Saya masih terbayang bagaimana warga di desa begitu bahagia sekaligus antusias. Kebahagiaan mereka bukan semata karena adanya program dana desa. Bukan. Melainkan karena mereka sudah mulai dilibatkan dalam setiap tahapan pembangunan desa. Termasuk pada tahap perencanaan jangka menengah pembangunan desa (RPJMDes).
Bagaimana tidak bahagia? Selama mereka berdesa, baru saat itu mereka mengetahui tentang istilah RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Apalagi kelompok perempuan dan marjinal. Mereka yang selama ini sebagai objek pembangunan, kini mereka seakan dimanusiakan. Suara mereka sangat penting dalam menentukan pembangunan di desanya.
Bagi pemerintah desa yang peduli pada desa dan warganya, mereka pun merasakan hal yang sama. Bagaimana proses partisipasi telah meringankan bebannya sebagai Pemdes yang juga ‘diserbu’, ‘dihajar’, dan ‘dituntut’ serba cepat dalam memahami semua perubahan lembaran kebijakan. Belum lagipersoalan administrasi dan keuangan yang cangat menguras energi mereka, hingga tak terpikirkan merangkul warga dalam proses pembangunan desa.
Kualitas RPJMDes
Lalu, baru-baru ini kabar tak terduga seakan menghantam partisipasi warga, yaitu rencana penghapusan RPJMDesa. Sejak ada kabar akan adanya penghapusan RPJMDesa, para Pemdes dan warga yang saya kenal semua menyayangkan. Apalagi mereka yang mulai menyusun RPJMDes dengan pendekatan apresiatif desa.
Benar bahwa akan ada dampak dari setiap kebijakan, termasuk kebijakan menghapus RPJMDesa. Penghapusan RPJMDesa akan berdampak negatif bagi kualitas perencanaan pembangunan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, dan eksistensi partisipasi masyarakat desa.
Kita semua tahu bahwa kelahiran Undang-Undang (UU) Desa No 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai titik tolak pembaharuan pembangunan di tingkat desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa atau RPJMDes merupakan amanat Pasal 79 UU No 6/2014 tentang Desa. Anggapan bahwa desa semata direpresentasikan oleh kepala desa (Kades) dan perangkat masih kuat bercokol. Hal ini berimplikasi minimnya ruang partisipasi yang dibuka untuk masyarakat agar dapat berperan dalam pembangunan desa.
Kualitas RPJMDesa yang dirumuskan berdasarkan partisipasi warga tentunya akan berbeda jika hanya dikerjakan beberapa orang sesama perangkat desa. Semua proses panjang penyusunan RPJMDesa membutuhkan partisipasi dari warga. Mulai dari pra-Musrenbangdes, Musrenbangdes, penyusunan dokumen RPJMDes, hingga RPJMDes ditetapkan.
Bahkan ketika di tahun berikutnya membutuhkan review hingga menghasilkan RPJMDes perubahan, pun peran warga tetap dibutuhkan. Kenapa? Agar desa membuat perencanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan warganya. Tanpa pelibatan warga, RPJMDes hanya berupa program pesanan elit tertentu di desa.
Beragam praktik dan pembelajaran telah muncul sebagai bagian dari upaya menggerakkan desa menjadi subjek pembangunan seutuhnya. Idiom subjek tidak bermakna pemerintahan desa semata, melainkan juga bermakna masyarakat.
Desa dalam kerangka UU Desa adalah kesatuan antara pemerintahan desa dan masyarakat yang terjawantah sebagai masyarakat pemerintahan (self governing community) sekaligus pemerintahan lokal desa (local self government). Meskipun pada pemerintahan desa, anggapan bahwa desa semata direpresentasikan oleh kepala desa (Kades) dan perangkat masih kuat bercokol. Hal ini berimplikasi minimnya ruang partisipasi yang dibuka untuk masyarakat agar dapat berperan dalam pembangunan desa.
Indikator Eksistensi Desa
Perencanaan juga menjadi salah satu indikator eksistensi desa sebagai subjek secara utuh. Berdasarkan data hasil peneraan program yang dilakukan Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta tahun 2015-2017, praktik penekanan program dan isi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) oleh supra desa masih kerap ditemukan paska pengundangan UU Desa sebagai teknis penyusunan dokumen.
Pemeriksaan dan evaluasi atas rancangan dokumen RPJMDesa pun masih kerap berkutat pada hal teknis dan tidak pada substansi rencana pembangunan itu sendiri. Terdapat dua isu besar dalam perencanaan di tingkat desa, salah satunya adalah partisipasi.
Beragam strategi dari kelompok masyarakat sipil juga telah dilakukan untuk membangkitkan partisisipasi warga. Karena selama ini masyarakat dinilai masih bersikap tidak peduli atas ruang “menjadi subjek” yang sebenarnya telah terbuka luas. Padahal sikap tidak peduli masyarakat desa bisa jadi karena selama ini kurang dirangkul pemerintahnya.
Menurut Direktur Infest Yogyakarta, Irsyadul Ibad, dalam “Perencanaan Apresiatif Desa“, selama ini pembangunan tidak lagi bermakna menggerakkan masyarakat, melainkan semata untuk menciptakan solusi-solusi atas persoalan yang partikular. Inventarisasi masalah melalui forum musyawarah desa (Musdes) dan proses tabulasi kemungkinan solusi menjadi yang paling umum. RPJMDesa dan RKPDesa walhasil menjadi dokumen yang mencoba mengarahkan pembangunan pada hal-hal partikular yang dinilai sebagai masalah. Sementara, pengembangan dan upaya menggerakkan masyarakat menjadi terabaikan.
Cara pandang berbasis defisit tersebut banyak memperoleh kritik dan masukan. Dibalik ragam persoalan dan masalah yang terjadi di tingkat desa, terdapat sekian banyak potensi serta kekuatan yang kerap tidak diperhitungkan.
Menjadikan masalah sebagai akar pertimbangan penyusunan perencanaan pembangunan hanya akan menghasilkan kerangka pembangunan yang parsial dan jangka pendek. Sehingga perencanaan apresiatif yang berangkat dari paradigma pemberdayaan komunitas/masyarakat berbasis aset (Asset Based Commnity Development atau ABCD) berkembang, termasuk dalam perencanaan desa.
Namun, semoga rencana penghapusan RPJMDesa tidak terjadi. Apalagi di tengah partisipasi warga yang sudah mulai menguat.