Notifikasi Whatsapp berbunyi menandakan ada sebuah pesan yang masuk, dan ternyata adalah pesan yang sedikit mengecewakan, karena berisi pengumuman kelolosan DAM Nasional (Perkaderan di IMM) yang kebetulan saya tidak lolos dalam kesempatan yang pertama ini. tak lama kemudian seorang teman menelepon untuk mengajak ke Banyuputih, Batang (17/3).
Dengan sedikit kekecewaan yang masih terasa, berangkatlah kami berdua dari Semarang ditengah terik panas sang surya untuk mendatangi lokasi penggusuran komplek Pangkalan Truk di Banyuputih Batang. Datangnya kami adalah untuk membersamai teman-teman Aliansi Batang Melawan untuk mengantarkan surat permohonan pengunduran penggusuran dari Komnas HAM di Kantor Bupati Batang.
Sebelumnya, Senin (08/3) bertepatan pada International Women’s Day seorang wanita tua berteriak histeris melihat rumahnya dihancurkan dengan bulldozer. Penggusuran komplek pangkalan truk dilakukan oleh aparat berseragam lengkap dengan membongkar rumah dan kios yang berada di jalur Pantura Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Bekas pangkalan parkir truk wilayah jalur pantura itu merupakan lahan milik pemerintah setempat yang nantinya akan dialihfungsikan menjadi gedung Islamic Center Kabupaten Batang.
Sejak awal masyarakat sudah melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan tersebut, karena berpotensi melanggar hak asasi manusia seperti hak atas tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Selain itu, rencana pembangunan Islamic Center juga dikhawatirkan melahirkan diskriminasi kepada warga yang terdampak dan akan melahirkan adanya tindakan pemerintah yang sewenang-wenang (arbitrary power). Saat ini ada 43 dari 82 bangunan tempat tinggal yang sudah dirubuhkan oleh aparat gabungan tersebut.
Di waktu yang sama (08/3) sedang dilaksanakan rapat kordinasi antara Gubernur Jateng, Bupati Batang beserta jajaran dan Komnas HAM. Sejalan dengan itu, Rabu (10/3) Komnas HAM sudah menjadwalkan pertemuan dengan warga dalam rangka pra mediasi. Komnas HAM padahal sudah menyampaikan bahwa kasus ini sudah ditangani dan dalam pengawasan Komnas HAM.
Pemerintah secara arogan tidak menghormati proses yang sedang berlangsung. Seharusnya, tidak ada pergerakan apapun dari aparat dipangkalan selama belum ada hasil final dari Komnas HAM. Perwakilan mahasiswa yang menegaskan hal tersebut ke aparat yang bertugas bahkan meminta surat tugas tidak menghiraukan hal tersebut. Hasilnya, 1 mahasiswa diamankan oleh aparat.
Kamis (18/3) aparat kembali datang untuk melakukan pembersihan lokasi, setelah sebelumnya penggusuran belum sepenuhnya terselesaikan. Upaya penolakan juga masih terjadi yang dilakukan oleh masyarakat dan didampingi oleh mahasiswa. Negosiasi masih diupayakan sebagai tindakan merayu aparat agar tidak menggusur, namun upaya itu berjalan cukup sulit dan mengalami kegagalan, akhirnya alat berat yang digunakan aparat satu persatu menghancurkan bangunan rumah dan kios yang dibangun warga. Pemerintah kabupaten memberikan kompensasi sebesar 3 juta rupiah sebagai ganti pindah barang. Dan sekarang nasib dari warga yang terdampak masih terkatung-katung, ada yang memilih menginap di saudara, mengkontrak rumah baru, atau bertahan di lokasi dan bertahan di tenda darurat yang dibangun swadaya oleh warga dan mahasiswa.
Menurut Arif Afruloh yang kebetulan adalah Menteri Aksi dan Propanda BEM KM UNNES sekaligus Sekretaris bidang Hikmah PC IMM Semarang yang ikut mendampingi selama 3 bulan, mengemukakan bahwa tindakan yang dilakukan aparat adalah tindakan yang membrangus ruang hidup rakyat dan melanggar Hak Asasi Manusia, sebaiknya pemerintah bisa melakukan pendekatan yang lebih humanistik apalagi di tengah pandemi ini.
