Pada 4 Mei lalu pegiat antikorupsi mendapat kado dari Mahkamah Konstitusi (MK). Layaknya sebuah kado pastilah mengejutkan, begitupun putusan MK ini ‘mengejutkan plus mengecewakan, dimana MK mengukuhkan posisi KPK di bawah kekuasaan eksekutif. Status quo berkonsekuensi seluruh pegawai KPK akan dialihkan statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan melalui rangkaian assesmen, yang selanjutnya disebut program ASNisasi pegawai KPK.
Abnormalitas ASNisasi
ASNisasi telah dilakukan terhadap 1.349 pegawai KPK. Pun Ketua KPK (Firli Bahuri) sudah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (SK 652/2021). Pada intinya, substansi SK 652/2021 menyatakan 75 pegawai KPK gagal dalam TWK dan meminta kepada 75 orang tersebut agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada pimpinan.
Sontak SK 652/2021 pun menuai kritikan dari khalayak ramai. Dikarenakan 75 orang itu memiliki rekam jejak bersih dan memainkan peran penting dalam menuntaskan kasus mega korupsi. Seperti, Novel Baswedan yang saat ini sedang menangani kasus korupsi di KKP. Harun Al Rasyid Kasatgas Penyelidik yang memimpin OTT Bupati Nganjuk. Andri Nainggolan yang saat ini mengusut kasus Bansos di lingkungan Kemensos, dan banyak lagi. Dan penonaktifan ini berpotensi menghambat efektivitas penyelesaian kasus-kasus mega korupsi tersebut. Kontroversi inilah yang melatarbelakangi viralnya #Berani Jujur Pecat. Sebab pegawai yang jujur seakan ingin disingkirkan dengan cara-cara abnormal.
Abnomarlitas itu terlihat dari beberepa pertanyaan yang diajukan dalam sesi TWK, misal: Apakah anda bersedia bila diminta melepas jilbab?; Pada saat pacaran sudah ngapain saja?; Kenapa di umur segini belum nikah?; Semua orang China sama saja?; dan pertanyaan terkait doa Qunut. Akademisi UGM, Oce Madril menilai tidak ada relevansi antara soal TWK dengan kompetensi pemberantasan korupsi dan jiwa nasionalisme seseorang (KOMPAS.com, 8/5/2021). Bahkan, jiwa nasionalisme dan kompetensi 75 pegawai yang dinonaktifkan sudah teruji dari pengabdian dan rekam jejak positif mereka di KPK. Sehingga sangat fair apabila 75 orang tersebut tetap dipertahankan untuk menduduki posisi strategis di KPK.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, apakah penonaktifan 75 orang tersebut sudah sesuai dengan hukum yang berlaku?
Tatib Manajemen ASN
Pasal 1 angka 6 UU No. 5/2014 tentang ASN, berbunyi “manajemen ASN adalah pengelolaan untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari redaksi pasal di atas maka pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN dapat dipersamakan dengan manajemen ASN. Juga redaksi pasal di atas sangat jelas bahwa program ASNisasi/ manajemen ASN bertujuan untuk merekrut orang-orang berintegritas dan memiliki komitmen kuat memerangi korupsi. Sehingga dinilai abnormal apabila 75 penggawa berintegritas disingkirkan dari KPK.
Berikutnya, Pasal 2 UU 5/2014 mengamanatkan bahwa dalam Tata Tertib Manajemen ASN harus mengimplementasikan ‘asas keterbukaan’ dalam program manajemen ASN (ASNisasi). Namun dalam kegiatan ASNisasasi ini, Pemerintah dan KPK tidak memberikan parameter kelulusan tes TWK dan syarat skor TWK. Potret penegasian asas keterbukaan, dan soal-soal TWK yang abnormal. Dua hal ini mengisyaratkan program tersebut merupakan jilid III pelemahan KPK, dalam hal pelemahan SDM KPK.
Penyalahgunaan Kewenangan
Hukum positif Indonesia tidak mengenal ‘Sanksi Penonaktifan Pegawai KPK’, yang ada hanyalah ‘Sanksi Pemberhentian Pegawai KPK (vide Pasal 9 ayat 4 Peraturan KPK 10/2016). Dikarenakan sanksi penonaktifan tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan, maka syarat penonaktifan pun tidak ada, sehingga pegawai KPK tidak dapat dinonaktifkan. Lain hal dengan sanksi pemberhentian, yang mana syarat pemberhentian terdiri dari 5: a. memasuki usia pensiun; b. meninggal dunia; c. permintaan sendiri; d. pelanggaran kode etik; atau tuntutan organisasi (vide PP 63/2005).
Dari uraian di atas, jelas bahwa 75 pegawai KPK mutlak tidak dapat diberhentikan dan dinonaktifan dengan rasionalisasi gagal TWK bukan merupakan syarat pemberhentian dan penonaktifan pegawai KPK. Artinya Firli Bahuri tidak bisa menonaktifkan 75 pegawai KPK dikarenakan tidak memiliki landasan hukum (legal standing). Oleh karena itu, penerbitan SK 652/2021 oleh Firli Bahuri dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kewenanangan (a buse of power).
Penyalahgunaan kewenangan ini terjadi karena kekosongan hukum (recht vacum), yang mana tidak ada regulasi yang mengatur ihwal penentuan nasib setiap pegawai KPK yang gagal dalam program ASNisasi. Kekosongan hukum ini melanggar asas ‘kepastian hukum’ sebagaimana amanat Pasal 2 UU 5/2014 tentang ASN. Asas kepastian hukum mengharuskan setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN wajib mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
Senada dengan itu, dalam tata kelola pemerintahan dikenal pula asas ‘wet matigheid van bestur’ yang berarti setiap tindakan dan keputusan pemerintah harus ada dasar hukumnya. Dalam konteks ini, KPK sebagai sub lembaga di bawah kekuasaan eksekutif harus memiliki legal standing terlebih dahulu sebelum mengeluarkan ‘Keputusan Penonaktifan 75 pegawai KPK’.
Secercah Asa
Soal TWK yang abnormal, dan penyalahgunaan kewenangan, kekosongan hukum, tiga problem ini tentu melanggar hak konstitusional seluruh pegawai KPK wabil khusus 75 pegawai berintegritas KPK. Juga potret ini kontradiksi dengan putusan MK nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menggariskan bahwa peralihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK dalam bentuk apa pun.
Oleh karena itu, menurut penulis terdapat tiga hal yang dapat ditempuh oleh pemangku kepentingan dan pihak terkait: Pertama, konsekuensi logis Indonesia sebagai negara hukum maka program ASNisasi pun perlu ditopang dengan regulasi hukum yang memadai, sehingga pemerintah harus mengadakan peraturan yang mengatur secara komprehensif mengenai ASNisasi pegawai KPK.
Kedua, Firli Bahuri sebagai Ketua KPK perlu mengeluarkan Surat Keputusan Ketua KPK yang mengembalikan tugas dan tanggung jawab 75 pegawai KPK, dan menyatakan SK terdahulu telah keliru. Apabila ini tidak dilakukan, maka langkah ketiga dapat ditempuh.
Ketiga, 75 pegawai KPK dapat mengajukan gugatan kepada PTUN, dan PTUN diharapkan mau membatalkan Surat Keputusan Penonaktifan 75 pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat dalam TWK.