Kekerasan terhadap perempuan perlu dipahami sebagai suatu pelanggaran terhadap hak dasar perempuan, yakni hak perempuan untuk menjalani kehidupannya secara bermartabat. Merujuk pada laporan Komnas Perempuan, angka kekerasan sempat turun pada 2016 dari 321. 752 laporan pada tahun 2015 menjadi 259.150. Angka kembali melonjak pada 2017 yang mencapai 348.446 laporan. Sementara data tahun ini sedang direkapitulasi dan akan dirilis pada Maret 2019.
Berdasarkan Data yang dirilis oleh Komnas Perempuan tahun 2013, ada 15 Bentuk Kekerasan Seksual yang terjadi merujuk pada hasil pemantauan selama 15 tahun terhadap kasus ini, dimulai dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2013, yakni 1) Pemerkosaan; 2) Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan; 3) Pelecehan seksual; 4) Eksploitasi Seksual; 5) Perdagangan Perempuan untuk tujuan seksual; 6) Prostitusi paksa; 7) Perbudakan seksual; 8) Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung; 9) Pemaksaan kehamilan; 10) Pemaksaan Aborsi; 11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) Penyiksaan seksual; 13) Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendeskriminasi perempuan; 15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan deskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Kekerasan di ranah publik dan domestik
Sejak ditetapkannya gerakan Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) yang mana merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terhadap masyarakat harus selalu memperhatikan kesetaraan dan keadilan porsi terhadap laki-laki dan perempuan didalam ranah publik. Sebagaimana diperkuat dengan UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan UU Nomor 7 tahun 1985 tentang Pelaksanaan dan implementasi PUG dan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000.
Namun problem diskriminasi gender khususnya kepada perempuan bukan lagi banyak terjadi pada penempatan porsi hak perempuan untuk mendapatkan kedudukan atau kesetaraan diranah publik, baik terkait pendidikan, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Melainkan dewasa ini adanya hak dan kebebasan perempuan dalam ranah publik justru semakin memperburuk kondisi perempuan untuk menjadi objek kekerasan seksual.
Sebagai contoh baru-baru ini kasus pelecehan seksual mahasiswi UGM (Universitas Gadjah Mada) saat KKN (Kuliah Kerja Nyata), kasus remas payudarah karyawati di Borneo, pencabulan tujuh siswa oleh guru SD di Gunungsitoli, pelecehan seksual pada pasien pijat tradisional di semarang dan pelecehan seksual pemotor kepada siswi SMA di Medan menjadi beberapa bukti bahwa keikutsertaan perempuan diranah publik turut menyubang cukup besar ruang kesempatan bagi terjadinya kekerasan seksual di ranah publik dalam institusi atau lembaga tersebut.
Mirisnya lagi problem kekerasan seksual ini sudah merebak ke berbagai aspek, bukan hanya aspek publik melainkan juga pada aspek domestik itu sendiri, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus pemerkosaan, pelecehan dan kekerasan seksual oleh keluarga atau saudara sendiri, kasus eksploitasi seksual dan pemaksaan seksual terhadap suami kepada istri sampai adanya fenomena budaya seks bebas pada tradisi Papua setelah menang perang.
Realita semacam ini menunjukkan bahwa kultur sosial bangsa ini masih menempatkan perempuan dalam lingkaran objek kekerasan seksual dan laki-laki sebagai pelakuya yang memiliki superioritas kuasa peran dan gender dalam kehidupan, sehingga kasus-kasus tersebut diatas masih terus terjadi dari generasi ke generasi baik diranah publik maupun domestik.
RUU PKS penting dan perlu dikawal
Suatu catatan yang perlu pahami bersama adalah bahwa kekerasan seksual pada dasarnya bukan hanya terjadi kepada perempuan namun juga dialami oleh laki-laki. Bahkan pada tahun 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat korban kekerasan seksual lebih banyak dialami anak laki-laki, lebih-lebih dijelaskan secara rinci oleh Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Listyarti Retno bahwa jumlah korban kekerasan seksual terhadap anak laki-laki mencapai 41 orang di Tangerang, 16 korban di Jakarta, dan 65 korban di Surabaya
Dengan demikian adanya draft RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang dirancang oleh Komnas Perempuan harus didesak untuk segera dipertimbangkan oleh DPR sebagai lembaga legeslatif yang berkewenangan melakukan penyusunan terhadap undang-undang untuk kemudian di sahkan oleh MPR demi memberikan regulasi kepada setiap pelaku kekerasan seksual dan memberikan payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual tersebut.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting karena didalam draft RUU tersebut terdapat kebijakan yang berpihak baik kepada laki-laki maupun perempuan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual ini dialami ataupun dilakukan oleh keduanya.
Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga memuat pasal tentang kekerasan seksual didalam rumah tangga yang mampu melengkapi kekurangan pada UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dinilai cukup memberikan melindungi dan memberikan keadilan kepada korban kekerasan di ranah rumah tangga. Didalam draft RUU tersebut diatur secara rinci penanganan kasus kekerasan seksual. Misalnya, pengaturan mengenai berbagai macam bentuk kekerasan seksual sesuai dengan gradasinya.
Selain itu, diatur juga sistem pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual Pidana pokok yang bisa dijerat tidak hanya berupa kurungan, tetapi juga meliputi rehabilitasi khusus bagi pelaku yang masih anak-anak, dan restitusi terhadap korban.
Pidana kurungan maksimal yang diatur adalah 40 tahun, dan hukuman seumur hidup bagi pemerkosaan dengan pemberatan jika dilakukan kepada anak-anak, wanita hamil, atau penyandang disabilitas. Dalam RUU PKS ini mengandung aturan pemidanaan yang diadopsi dari ketentuan dalam UU PKDRT sepertipidana tambahan mencakup pembatasan ruang gerak pelaku agar tidak mendekati korban, pembatasan ruang kerja sosial, pencabutan hak politik, pengumuman keputusan hakim, dan sanksi administratif.
Hal inilah yang kemudian menjadi urugensi RUU PKS untuk segera disahkan dan digalakkan oleh pemerintah, pasalnya fenomena kekerasan seksual ini sudah layaknya Iceberg Phenomenon (fenomena gunung es). Bagaimana tidak?
Pasalnya Komnas Perempuan menyatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual sesuai data tahun 2012 dengan laporan setidaknya terdapat 35 anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya. Data tersebut merupakan data yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan Perlindungan Anak, belum termasuk dengan kekerasan seksual yang tidak terdeteksi oleh pemerhati kekerasan seksual tersebut.
Pada akhirnya RUU PKS ini bukan hanya penting bagi kemajuan, keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia, melainkan juga perlu dikawal oleh berbagai lembaga dan didukung oleh masyarakat. Sampai pada hari dimana RUU tersebut disahkan, ia tetap hanya menjadi sebuah selogan kebangsaan, apabila masyarakatnya tidak turut serta dalam merealisasikan penghapusan kekerasan seksual dalam segala aspek kehidupan.