Sebagian persoalan dalam praktik demokrasi di Indonesia muncul dari kalangan elite yang membajak sistem. Masyarakat sebagai pemilik sah kedaulatan tertinggi dalam demokrasi hanya dijadikan sebagai objek, bukan subjek demokrasi; sebagai objek permainan bukan subjek yang bermain.
Partai politik yang menjadi tempat bernaung pun cenderung oligarkis yang melahirkan kesenjangan antara elite dan masyarakat. Mereka membangun kultur feodalis dan merasa dirinya sebagai penguasa atas rakyat. Maka menjadi masuk akal ketika para relawan-relawan yang terus menumbuh dalam setiap momentum politik bergerak di luar jalur organisasi partai politik.
Selain persoalan yang muncul dari kalangan elite, persoalan demokrasi datang pula dari masyarakat sendiri yang belakangan cenderung pragmatis. Di satu sisi, era demokratisasi melalui momen politik dewasa ini sangat membanggakan, membawa demokrasi lebih dekat dengan masyarakat hingga pelosok negeri. Namun di sisi lain, masyarakat banyak terjebak kepada ketidaktahuan esensi demokrasi. Momen demokrasi seperti pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) menjadi objek untuk mengeruk keuntungan material sebagian masyarakat dan kemenangan bagi pihak yang berkontestasi.
Kecenderungan semacam ini seakan menjadi kultur demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Bergesernya nilai-nilai demokrasi yang demikian disebabkan oleh pelaksanaan pilkada yang banyak diwarnai praktik-praktik perusakan sendi-sendi demokrasi dengan jurus politik uang misalnya. Oleh karena itu, secara filosofis syarat utama untuk membangun kultur keadaban demokrasi adalah memastikan nilai-nilai dan etika demokrasi menjadi karakter elite dalam hal ini partai politik dan masyarakat.
Mengapa? Karena demokrasi tidak hanya suatu bentuk negara ataupun sistem pemerintahan, tetapi juga gaya hidup (lifestyle) serta tata masyarakat tertentu, yang karena itu juga mengandung unsur-unsur moral. Nilai demokrasi harus menjadi laku (etik). Ia harus menjadi norma etika keseharian yang dijiwai oleh kepribadian bangsa Indonesia.
Demokrasi tidak pernah mungkin bergerak di ruang hampa, ia juga memerlukan penyesuaian dengan sosio-historis, moral kebudayaan (habitus) dan ideal-ideal kemasyarakatan. Adapun penguatan kultur demokrasi di masyarakat, pelembagaannya bisa melalui pendidikan (citizenship education) dan institusi masyarakat sipil. Sebab kata kunci penting dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat.
Karena itu, penguatan sistem dan kultur demokrasi adalah berorientasi pada penguatan kedaulatan rakyat. Selama ini proses membangun kedaulatan dan kecerdasan berdemokrasi di masyarakat ditopang oleh gerakan civil society yang sejak lama telah mengakar di masyarakat. Mengutip pernyataan Mitsuo Nakamura mengatakan bahwa akar masyarakat sipil di Indonesia bersumber dari berbagai asosiasi kerelawanan (vuluntary association) yang memang tumbuh sejak masa kolonial. Hal yang paling penting dalam penguatan demokrasi di masyarakat adalah dengan mengidealisasi kembali keselarasan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang oleh Soekarno disebut dengan “sosio-demokrasi”.
Oleh karena itu, dalam konteks sosio-ekonomi ini, negara harus terus mendorong dan memperbesar masyarakat untuk masuk ke kelas menengah (middle class), sebab dengan demikian mereka independen secara ekonomi, terdidik, dan mampu menjadi agen bagi menguatnya keadaban demokrasi. Selain sudah barang tentu mengurangi ketimpangan dengan sangat signifkan.
Belakangan, tumbuhnya kelas menengah millenial yang cerdas perlu terus diberdayakan (empowering) sehingga mereka berdaulat dalam menciptakan dan memperoleh akses dan tidak mudah tergerus dalam praktik demokrasi yang tidak bermartabat. Selain penguatan kedaulatan rakyat melalui pemberdayaan masyarakat sipil, hal yang tak kalah penting adalah memperbaiki institusi demokrasi seperti sistem politik dan partai politik.
Institusi politik juga bergerak dan berpengaruh dalam membangun kultur demokrasi apakah demokrasi itu akan bermartabat atau tidak. Sebab kultur demokrasi tidak hanya bergantung pada sistem norma yang mengatur mekanisme dan perilaku politik. Tetapi juga sangat dipengaruhi oleh budaya dalam praktik politik. Oleh karena itu, penguatan institusi partai politik yang demokratis hanya dapat menguatkan demokrasi (Pancasila) pada saat dibarengi dengan perubahan budaya politik. Pengaturan partai politik dalam demokrasi memang merupakan syarat yang diperlukan, walaupun tidak dengan sendirinya menjadi penentu (necessary but not sufcient).
Selama ini masyarakat apatis terhadap partai politik karena perilaku elite dan lembaga politik yang tidak mencerminkan perilaku keadaban demokrasi (democratic civility). Patut diakui beberapa pengamat dan para peneliti sangat khawatir dengan perilaku dan praktik politik di Indonesia, terutama setelah sistem politik berubah dengan adanya tiga kali momen pemilihan umum baik daerah maupun pusat dalam lima tahun periode kekuasaan. Kekhawatiran itu muncul ketika belakangan ini praktik berpolitik yang memberikan dentuman manipulatif melalui isu-isu SARA yang berpotensi membangun fragmentasi identitas yang berhadap-hadapan satu sama lain. Berbagai tren menunjukkan ke arah penguatan demokrasi dan kulturnya yang terus membaik.
Para peneliti dan pengamat optimis akan demokrasi di Indonesia terutama dengan tumbuhnya kelas menengah dan generasi millenial yang tidak rigid, tidak hitam putih, dan dengan kapasitas yang mereka miliki mampu men-screening berbagai isu. Namun demikian, praktik politik masih saja terus mengkhawatirkan seiring dengan menumbuhnya praktik kepentingan politik yang bisa membelok ke arah konservatisme akibat dari kapitalisasi agama sebagai bagian strategi dari electoral vote.
Sebab, selama ini isu SARA diangkat ke ruang publik dengan teknik pelintiran kebencian. Dampak dari pelintiran kebencian ini sangat beragam, misalnya dari sisi elektoral (manipulasi ketakutan sebagai strategi kampanye politik), sosial (marginalisasi agama minoritas), dan ideologis (sensor terhadap bukubuku dan karya seni yang menentang narasi dominan).
Dampak dari pelintiran kebencian yang berkembang belakangan dalam kultur demokrasi perlu perhatian kita semua. Karena itu, Indonesia sebagai negara demokrasi perlu merespons hal ini dengan berbagai perangkat, seperti hukum, penguatan perspektif kewargaan, dan lain sebagainya tanpa harus menghilangkan esensi dan kebutuhan kebebasan berbicara. Sehingga trayektori demokrasi Indonesia bergerak ke arah egalitarian reciprocity. Dengan demikian kultur demokrasi yang berkembang adalah kultur yang saling menerima dan mengakui tanpa harus mengeksklusi satu atas yang lain.