Pesatnya inovasi serta pemberlakuan perdagangan bebas telah menghadirkan bermacam varian kosmetika yang beredar di pasaran. Saat ini kosmetika bukan hanya menjadi kebutuhan kaum hawa, namun telah digunakan secara luas oleh berbagai kalangan.
Dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat, tiap negara memiliki regulasi masing-masing terkait kosmetika. Secara umum, Uni Eropa termasuk negara-negara dengan regulasi kosmetika yang relatif ketat. Lebih dari 1.300 bahan kimia telah dilarang untuk digunakan pada produk perawatan tubuh karena terdapat indikasi keterkaitan dengan kanker, cacat lahir dan gangguan reproduksi.
Sebagai perbandingan, Amerika hanya melarang 11 bahan untuk digunakan dalam kosmetika, melalui panel Cosmetic Ingredient Review (CIR). Tidak seperti pengaturan di bidang obat dan makanan, Food and Drug Administration (FDA) Amerika seolah pasif dalam regulasi kosmetika. Perusahaan kosmetika tidak harus mendaftar bahan dalam produknya, tidak perlu mendaftarkan pabriknya, juga tidak diharuskan melaporkan efek samping.
ASEAN menerapkan Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme yang menempatkan tanggung jawab lebih banyak di pihak produsen seperti halnya di Uni Eropa. Tak ada mekanisme pemeriksaan pre market, penekanan pengawasan terletak pada post market, dengan pertimbangan bahwa kosmetika merupakan produk dengan risiko rendah terhadap kesehatan dan digunakan pada bagian luar tubuh.
Pada dasarnya regulasi kosmetika di tiap negara memiliki satu tujuan bersama yakni melindungi konsumen dengan memastikan bahan serta produk jadi yang aman. Saat ini telah berkembang koordinasi internasional dalam regulasi kosmetika, yakni ICCR (International Cooperation on Cosmetics Regulation) untuk memastikan perlindungan konsumen dan meminimalkan hambatan perdagangan internasional. Pertemuan pertama ICCR dilaksanakan di Brussel pada tahun 2007, dengan anggota yang terdiri dari badan regulasi Jepang, Amerika, Kanada dan Eropa, serta asosiasi industri kosmetika negara anggota. Penilaian keamanan produk kosmetika, bahan-bahan, struktur kimia dan tingkat paparannya dilakukan oleh profesional yang dikenal dengan “Safety Assessor”, yang bertanggung jawab menentukan apakah bahan yang terkandung dalam formula memenuhi persyaratan peraturan terkait kadar, atau keberadaan bahan yang dilarang, menganalisa data toksikologis dan keamanan bahan yang diketahui, sejarah keamanan penggunaan produk yang mengandung bahan yang sama atau serupa, penilaian ahli untuk produk yang mengandung bahan yang baru. Produk kosmetika tidak boleh dipasarkan apabila produk tersebut tidak memenuhi persyaratan keamanan.
Keamanan kosmetika dilihat dari aspek bahan baku dan produk jadi. Prinsip dasar keamanan adalah tidak ada “bahan yang sepenuhnya aman”, yang ada adalah “metode yang aman” dan / atau “dosis yang aman”. Penilaian keamanan meliputi identifikasi bahaya, penilaian paparan, dan penilaian resiko dengan mempertimbangkan informasi keamanan dari penyedia dan data pengujian. Pendekatan keamanan kosmetika berbasis analisis risiko di Uni Eropa tak terlepas dari sejarah panjang penggunaan bahan kimia dalam obat dan kosmetika. Bahan kimia harus diketahui keamanannya sebelum dinyatakan dapat digunakan untuk kosmetika.
Kawasan Asia dikenal dengan kearifan lokal dan khazanah bahan alam yang telah digunakan secara turun temurun baik untuk obat atau pun kosmetika. Kearifan budaya dalam memanfaatkan obat bahan alam ini berkaitan erat dengan upaya pelestarian lingkungan hidup serta berkembangnya tuntutan model bisnis ramah lingkungan yang menyeimbangkan kebutuhan konsumen tanpa mengabaikan hak-hak generasi masa depan.
Korea, misalnya memiliki Donguibogam, ditulis selama rentang waktu tahun 1596 hingga 1610 oleh Heo Jun. Buku ini menguraikan pengetahuan kedokteran Korea pada masanya, termasuk konsep kosmetika, dengan banyaknya teks terkait kulit dan kecantikan, aromaterapi dan sabun kecantikan. Pada Juli 2009, UNESCO telah menetapkan Donguibogam sebagai Memory Of The World.
Indonesia juga memiliki khazanah budaya yang kaya dengan penggunaan bahan herbal untuk pengobatan dan kecantikan. Masyarakat Jawa biasa menuliskan penggunaan tanaman pada daun lontar kering, dikenal dengan istilah ‘serat’ atau ‘primbon’. Terdapat antara lain Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem, Kalimusada Purate Bolang, Usada Sari, dan Usada Tiwas Panggung yang tersimpan di istana Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah (Riswan, Jamu as Traditional Medicine in Java, Indonesia. South Pacific Study Vo1 23 No l tahun 2002).
Selama ini salah satu kendala pelaku usaha kosmetika dalam mengembangkan bahan herbal adalah kurangnya data dukung ilmiah. Khazanah penggunaan bahan alam perlu diperkaya dengan penelitian-penelitian dalam menunjang landasan ilmiahnya.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Materia Kosmetika Bahan Alam Indonesia untuk mendukung pemanfaatan bahan-bahan alam di bidang kosmetika, yang memuat monografi bahan-bahan bersumber alam yang digunakan dalam produksi kosmetika di Indonesia. Tersedianya buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pengembangan usaha kosmetika nasional sekaligus mempertahankan kekayaan biodiversitas bangsa Indonesia.
Selain itu, diharapkan dapat menjadi sumber referensi khususnya bagi pelaku usaha di bidang industri kosmetika dalam hal notifikasi produk kosmetika yang menggunakan bahan alam sehingga industri kosmetika khususnya UMKM tidak kesulitan mencari data pendukung dari bahan baku yang digunakan. Ke depannya, buku ini diharapkan dapat memacu industri kosmetika nasional dalam pengembangan produk kosmetika menggunakan bahan alam yang memenuhi persyaratan.
Di sisi lain, perlu dikembangkan paradigma pengembangan bidang kosmetika yang mempertimbangkan kondisi geografis serta aspek sosiohistoris kawasan Asia yang memiliki kekhasan tersendiri. Untuk itu diperlukan upaya pengembangan lintas sektor dan lintas program untuk meningkatkan mutu produk dan daya saing dalam mendukung pengembangan industri kosmetika nasional.