Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai suatu pandemi bukan hanya berdampak pada aspek kesehatan saja, melainkan juga berdampak kepada berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Dunia pendidikan merupakan salah satu sektor yang terdampak secara langsung.
Beberapa bentuk konkrit dampak Covid-19 terhadap dunia pendidikan antara lain: (1) pemotongan terhadap Tunjangan Profesi Guru (TPG) serta dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS); (2) diundurnya pelaksanaan UTBK 2020; (3) dipercepatnya rencana penghapusan UN; dan (4) diberlakukannya kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di semua jenjang pendidikan. Terkait dengan poin terakhir tentu tidak terlepas dari diberlakukannya physical distancing sebagai upaya menekan angka pertumbuhan Covid-19.
Pembelajaran jarak jauh sesungguhnya bukanlah hal yang baru dalam sistem pendidikan Indonesia. Sebab, telah tertuang dalam PERMENDIKBUD Nomor 119 Tahun 2014 dan PERMENRISTEKDIKTI Nomor 51 Tahun 2018.
Namun, ketika pemberlakuannya dilakukan mendadak karena adanya masa darurat Covid-19 tentu akan menimbulkan kewalahan dari berbagai pihak baik pendidik, peserta didik, maupun orang tua. Sebab, selama ini di lapangan mayoritas pembelajaran dilakukan secara face to face atau mungkin baru sebatas blended learning dan belum menyentuh kepada fully online learning. Maka tidak heran dalam pelaksanaannya memunculkan keluhan dari berbagai pihak.
Secara umum keluhan-keluhan yang muncul antara lain: (1) peserta didik yang terbebani dengan banyaknya penugasan; (2) pendidik yang kebingungan untuk merancang pembelajaran yang efektif dan efisien; (3) orang tua yang kewalahan karena belum terbiasa dengan peran baru nya sebagai pendidik di rumah; dan (4) sarana dan prasarana yang belum merata dalam mendukung pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.
Merespon bebagai keluhan yang muncul dari masyarakat maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggandeng TVRI dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan pembelajaran jarak jauh. Apakah kebijakan tersebut telah menjadi solusi?
Langkah tersebut perlu di apresiasi sebagai solusi jangka pendek. Namun, tentunya perlu ada langkah jangka panjang yang disiapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terutama jika skenario pembelajaran jarak jauh hingga akhir 2020 benar-benar dilakukan.
Sebab, permasalahan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan media digital bukanlah hanya sebatas sarana dan prasarana saja. Akan tetapi, lebih jauh permasalahannya terkait perbedaan generasi antara pendidik dengan peserta didik terkait interkasi dengan media digital. Jika meminjam istilah Marc Prensky maka masalah tersebut diakibatkan adanya “jurang pemisah” antara generasi Digital Natives dan generasi Digital Immigrants.
Lalu, apa yang dimaksud dengan generasi Digital Natives dan generasi Digital Immigrants? Generasi Digital Natives atau bisa disebut juga net generation merupakan generasi yang lahir ketika budaya digital telah tumbuh dan berkembang sehingga perangkat komunikasi seperti Smartphone telah menjadi bagian integral dari kehidupannya. Hal itu dikarenakan sejak usia dini mereka sudah berinteraksi dengan Handphone, internet, Video Games, dan sebagainya.
Sedangkan, Digital Immigrant merupakan generasi yang lahir ketika budaya digital belum tumbuh dan berkembang. Namun, mereka dewasa berbarengan dengan tumbuh dan berkembangnya budaya digital. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Digital Immigrant ini merupakan generasi yang harus mengadopsi teknologi karena adanya transisi dari budaya non digital menuju budaya digital.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pendidik di Indonesia merupakan generasi Digital Immigrant. Berdasarkan siaran pers Badan Kepegawaian Negara pada tahun 2019 dikatakan 71.19% tenaga pendidik didominasi oleh kelompok usia 46-60 tahun yang berarti mereka lahir pada tahun 1960an-1970an, dimana saat itu budaya digital belum berkembang.
Selain itu, dapat diprediksi bahwa sebagian besar orang tua peserta didik juga merupakan generasi Digital Immigrant walaupun belum ada data resminya. Sedangkan, mayoritas peserta didik saat ini bisa dikatakan sebagai generasi Digital Natives.
Sebuah tulisan dari Ku & Soulier tahun 2009 menyebutkan bahwa salah satu karakteristik Digital Natives sebagai orang yang ‘opportunistic’ dan ‘omnivorous’ yang menikmati sesuatu dalam lingkungan yang serba online (ingin mendapatkan informasi dengan cepat). Contoh konkrit dari hal tersebut yakni peserta didik (Digital Natives) lebih menjadikan internet sebagai sumber utamanya daripada buku.
Sedangkan, pendidik Digital Immigrant menjadikan internet sebagai sumber kedua. Selain itu, Digital Natives pun lebih menyukai sesuatu yang berbentuk gambar interaktif dibanding teks dan menyukai suatu kegiatan sebagai suatu games. Tidak dapat dipungkiri bahwa Digital Natives ini merupakan generasi yang sangat berbeda dalam interaksinya dengan Smartphone dan dalam bagaimana mereka berelasi dengan sumber-sumber informasi.
Lalu, bagaimana? Apakah pendidik harus menggunakan metode dan teknik yang berbeda untuk menyesuaikan dengan peserta didik? atau peserta didik yang harus menyesuaikan dengan pendidik yang tetap menggunakan metode dan teknik yang selama ini digunakan?. Jelaslah bahwa pengajaran masa kini tidak dapat lagi berpegang pada desain dan pola lama. Sebab, pengajaran tentunya tidak dapat terlepas dari perubahan sosial masyarakat yang terjadi.
Terutama dalam kondisi saat ini yang “dipaksanya” pendidik dan peserta didik untuk melakukan Fully Online Learning. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa pembelajaran jarak jauh dengan cara Online tersebut masih menjadi solusi bagi dunia pendidikan di masa Covid-19.
Oleh karenanya, disini sangatlah diperlukan peran aktif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar dapat menjembatani antara pendidik (Digital Immigrant) dengan peserta didik (Digital Natives).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: (1) mengadakan workshop kepada pendidik terkait metode dan teknik yang dapat digunakan selama PJJ. Hal tersebut dimaksudkan agar pendidik tidak hanya sebatas memberi tugas; (2) perlu adanya literasi digital bagi orang tua dan peserta didik.
Hal tersebut agar peserta didik tidak sampai terpapar oleh dampak negatif internet; (3) kesejahteraan dari pendidik tetap wajib diperhatikan sebab tidak semua pendidik memiliki kemampuan ekonomi yang sama untuk mendukung kegiatan PJJ; dan (4) sebagai solusi jangka panjang Kemendikbud bersama seluruh peneliti yang fokus dalam dunia pendidikan perlu melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Hal tersebut dimaksudkan agar Indonesia dapat siap ketika PJJ ini diterapkan kembali.
REFERENSI
Badan Kepegawaian Negara. (2019). Siaran Pers: Statistik PNS per Desember 2018: Tenaga Guru dan Kesehatan Menjadi Fokus Pemenuhan Kebutuhan ASN. Jakarta: BKN
Ku DT, Soulier JS. (2009) Effects of Learning Goals on Learning Performance of Field-Dependent and Field-Independent Late Adolescent in a Hypertext Environment. Adolescence 44: 651-664.
Prensky M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrant Part 1. MCB University Press. 9(5). 1-6