Pendekatan Kebijakan Publik yang Tidak Humanistik
Kebijakan Publik yang dilakukan pemerintah sudah semestinya didasarkan pada kebutuhan masyarakat, pembangunan Islamic Center yang akan dilakukan Pemkab Batang merupakan hal yang baik dan harapannya bisa menjadi bagaian dari upaya memberikan fasilitas kepada masyarakat untuk kemaslahatan. Hanya saja kebijakan yang baik harus diiringi dengan pendekatan yang baik pula.
Tindakan penggusuran dan arogansi aparat adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Pendekatan humanistik dapat dimaknai bahwa seseorang dalam memperlakukan orang lain harus memperhatikan sisi kemanusiaan dari orang, kelompok, atau masyarakat itu. Artinya apabila individu atau kelompok menjadi bagian dari administrasi negara (publik), maka pemerintah dalam melakukan perumusan kebijakan harus pula memperhatikan sisi humanis dari masyarakat sebagai objeknya.
Tujuan kebijakan publik sendiri adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Apabila kebijakan publik justru merugikan rakyat, agaknya pemerintah perlu belajar lagi soal teori kebijakan publik. Kebijakan harus diarahkan sebagai upaya Humanisasi (memanusiakan manusia), keberpihakan kepada rakyat kecil juga harus menjadi prioritas.
Bahkan ketika kita melihat kebelakang tindakan penggusuran yang disertai represifitas aparat terus terjadi di berbagai daerah. Dalam waktu yang tidak jauh, di Pancoran Jakarta pemerintah melakukan penggusuran di tengah pandemi, yang dimana pemerintah harusnya fokus pada penanganan pandemi dan dampaknya di sosial ekonomi, justru malah melakukan tindakan yang tidak berpegangan pada undang-undang (Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999)
Membangun Simbol Keagamaan, Menggusur Esensi Keagamaan
Dikutip dari situs jatengprov.go.id, Islamic Center di Batang ini bakal dibangun di tanah seluas 1,8 hektare. Pembangunan Islamic Center ini menggunakan anggaran APBD senilai Rp 43,5 miliar, dan pada tahap pertama ini telah dianggarkan dari APBD 2021 senilai Rp 15 miliar. Pembangunan Islamic Center Kabupaten Batang merupakan salah satu upaya membangun monumen keagamaan, yang secara fungsional akan menjadi salah satu pusat keagamaan dan sebagai tempat wisata di Kabupaten Batang sebagaimana yang dituturkan Bupati Wihaji.
Problemnya adalah pembangunan simbol keagaman itu justru menggusur esensi keagamaan itu sendiri, yaitu Kemanusiaan. Tindakan penggusuran dengan pendekatan yang arogan adalah bentuk pengingkaran atas kemanusian.
Apalagi anggaran yang cukup besar yang harusnya bisa dialokasikan pada penanganan dampak Sosial-Ekonomi karena pandemi. Hal ini agaknya akan lebih esensial secara agama maupun secara prioritas kebutuhan masyarakat dibanding pembangunan Islamic Center, disini saya tidak mengatakan bahwa pembangunan Islamic Center itu tidak penting, hanya saja Prioritas yang harus lebih diutamakan adalah prioritas hidup manusia.
Agaknya ketika Pemerintah bisa memahami Maqasid Al-Syari’ah tentu kebijakan yang diambil akan lebih diarahkan pada Hifdz Al Nafs untuk memelihara jiwa manusia. Lalu bagaimana dengan Hifdz Al-Din bukankah pembangunan Islamic Center adalah bentuk dari Hifdz Al-Din ?, di satu sisi memang pembangunan Islamic cener bisa menjadi bagaian dari bentuk Hifdz Al-Din ketika digunakan sebagai pusat syiar Islam, namun jangan lupakan juga bahwa Agama dalam hal ini Islam juga selalu menekankan bahwa Islam hadir sebagai Rahmat bagi seluruh alam yang membawa misi ketauhidan dan kemanusiaan.
Maka dari itu sesuatu yang baik harus diikuti pula dengan cara yang baik. Sekali lagi saya tekankan bahwa penggusuran adalah bentu pengingkaran terhadap kemanusiaan yang itu menjadi esensi dari Agama.