Selasa, Oktober 8, 2024

Pendidikan Tinggi dan Model Pembelajaran Baru Pasca Pandemi

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira

Sudah dua bulan terakhir ini, halaman depan kampus tampak sepi dari lalu lalang mahasiswanya. Bangku-bangku kelas kosong tanpa penghuni dan ruang kuliah tidak diisi dengan kegiatan belajar mengajar seperti biasa.

Sejak munculnya kasus pasien positif pertama COVID-19 di indonesia dan ditetapkannya corona sebagai pandemi, kampus-kampus di seluruh indonesia meresponnya dengan mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan proses pembelajaran melalui sistem daring dengan menggunakan berbagai macam platform yang tersedia mulai dari Zoom, Webex, hingga melalui WhatsApp Group.

Banyak tanggapan dan respon yang muncul terkait sistem pembelajaran daring ini dari kalangan mahasiswa. ada yang menanggapi secara positif dan merasakan kemudahan dalam sistem pembelajaran ini, tetapi ada juga yang menanggapi secara negatif karena justru sistem pembelajaran seperti ini menyulitkan dan melelahkan.

Terlepas dari dinamika dan beragam respon tekait sistem pembelajaran daring yang menjadi marak di tengah pandemi yang terjadi saat ini, momentum seperti ini secara tidak sengaja justru membuka peluang terjadinya bentuk disrupsi dalam dunia pendidikan ke depan, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi.

Pada tahun 1981, Charles A. Wedemeyer, seorang ahli pendidikan dari amerika serikat, menulis buku berjudul “Learning At the Back Door : Reflection on Non Traditional Learning in The Lifespan”. Buku ini ia tullis karena kegelisahannya dalam melihat sistem pendidikan saat itu yang dinilainya sudah usang.

Dalam bukunya Wedemeyer melacak sejarah proses pembelajaran yang dilakukan manusia sejak dahulu, khususnya yang bersifat non-formal, dan membandingkannya dengan sistem pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh murid-murid sekolah pada waktu itu. Dalam kesimpulannya, Wedemeyer membayangkan suatu masa dimana murid-murid tidak perlu datang ke sekolah untuk menerima pelajaran. Pendidikan dapat diakses di mana saja dan dimana saja tanpa terbatas oleh dinding-dinding kelas melalui bantuan teknologi di masa depan.

Menariknya, Wedemeyer menulis buku ini hampir 40 tahun yang lalu dimana internet dan infrastruktur digital belum berkembang dan menjadi fasilitas umum yang dinikmati orang banyak seperti sekarang, dan kini dengan kemudahan akses dan kemajuan teknologi informasi di abad ke-21 apa yang dibayangkan oleh Wedemeyer terwujud dengan munculnya “Massive Open Online Course” (MOOC) yang meyediakan kelas daring secara terbuka yang dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja mereka berada tanpa harus datang langsung secara fisik di ruang kelas.

Pembelajaran dilakukan dengan penyampaian materi maluli E-book, audio, video, serta film pendek yang dikemas secara menarik dan interaktif. Dengan platform ini seorang petani di bantul dapat bekerja di sawah pada pagi hari dan di malam harinya dapat tersambung dengan mahasiswa luar negeri untuk menyimak kuliah yang disampaikan oleh Professor-Professor MIT di depan teras rumahnya.

Tetapi sebagian besar dari kita mungkin mengira bahwa sistem pembelajaran daring hanya mengubah metode penyampaian materi semata, dari metode tatap muka ke metode online. Pada kenyataannya, pembelajaran daring tidak hanya mengubah kelas di dunia nyata menjadi kelas virtual di dunia maya, tetapi juga mengubah pola kebiasan belajar dan interaksi antara dosen dan mahasiswa.

Jika biasanya mahasiswa tinggal duduk nyaman di kampus untuk menyimak materi yang disampaikan oleh dosen, serta masuk ke dalam kelas yang sebelumnya sudah ditentukan jadwalnya. Dalam pembelajaran daring, mahasiswa dituntut untuk lebih aktif menyusun rencana pembelajarannya secara mandiri.

