Di tengah gencarnya modernisasi Kota Yogyakarta dan penataan kawasan Wisata Heritage di jantung kota, wajah Yogyakarta kini tampil lebih tertib, bersih, dan menarik di mata wisatawan. Namun, di balik narasi kemajuan dan modernisasi itu, ada cerita yang jarang terdengar: tentang para pekerja sektor informal Abu Bakar Ali yang perlahan kehilangan ruang gerak dan penghasilan. Menimbulkan dampak Sosial ekonomi penggusuran Abu Bakar Ali. Kawasan Abu Bakar Ali yang selama ini menjadi simpul transit warga, lahan parkir, dan tempat bernaung bagi pengojek hingga pedagang kecil kini terhimpit ambisi estetika kota. Penataan kawasan wisata dan modernisasi berderap maju, tetapi suara warga sektor informal semakin terpinggirkan.
Dampak Sosial Ekonomi Penggusuran Abu Bakar Ali terhadap Pendapatan Warga
Relokasi Tempat Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali di Yogyakarta membawa dampak signifikan terhadap kondisi ekonomi warga yang bergantung pada sektor informal. Penataan kawasan ini menyebabkan penurunan pendapatan juru parkir, tukang becak, pedagang kaki lima, dan pengemudi ojek yang menggantungkan hidup dari aktivitas wisata Malioboro.
Penelitian Santosa (2020) mengungkapkan bahwa kebijakan relokasi parkir dan penataan kawasan wisata ini mengubah aspek sosial dan ekonomi warga, menimbulkan ketidakpastian dan kehilangan sumber penghasilan utama.
Penolakan Warga Terhadap Relokasi akibat Penggusuran Abu Bakar Ali
Pemerintah Kota Yogyakarta menawarkan relokasi di eks Menara Coffee, Kotabaru. Namun, warga terutama para juru parkir dan pedagang kaki lima menolak karena lokasi tersebut dianggap kurang strategis dan berpotensi menurunkan penghasilan. Ketidakjelasan lokasi relokasi menjadi sumber konflik dan penolakan dari warga sektor informal yang mengandalkan akses ekonomi di kawasan Abu Bakar Ali.
Respons Pemerintah dan Warga terhadap Penggusuran Abu Bakar Ali
Sebagai respons, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menawarkan pembebasan biaya retribusi selama dua tahun bagi pelaku usaha kecil dan juru parkir yang bersedia direlokasi. Selain itu, Dinas Koperasi dan UKM (DiskopUKM) menyediakan pendampingan usaha, pelatihan, dan bantuan legalitas untuk mendukung pelaku UMKM yang terdampak.
Namun, insentif ini belum mampu mengatasi kekhawatiran warga sektor informal. Mereka menuntut lokasi relokasi yang setara dari segi aksesibilitas dan potensi ekonomi dengan kawasan Abu Bakar Ali.
Kawasan Abu Bakar Ali merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam penataan kawasan wisata Malioboro dan sekitarnya, untuk menciptakan kota yang tertib, bersih, dan ramah wisatawan. Kebijakan ini didukung oleh Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 1 Tahun 2020 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), yang menetapkan kawasan tersebut sebagai zona strategis pariwisata.
Dinas Perhubungan bertanggung jawab atas pengaturan relokasi parkir, sementara DiskopUKM membantu pelaku usaha kecil agar mampu beradaptasi dengan perubahan.
Studi Banding: Kasus Serupa di Kota Lain
Di kota lain, seperti Jakarta, relokasi pedagang kaki lima di Tanah Abang juga menuai polemik serupa. Suara masyarakat kecil sering kali terpinggirkan dalam narasi pembangunan kota. Sementara itu, penertiban PKL di Bandung menunjukkan bahwa proyek revitalisasi bisa berdampak negatif jika tidak dibarengi dengan perlindungan sosial yang memadai.
Penggusuran Abu Bakar Ali dan Tantangan Keadilan Sosial
Penataan kawasan Abu Bakar Ali yang berdampak pada ekonomi warga menimbulkan tantangan besar terkait partisipasi publik dan keadilan sosial. Proses kebijakan tata ruang harus bersifat inklusif dan melibatkan warga sektor informal secara aktif, agar pembangunan kota tidak menimbulkan ketimpangan sosial yang lebih dalam.
Relokasi yang dirancang tanpa partisipasi warga berpotensi memperburuk kondisi sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan kota harus mengedepankan dialog dan kolaborasi agar hak-hak warga tetap terjaga.
Kesimpulan: Menghindari Dampak Sosial dari Penggusuran Abu Bakar Ali
Kawasan Abu Bakar Ali merupakan contoh nyata ketegangan antara kebutuhan modernisasi dan hak warga sektor informal. Modernisasi dan penataan kawasan wisata tidak boleh mengorbankan kesejahteraan masyarakat kecil.
Pemerintah Kota Yogyakarta perlu mengedepankan partisipasi publik dan keadilan sosial dalam kebijakan tata ruang. Dengan begitu, transformasi kota bisa berlangsung tanpa meninggalkan warga yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi kawasan.