Diskursus mengenai bentuk Islam Indonesia sedang mengemuka diberbagai forum akademik di Indonesia. Gairah untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari bentuk keislaman dengan karakteristik keindonesiaan semakin mengemuka dengan visi yang ditargetkan oleh Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.
Dalam visi Pendidikan Islam tahun 2015-2019, Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia ingin mewujudkan Pendidikan Islam yang unggul, moderat, dan menjadi rujukan dunia Islam dalam integrasi ilmu agama, pengetahuan dan teknologi.
Prof. Dr. Mahfud MD, seorang akademisi dan tokoh intelelktual Muslim Indonesia juga pernah mengatakan bahwa Indonesia merupakan pusat pemikiran keislaman dunia, untuk itu, tidak perlu lagi belajar Islam di Timur Tengah. Pandangan yang sama juga dapat dilacak dari pernyataan Dirjen Pendidikan Islam, Prof. Dr. Kamaruddin Amin dalam berbagai pernyataannya bahwa potensi Pendidikan Islam Indonesia akan menjadi rujukan pendidikan moderat dunia.
Namun menurut saya upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai pusat peradaban Islam dunia, khususnya dengan upaya untuk mengembangkan pendidikan Islam sebagaimana yang dicanangkan oleh Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI dalam visinya tersebut, menjadi pekerjaan yang tidak mudah.
Sebagai institusi yang memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan Islam, Direktorat Pendis ditantang oleh hadirnya bentuk ideologi keagamaan yang memiliki karakteristik bentuk keislaman, yang menurut saya, berbeda dengan bentuk keislaman Indonesia.
Pengaruh bentuk keislaman yang bersifat transnasional pada saat ini tumbuh subur dalam membentuk diskursus keislaman di Indonesia. Dalam riset yang telah dirilis oleh tim dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (PusPIDeP Yogyakarta), CONVEY Indonesia, dan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bekerjasama dengan UNDP, seakan menjadi tamparan bagi institusi Pendidikan Islam di Indonesia, di mana dalam riset tersebut disebutkan bahwa bentuk diskursus keislaman generasi milenial saat ini sangat condong untuk mengikuti ideologi islamisme yang jauh dari bentuk keislaman Indonesia.
Pengaruh literatur keislaman dari bentuk ideologi islamisme jihadi, tahriri, tarbawi, salafi, dan ideologi islamisme populer lain berhasil membentuk ideologi baru yang kesemuanya lebih mengarah pada bentuk keislaman transnasional bagi generasi milenial saat ini.
Jika bentuk ideologi keislaman yang bersifat transnasional-islamisme tersebut, yang cenderung dipengaruhi oleh berbagai sumber literatur bacaan, lebih mendominasi diskursus keislaman pada generasi yang disebut milenial tersebut, maka bagaimana sesungguhnya peran institusi pendidikan Islam berkarakteristik Islam Indonesia yang hendak dijadikan model rujukan Islam dunia?
Di sini yang saya katakan bahwa perlu upaya serius dari pemerintah, yang dalam hal ini, menurut saya, lebih nampak harus diperankan oleh Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Pada sisi lain, kehadiran berbagai institusi pendidikan Islam yang membawa bentuk ideologi Islam transnasional juga sedang menguat di Indonesia.
Dengan menawarkan bentuk ideologinya masing-masing, berbagai institusi pendidikan seperti Salafi, Ikhwani, Tablighi, dan juga Syiah, berhasil membangun jaringan-jaringannya di Indonesia yang menghantarkan pada kecenderungan untuk mengikuti bentuk ideologi dari tempat asalnya.
Ekspansi ideologi, yang saya maksudkan di sini, sebagai bentuk dari diskursus Islam global yang bersifat transnasional. Dalam pandangan saya, untuk jangka panjang, berbagai bentuk ideologi tersebut akan menggerus bentuk keislaman di Indonesia. Sehingga perlu adanya upaya untuk menanggulangi eksportasi ideologi Islam transnasional tersebut.
Inilah sesungguhnya tugas berat dari pemerintah, khususnya Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia untuk menjalankan visinya tersebut. Namun paling tidak pemerintah saat ini, dalam pandangan saya, harus melakukan langkah yang bersifat urgen, yaitu melakukan pengevaluasian secara menyeluruh terkait sistem penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia.
Dari segi kurikulum pendidikan Islam saat ini yang dirasa belum mampu menjembatani diskursus keislaman dengan karakteristik Islam Indonesia, pemerintah wajib hadir untuk menjadi jembatan solutif dari adanya kesenjangan tersebut. Secara pemikiran keislaman, kurikulum pendidikan Islam di Indonesia masih terjebak pada ketidaktuntasan dari akibat adanya fragmentasi kelompok mazhab di dalam islam itu sendiri.
Untuk menjembatani adanya fragmentasi tersebut, pemerintah harus mampu melakukan terobosan baru dan mereformulasi kurikulum pendidikan Islam yang pada saat ini cenderung terkotak-kotakkan oleh adanya fragmentasi, yang justru nampak terlihat di dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam sendiri.
Dilihat dari afiliasi keormasan dan bentuk ideologinya, lembaga pendidikan Islam di Indonesia terkotak-kotakkan pada NU, Muhammadiyah, Persis, Wahdah Islamiyah, Al Irsyad, Salafi, Tablighi, dan juga Syiah. Selain itu, pemerintah juga diharapkan serius di dalam melakukan pengevaluasian terhadap kompetensi guru di institusi pendidikan Islam, khususnya terkait dalam proses pendidikan di masing-masing satuan pendidikan.
Termasuk pengevaluasian tersebut adalah dengan melihat kemampuan para guru agama Islam di dalam upaya mereka untuk menguasai sumber-sumber bacaan yang dijadikan referensi, termasuk kemampuannya mengelaborasikan materi pendidikan Islam dengan berbagai pendekatan disiplin keilmuan.
Kemampuan guru agama Islam perlu dilihat dalam penguasaan mereka pada ilmu sosial, psikologi, antropologi, sejarah, sains, politik dan berbagai pendekatan lainnya dalam pengkajian keislaman. Di samping itu juga, pengevaluasian juga perlu dilakukan kepada para pengelola lembaga pendidikan Islam untuk lebih meningkatkan karakteristik kelembagaannya dengan bentuk keislaman Indonesia.
Dengan mempertimbangkah hal tersebut, setidaknya karakteristik keislaman indonesia yang hendak diwujudkan oleh pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, sebagaimana telah disebutkan, akan bisa direalisasikan.
Walaupun sebenarnya masih ada faktor lan yang lebih kompleks lagi dalam diskursus keislaman global yang sedang berkontestasi dengan bentuk diskursus keislaman Indonesia seperti faktor geo-politik dan geo-strategi yang dimainkan oleh negara-negara Islam Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki, dan Iran.
Namun demikian pengevaluasian pendidikan dari pemerintah sangat perlu dilakukan karena apabila tidak dilakukan pengevaluasian secara menyeluruh, akan sulit untuk mewujudkan karakteristik Islam Indonesia, apalagi menjadi rujukan Pendidikan Islam dunia. Yang akan terjadi justru adanya penggerusan bentuk keislaman Indonesia dengan kecondongan untuk mengikuti diskursus dan bentuk ideologi keislaman yang berbeda dengan bentuk keislaman yang berkarakteristik Islam Indonesia