Sesuai dengan prinsip “Student Centered Learning” mahasiswalah yang menjadi pusat pembelajaran dan secara aktif mencari ilmunya sendiri. Ketergantungan kepada dosen sebagai sumber ilmu perlahan-perlahan harus dikurangi, peran dosen hanyalah sebagai fasilitator yang membimbing mahasiswa.

Dosen-dosen pun tidak harus disibukkan untuk bolak-balik kelas dalam setiap sesi. Para dosen cukup untuk merekam materi yang akan disampaikan kemudian membagikannya ke kelas yang mereka ajar, tanpa harus mengulangi materi yang sama di kelas yang berbeda. Para dosen dengan sistem ini akan lebih memiliki waktu luang untuk meneliti dan melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang mungkin sebelumnya terhalang karena jadwal mengajar yang padat.

Dengan semakin cepatnya ilmu yang terus berkembang, sistem manajemen dan pelayanan kampus juga akan mengalami perubahan yang signifikan. Mahasiswa sebagai konsumen ilmu, akan menentukan sendiri mata kuliah apa yang ingin mereka ambil, kurikulum seperti apa yang mereka inginkan, serta kompetensi apa yang ingin mereka capai setelah keluar dari kampus nanti.

Ibarat masuk ke warung makan padang, mahasiswa memiliki kebebasan dalam menentukan menu kuliah apa yang akan dikonsumsi selama ia berada di kampus, bukan terikat dengan kurikulum jadi yang sudah ditentukan oleh pihak kampus sebelumnya.

Dengan begitu, mahasiswa di masa depan adalah orang-orang yang dapat berfikir secara multidimensional, tidak terjebak dengan kekakuan dan liniearitas satu macam disiplin ilmu saja, tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam disiplin ilmu yang berbeda.

Di masa depan, gedung-gedung kuliah yang banyak dengan lantai-lantai yang menjulang tinggi tidaklah diperlukan. Gedung kuliah dan laboratorium yang dimiliki oleh suatu kampus dapat dipakai bersama dengan kampus lain, bahkan kampus luar negeri sekalipun.

Malalui sistem pengelolaan aset yang menerapkan prinsip Sharing Economy seperti itu, biaya untuk operasional kampus dapat ditekan sehingga dapat memberikan kemudahan bagi mahasiswa untuk membayar biaya kuliahnya. Dengan adanya platform MOOC, mahasiswa juga tidak hanya terikat dengan satu institusi pendidikan saja. Bisa saja ia berkuliah di lebih dari satu atau kampus yang berbeda secara bersamaan.

Pendidikan tinggi dengan demikian akan menjadi semakin terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, tanpa harus terganjal masalah akses ekonomi, geografi, ataupun sosial tertentu. Persis seperti apa yang dibayangkan oleh Wedemeyer lebih dari 40 tahun yang lalu.

Ekosistem pembelajaran akan semakin cair dan plural dengan mempertemukan mahasiswa dari berbagai macam negara, suku, budaya, dan latar ekonomi yang berbeda. Tentu dengan ekosistem semacam ini akan mendorong lahirnya orang-orang yang dapat berfikir global dengan tetap berpijak kepada akar identitas dan budaya lokalnya masing-masing

Dengan kebebasan dan akses pembelajaran yang semakin terbuka seperti ini, maka harapannya kampus akan menjadi tempat di mana mahasiswa menikmati proses pembelajarannya di kampus, bukan karena tekanan untuk mendapatkan nilai bagus dan ijazah, tetapi tulus semata-mata karena didorong oleh rasa ingin tahu dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan.

Mereka inilah yang akan menjadi seorang pembelar sejati, seorang live long learner yang akan lahir melalui sistem pembelajaran baru di perguruan tinggi di masa depan.

Rahmat Tri Prawira Agara
Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi Universitas Terbuka. Instagram: @rahmat3prawira
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.