Jumat, Oktober 4, 2024

Pengawasan Platform Digital, untuk Penerimaan Pajak Optimal

Muchamad Irham Fathoni
Muchamad Irham Fathoni
Saya adalah PNS Kementerian Keuangan yang saat ini menjadi mahasiswa tugas belajar di Politeknik Keungan Negara STAN. Hobi saya membaca, menulis dan travelling. Saya sangat tertarik dengan pembahasan seputar Makroekonomi dan Pajak.

Tingkat pertumbuhan perdagangan elektronik atau e-commerce di tahun 2017 menjadikan sektor ini masih menjadi primadona investor di tahun 2018. Total populasi di Indonesia sebesar 255,4 juta jiwa dengan jumlah rata-rata penetrasi belanja online sebesar 29 persen atau sebesar 26,3 juta jiwa, menjadikan transaksi e-commerce tumbuh pesat di Indonesia.

Berdasarkan data yang dirilis Statista, penetrasi belanja online di Indonesia tahun 2017 menempati peringkat ke lima secara global sebesar 79 persen di bawah Tiongkok, Korea Selatan, Inggris, dan Jerman. Namun sektor ini masih belum terkoleksi pajaknya secara optimal. Padahal potensi dari ekstensifikasi terhadap UMKM dalam bisnis e-commerce di Indonesia dengan nilai transaksi mencapai Rp561,8 triliun pada 2018 akan sangat menunjang strategi penerimaan pajak secara keseluruhan.

Di tahun 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyusun strategi dengan melakukan optimalisasi pendapatan negara yang mendukung iklim investasi, optimalisasi ekstensifikasi serta terus mendorong peningkatan kepatuhan melalui reformasi perpajakan melalui pola pengawasan yang lebih sederhana namun efektif.

Sehingga pengawasan atas transaksi e-commerce akan diintensifikasikan untuk memenuhi target penerimaan tahun 2018. Strategi utama untuk mencapai target penerimaan pajak adalah dengan menaikkan rasio perpajakan melalui peningkatan extra effort Wajib Pajak (WP) terdaftar.

Namun, seharusnya strategi pencapaian target penerimaan pajak di tahun 2018 juga mempertimbangkan hal lain, yaitu potensi dari tax gap. Karena jika hanya mempertimbangkan extra effort, apabila terdapat shortfall Rp300 triliun, maka akan dicari penambalnya yang berasal dari basis data saat ini yang berpotensi discouraging.

Seperti yang dialami industri ritel saat ini, seharusnya DJP melakukan ekstensifikasi e-commerce untuk mendapatkan potensi baru dari tax gap WP unregistered. Dengan proyeksi potensi tax gap, yakni melalui perhitungan tax gap dari unregistered, nonfiller, underpayment, underreported, maka akan ditemukan sasaran pasti yang belum patuh atau potensi di luar sistem yang dapat diekstensifikasi dari basis data saat ini.

Untuk dapat capturing potensi pajak e-commerce, DJP menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-06/PJ/2015 tentang pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan atas transaksi e-commerce.

Langkah ini diambil DJP untuk adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah menyebabkan transformasi proses dan strategi bisnis yang perlu ditegaskan aspek perpajakannya. Serta memberikan penegasan khusus terkait kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh dan PPN atas transaksi e-commerce.

Terlebih lagi beberapa tahun ke depan tingkat penetrasi internet akan semakin besar dan akan terjadi pergeseran besar pada pola belanja masyarakat dari konvensional ke online. Selain itu, pengenaan pajak bagi pengusaha e-commerce juga untuk menciptakan rasa keadilan, karena siapapun yang melakukan penyerahan barang atau jasa, termasuk yang mendapat penghasilan, harus membayar pajak. Sehingga perlu ada perlakuan yang sama antara pedagang konvensional dengan pelaku e-commerce.

Dari kacamata perpajakan, secara prinsip tidak ada perlakuan pajak yang berbeda antara bisnis e-commerce dan bisnis secara konvensional. Sebab, pada dasarnya usaha melalui e-commerce adalah sama dengan perdagangan biasa.

Perbedaannya terletak pada penggunaan kanal komunikasi, di mana transaksi e-commerce menjadikan internet sebagai media komunikasi elektronik dan infrastruktur utamanya. Oleh karena itu, segala hak dan kewajiban perpajakan yang ada pada pelaku usaha konvensional juga melekat untuk para pelaku bisnis e-commerce. Hanya saja pengawasannya membutuhkan effort lebih karena transaksi yang dijalankan bersifat digital, bukan lagi transaksi fisik seperti jual beli konvensional.

Selama ini dikenal empat model transaksi e-commerce, yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail. Dari empat model transaksi e-commerce di Indonesia, dapat dijabarkan pengenan pajaknya. Untuk Pajak Penghasilan (PPh) dapat dikenakan PP 23/2018 maupun mekanisme PPh Pasal 17, tergantung omset dari UMKM yang bersangkutan dan platform developernya.

Apabila online marketplace merchant sebagai pengguna jasa adalah wajib pajak orang pribadi atau badan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh, maka pengguna jasa tersebut juga wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 21/26 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Ekonomi Digital

Tingginya potensi atas pengenaan PPN dan PPh atas transaksi e-commerce akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap penerimaan pajak di Indonesia, hanya jika pengenaannya dapat dilakukan berdasarkan aturan dan sistem informasi yang menunjang. Untuk mengenakan PPN atas transaksi digital tentunya membutuhkan bukti atau data bahwa transaksi telah benar-benar terjadi.

Karena transaksi dilakukan via jaringan internet luas, tentunya sulit untuk mendeteksi data-data transaksi yang telah dilakukan. Sehingga DJP perlu menyusun sistem informasi pengawasan yang lebih komprehensif yang dapat mendeteksi traffic barang dan jasa. Sejalan dengan salah satu program DJP untuk melakukan reformasi perpajakan, core tax system yang baru, yang merupakan suatu sistem informasi manajemen yang digunakan sebagai alat pengawasan dalam perpajakan diharapkan mampu mengakomodir pengawasan transaksi digital agar tidak terjadi potential loss.

Pengenaan PPh pada e-commerce akan lebih rumit secara administrasi dalam penentuan subyeknya. Pada marketplace misalnya, harus ditentukan apakah subyek pajaknya perusahaan penyedia aplikasi, atau merchant yang berjualan. Sedangkan pemungutan PPN akan lebih mudah karena dikenakan atas output. DJP dapat mengadaptasi sistem yang telah dilakukan di India dan Tiongkok yang dapat dijadikan rujukan penerapan pajak e-commerce.

Di kedua negara itu, jenis pajak yang dikenakan dari e-commerce adalah PPN saja, tanpa PPh. Sehingga pengenaan pajaknya dapat terkoleksi terlebih dahulu sambil mempersiapkan infrasturktur dan ekosistem pendukung yang mumpuni untuk dapat melakukan pengawasan dan mengenakan seluruh pajak yang seharusnya terutang.

Muchamad Irham Fathoni
Muchamad Irham Fathoni
Saya adalah PNS Kementerian Keuangan yang saat ini menjadi mahasiswa tugas belajar di Politeknik Keungan Negara STAN. Hobi saya membaca, menulis dan travelling. Saya sangat tertarik dengan pembahasan seputar Makroekonomi dan Pajak.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.