Dalam kurun waktu satu tahun, Indonesia mengalami ribuan kali bencana gempa bumi, baik skala besar maupun kecil. Karena Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni, Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.
Kondisi geografis ini di satu sisi menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami namun di sisi lain menjadikan Indonesia sebagai wilayah subur dan kaya secara hayati.
Tidak hanya bencana alam yang disebabkan oleh kondisi geografis negara Indonesia saja, tetapi bencana alam yang disebabkan oleh perbuatan manusia juga banyak terjadi dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Seperti yang dilansir oleh Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dimiliko oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data kebencanaan yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2018-2019 ini telah terjadi sebanyak 5.089 jenis bencana.
Termasuk pula jenis bencana yang dimaksud yakni banjir, tanah longsor, kekeringan, putting beliung, abrasi, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi.
Selain itu, korban bencana alam yang meninggal dunia dalam kurun waktu setahun terakhir sebanyak 5.084 orang, 22.587 luka-luka, dan lebih dari 11 juta orang mengungsi di pengungsian.
Kerugian akibat bencana alam juga berdampak parah terhadap rumah-rumah penduduk dan fasilitas-fasiitas umum yang rusak. Tercatat oleh DIBI sebanyak 120.588 rumah rusak berat, 70.767 rusak sedang, dan lebih dari 190.000 rumah rusak ringan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Begitu pula dengan fasilitas yang lain seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan fasilitas peribadatan yang mengalami kerusakan lebih dari 5.000 unit.
Dengan kondisi seperti ini, nampaknya Indonesia harus berbenah diri dalam menerapkan sistem mitigasi pra-bencana di semua wilayah di Indonesia. Dosen sekaligus peneliti kebencanaan Universitas Padjadjaran, Bevaola Kusumasari menyampaikan, di banyak negara, bencana belum menjadi prioritas dalam pengelolaan kegiatan pemerintah.
Secara umum, beberapa negara maju yang memiliki pengalaman dan kesadaran atas risiko bencana mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk kegiatan mitigasi dan reparasi, disamping kegiatan respons dan recovery bencana.
“Bagi negara maju, meminimalisasi jumlah korban menjadi hal penting, dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini berbeda dengan negara berkembang yang lemah terhadap mitigasi dan preparasi” Ungkap Bevaola
Perlu adanya keseriusan pemerintah dalam menanggapi kondisi kebencanaan di Indonesia. Hal-hal yang perlu dibenahi dalam menerapkan sistem mitigasi pra-bencana di Indonesia yakni dengan menyediakan jumlah anggaran yang lebih dalam menyiapkan sistem mitigasi di semua wilayah Indonesia.
Kemudian, meningkatkan relasi dan kerjasama antar lembaga kebencanaan nasional maupun swasta dalam menerapkan sistem mitigasi bencana untuk mengurangi dampak/risiko bencana yang terjadi, lalu meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/risiko bencana.