisi sebanyak 16.507 judul, prosa 10.389 judul, dan drama 182 judul. Dalam waktu 60 tahun, 5.506 sastrawan menghasilkan sebuah karya sastra berbahasa Indonesia dengan jumlah yang banyak. Namun, karya sastra yang ditulis melalui proses kanon yang rumit, karena tidak hanya ditentukan oleh faktor kesusastraan dan kebudayaan saja, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan bahkan politik.
Buku Kratz yang lain yaitu Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, memperlihatkan bahwa satrawan dan kritikus sastra sudah bertahun-tahun memikirkan dan membicarakan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Banyak hal yang dibicarakan dalam buku ini, salah satunya adalah pemikiran para sastrawan dan budayawan Indonesia mengenai sastra dan budaya pada 1928-1997. Beragam pemikiran tersebut memperlihatkan beragamnya perspektif yang bisa digunakan dalam melihat suatu peristiwa sejarah.
Kaitan antara sastrawan dengan karya sastra dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kita dapat menilai karya sastra tanpa harus menyangkutpautkan karya tersebut dengan pengarangnya. Kedua, bila kita ingin mengetahui makna dari sebuah karya sastra, maka pengarang atau sastrawan harus disangkutpautkan dengan karyanya. Bagaimanapun juga ide dan gagasan pengarang sangat berpengaruh dalam mengekspresikan sebuah karya sastra. Beberapa sastrawan memiliki karya besar yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Di antara sastrawan itu adalah Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Idrus, Sitor Situmorang, dan Utuy Tatang Sontani.
Penulisan sejarah karya sastra di periode 1960-an memang harus diperhatikan, karena di periode ini bernuansa politik. Sastrawan dalam menciptakan karyanya juga berdasarkan kenyataan yang dialami dan peristiwa yang terjadi. Sebagai bangsa Indonesia, tentunya kita mengapresiasikan karya-karya sastra yang ditulis oleh sastrawan dengan cara membaca dan melestarikan karya sastra.