Selasa, Oktober 8, 2024

Penjarahan Saat Bencana, Antara Survival dan Aji Mumpung

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Bencana alam yang terus menerus menghantam Indonesia sungguh memilukan. Terakhir terjadi Gempa yang disusul gelombang tsunami yang meluluh lantakan Donggala dan Palu pada Jumat (28/9/2018) lalu. BNBP menyatakan bahwa jumlah korban meninggal dunia per (3/10/2018) mencapai kurang lebih 1.234 orang. Selain itu, jumlah pengungsi juga menembus kurang lebih 61.867 orang yang tersebar di 109 titik pengungsian.

Setelah bencana tersebut terjadi, aktivitas perekonomian di kota Palu, Donggala, dan sekitarnya mendadak lumpuh. Toko-toko yang sedianya menyediakan bahan pokok tak lagi beraktivitas. Kelangkaan logistik pun terjadi, ditambah lagi distribusi bantuan dari Pemerintah belum merata yang disebabkan karena medan bencana yang sulit.

Kondisi yang tidak menentu inilah yang mendorong Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mempersilahkan warga untuk mengambil barang-barang di minimarket di sekitar bencana dan memastikan Pemerintah akan menggantinya.”Kami sudah perintahkan untuk Alfamart dan Indomaret itu sudah bisa diambil barang-barangnya. Catat semua apa yang diambil, diinventaris. Kami akan bayar itu semua.” Hal ini disampaikan dalam konferensi pers (30/9/2018).

Antara Solusi Masalah

Pernyataan Mendagri tersebut yang kemudian menghangat dan disorot oleh beberapa media di Indonesia. Bahkan Presiden Joko Widodo juga memberikan komentar dan memberikan pembelaan terkait kasus ini,  “…dalam keadaan darurat, jangan masalahkan hal kecil yang sebetulnya tidak jadi masalah dasar…”. Isu ini meluas lantaran beredar foto dan video yang memperlihatkan warga “menjarah” dengan mengambil barang-barang logistik di mini market/ mall-mall besar.

Foto dan vidio tentang penjarahan tersebut tersebar, bahkan ada juga masyarakat yang menjarah televisi di toko elektronik, membobol emas dan mesin ATM. Jika yang dijarah adalah kebutuhan logistik seperti makanan dan obat-obatan, secara kemanusiaan masih bisa ditolerir karena bantuan dari Pemerintah belum tersebar secara merata. Tetapi jika yang dijarah tidak ada hubungannya dengan mekanisme mempertahankan hidup (survival) maka pelaku penjarahan sungguh tidak dapat dimaafkan.

Penjarahan ini “mungkin” disebabkan karena blunder instruksi Mendagri tempo hari ataupun karena korban yang awalnya menerapkan mekanisme survival berubah menjadi “aji mumpung” yang disalahartikan dan dimanfaatkan oleh beberapa oknum. Situasi tersebut memberikan gambaran bahwa korban gempa tak terkendali.

Atas polemik di atas, Mendagri kemudian mengklarifikasi pernyataannya. Ia menyebut yang ia minta adalah Pemda memfasilitasi membeli makanan dan minuman dari toko. “Dan saya minta pengawalan Satpol PP dan Polisi.” Ia menegaskan bahwa itu bukan penjarahan. Ia mengaku mempersilakan warga mengambil bahan makanan dan minuman karena ketika itu bantuan sulit masuk.

Dalam hukum pidana terdapat alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan salah satunya karena alasan perintah jabatan (ambtelijk bevel). Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa tidak dikenakan hukuman pidana kepada seorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu.

Mungkin, dalam kasus instruksi Mendagri yang memperbolehkan para korban untuk mengambil kemudian disalahartikan menjadi menjarah dapat dibenarkan lewat ketentuan ini. Tetapi pertanyaannya adalah apakah Mendagri berwenang?

Banyak pengamat menyatakan bahwa Mendagri sebenarnya tidak memiliki kewenangan dalam hal pengambilan kebijakan terkait bencana tanpa koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007), menyebut bahwa BNPB bertugas: “memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara. Sehingga pemegang komando apabila terjadi situasi seperti ini berada di tangan BNPB.

Menciptakan Ketenangan 

Buku Panduan Operasional tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) ketika Terjadi Bencana Alam (Operational Guidelines and Field Manual on Human Rights Protection in Situations of Natural Disasters) memberikan mekanisme terkait antisipasi penjarahan yang terjadi dan dapat diterapkan, sebagai berikut:

Pertama, tentang perlindungan dari kekerasan yang intinya bahwa para pejabat yang berwenang hendaknya menempatkan aparat penegak hukum di bebarapa titik yang memiliki risiko mengalami atau sedang mengalami ketidakpastian hukum dan ketertiban termasuk kekerasan, perampokan, atau penjarahan.

Kedua, tentang perlindungan atas hak ekonomi (properti dan kepemilikan) yang intinya  menyatakan bahwa para pejabat yang berwenang harus diminta sebisa mungkin mencegah penjarahan, penghancuran, dan perampasan sewenang-wenang atau ilegal, pemanfaatan terhadap properti dan kepemilikan yang ditinggalkan orang-orang atau masyarakat-masyarakat yang terpaksa mengungsi akibat bencana alam.

Para pengusaha/pemilik toko yang juga menjadi korban gempa dan tsunami, dengan adanya penjarahan, kerugian mereka jadi berlipat ganda. Maka, pengambil kebijakan perlu hati-hati dalam memutus suatu kebijakan. Apalagi kebijakan tersebut terkait penanggulangan bencana alam yang menuntut aksi cepat tanggap. Jangan sampai niat baik memberikan kesempatan kepada korban dengan mekanisme survival berubah, disalahartikan dan dimanfaatkan menjadi “aji mumpung” oleh beberapa oknum. Oknum yang memanfaatkan “aji mumpung” harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.

Usaha di atas bertujuan untuk menciptakan ketenangan sehingga kepanikan yang melanda korban bencana dapat hilang. Selain itu, upaya-upaya lain seperti mempercepat pendistribusian bantuan (kebutuhan dasar dan logistik) secara merata dan adil, pencarian korban yang hilang, dan pemulihan dan perbaikan infrastruktur juga penting untuk dilaksanakan.

Antara Foto/ Muhammad Adimaja

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.