Jumat, Oktober 4, 2024

Pengangguran Terdidik dan Problem Struktural Ekonomi

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran cenderung menurun secara umum per februari 2019. Namun jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi justru meningkat.

Per februari 2019, jumlah pengangguran lulusan sarjana (S1) dan diploma (D3) naik masing-masing 25 persen dan 8,5 persen. Data juga menunjukkan bahwa mayoritas pekerja dari keseluruhan jumlah angkatan kerja di Indonesia masih didominasi pekerja dengan kualifikasi pendidikan lulusan SD sebesar 41 persen, SMP dan SMA masing-masing 18 persen, SMK 11 persen, Diploma 3 persen dan Sarjana 10 persen.[i]

Problem pengangguran terdidik masih menjadi persoalan yang tidak kunjung terselesaikan karena tidak sebandingnya ketersediaan lapangan kerja dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang semakin besar dari tahun ke tahun. Sejak reformasi 1998, jumlah mahasiswa selalu mengalami kenaikan bahkan seringkali juga terjadi lonjakan cukup besar misalnya pada 2004 meningkat 33,47% menjadi 3,8 juta mahasiswa. Peningkatan signifikan juga terjadi pada tahun 2008 sebesar 47,31% menjadi 3,8 juta mahasiswa.[ii]

Selain itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat dari tahun 1999 sampai 2014 selalu terjadi lonjakan siswa yang mendaftar di perguruan tinggi yaitu sebesar 4,64% per tahun.[iii] Badan Pusat Statistik juga mencatat pada 2018 jumlah mahasiswa sebesar 7 juta jiwa atau tertinggi sejak tahun 1997.

Akar problem pengangguran terdidik

Kurangnya ketersediaan lapangan kerja bagi lulusan perguruan tinggi tidak bisa dilepaskan dari problem struktural ekonomi yang berkelindan dengan kecenderungan perubahan demografi penduduk. Dari sisi kuantitas, jika diasumsikan tiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu membuka lapangan kerja bagi 110 ribu tenaga kerja maka pertumbuhan ekonomi saat ini yang cenderung stagnan di angka 5 persen beberapa tahun terakhir, bahkan sekarang minus akibat resesi ekonomi, jelas tidak mampu menampung jumlah angkatan kerja yang kian besar. Mengingat kini pertumbuhan penduduk usia produktif yang semakin besar, khususnya jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Belum lagi jika dihadapkan pada kualitas pertumbuhan ekonomi yang masih menganut paradigma Pembangunanisme (Developmentalisme) yang usang. Kita ketahui bahwa pertumbuhan ekonomi negeri ini masih mengandalkan pola konglomerasi modal besar yang diharapkan membawa kemakmuran yang menetes ke bawah (trickle-down effect) namun kurang dalam pembangunan industri manufaktur yang mendukung keberlanjutan rantai produksi.

Perekonomian masih bertumpu pada konsumsi masyarakat atau daya beli dan ekspansi industri ekstraktif yang sarat modal (capital) dan tidak berkelanjutan (sustainable) karena tidak ramah lingkungan. Sementara dukungan pada aspek rantai produksi dengan keharusan membangun industri manufaktur (hilirisasi) dan umkm yang lebih banyak menyerap tenaga kerja (padat karya) justru masih kurang mendapat stimulasi dan perlindungan dari pemangku kebijakan.

Variabel lain yang menyebabkan meningkatnya pengangguran terdidik, selain persoalan kualitas ekonomi, juga disebabkan kesenjangan visi perguruan tinggi dengan pasar tenaga kerja. Kesenjangan yang dimaksud adalah tidak kompatibelnya visi yang dianut kampus dimana mahasiswa semakin dituntut lulus cepat namun minim bekal keahlian kerja dan pengalaman lapangan. Sementara pasar kerja menuntut kualifikasi profesional dengan syarat keahlian lapangan dan pengalaman kerja yang justru minim dikuasai lulusan pergurua tinggi karena tuntutan beban akademik yang mempersyaratkan kelulusan cepat dengan parameter prestasi akademik an-sich.

Dalam situasi normal sekalipun, realitas ekonomi dan sistem pendidikan di perguruan tinggi cenderung masih kurang berpihak pada prospek penciptaan lapangan kerja bagi almamater. Apalagi dewasa ini akibat pandemi terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang cukup masif. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigarasi (Kemenakertrans) setidaknya selama dua bulan sejak pandemi merebak di bulan maret silam telah tercatat lebih dari dua juta orang mengalami PHK di berbagai sektor industri.

Selain itu, kini sektor manufaktur sebagai lini industri yang menopang penyerapan tenaga kerja, di tengah resesi ekonomi akibat pandemi, terkoreksi cukup dalam akibat menurunnya daya beli masyarakat terhadap produk industri. Tentu saja realitas sulit ini membuyarkan upaya mengatasi problem pengangguran terdidik yang kian mengkhawatirkan. Dengan kata lain, problem pengangguran terdidik dengan sendirinya lepas dari prioritas persoalan karena semakin meningkatnya jumlah pengangguran terbuka secara umum akibat maraknya phk di tengah pandemi yang tentu saja lebih menuntut upaya mendesak.

Jika tahun lalu saja, di tengah situasi normal, angka pengangguran lulusan perguruan tinggi, khususnya sarjana mengalami kenaikan sebesar 25 persen, maka bukan tidak mungkin dalam situasi pandemi dan resesi ekonomi kini, angka pengangguran lulusan perguruan tinggi meningkat jauh lebih besar di luar perkiraan sebelumnya. Maka diperlukan solusi jangka pendek yang mendesak untuk mengatasi problem pengangguran terdidik dengan mengupayakan langkah pragmatik secara parsial dan temporer dengan melihat kecenderungan pasar kerja sebagai landasan penentuan kebijakan.

Jika struktur ekonomi sudah tidak mampu lagi menampung angkatan kerja maka diperlukan terobosan (breakthrough) dengan mengupayakan langkah ekstra-struktural. Atau setidaknya mengurangi aspek kesenjangan akses informasi-kesempatan kerja (asimetric information) berupa fasilitasi link and match bagi lulusan perguruan tinggi yang membutuhkan kerja dengan segera.

Kini semakin besarnya jumlah pengangguran terdidik tentu menjadi kerugian tak terkira bagi kita di tengah upaya membangun cita-cita kemajuan sebuah bangsa jika kita mengandaikan bahwa generasi muda terdidik adalah potensi penggerak perubahan sebuah bangsa. Bagaimanakah jika potensi kreatif dari generasi muda terdidik tidak teraktualisasi dengan baik karena sempitnya lapangan kerja. Kita kemungkinan kehilangan begitu banyak potensi generasi emas, generasi terdidik yang susah payah menempuh pendidikan dan sekolah bertahun-tahun dengan dana, tenaga dan waktu yang tidak murah dan mudah.

 Referensi  

 [i] Yosepha Pusparisa, Angka Pengangguran Lulusan Universitas Meningkat, Ekonografik, Katadata.co.id, 17 mei 2019).

[ii] Dwi Hadya Jayani, Tertinggi Sejak 1997, Jumlah Mahasiwa Indonesia 2018 Mencapai 7 Juta Jiwa, Katadata.co.id, 26 September 2019

[iii] Muhammad Beni Saputra, Masa Depan Pada Pertanian, Geotimes..co.id, 16 Desember 2019

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.