La Masia, sekolah sepak bola milik Barcelona FC adalah salah satu sekolah sepak bola yang terbukti mampu menghasilkan pemain–pemain sepak bola top dunia. Sebut saja Pep Guardiola, Andres Iniesta, Xavi Hernandes, Cesc Fabregas dan tentu saja sang mega bintang Lionel Messi.
Keberhasilan La Masia saya kira bukan hanya karena kemampuan para pengajar, bagusnya metode, serta kelengkapan sarana dan prasarananya. Tetapi juga kejelian para pencari bakat yang dimiliki oleh Barcelona FC. Para pencari bakat yang disebar ke berbagai belahan dunia begitu jeli melihat bibit–bibit yang mempunyai bakat sepak bola. Bibit-bibit berbakat itu direkrut, selanjutnya dididik sampai menjadi pemain sepak bola top dunia.
Orang yang tidak memiliki bakat istimewa dalam sepak bola mustahil akan menjadi pemain sepak bola sekelas Lionel Messi. Bahkan walau sudah dididik oleh pengajar mumpuni dengan metode bagus yang ditunjang sarana dan prasarana lengkap.
Sebenarnya apa yang diterapkan oleh La Masia adalah salah satu prinsip utama dalam pendidikan. Mendidik dengan cara mengembangkan potensi terbaik yang dimiliki seseorang. Untuk La Masia tentu saja yang diperlukan adalah potensi yang berkaitan dengan sepak bola. Selain dalam bidang olahraga, khususnya sepak bola, agaknya juga harus menerapkan prinsip semacam itu.
Selama ini kita memegang prinsip bahwa pendidikan itu mengajari manusia yang belum tahu menjadi tahu, belum bisa menjadi bisa. Prinsip itu sebenarnya sudah bagus. Namun sedikit kurang komplit. Supaya lebih komplit seharusnya ditambahi dengan “mendidik seseorang dengan mengembangkan potensi terbaik yang dimilikinya”.
Kita semua tahu bahwa setiap manusia yang lahir di dunia ini sudah pasti berbeda satu sama lain. Dalam berbagai hal. Termasuk potensi terbaiknya. Maka, jika potensi – potensi terbaik yang dimiliki oleh setiap manusia itu dikembangkan secara maksimal, sebagai penghuni dan pengelola bumi ini, antar manusia satu dengan yang lain akan saling melengkapi. Saya tidak paham mengapa hal yang sangat mendasar semacam itu tidak diterapkan di Indonesia.
Di Indonesia, bahkan setelah 74 tahun merdeka pendidikan kita tidak bersifat mendidik seseorang untuk mengembangkan potensi terbaik yang dimiliki secara maksimal. Tetapi memaksa seseorang menekuni hal–hal yang sebenarnya bukan potensi terbaiknya. Selain itu fokus utamanya masih dalam aspek kognitif saja.
Bukti yang paling jelas adalah, dalam evaluasi pendidikan yang paling diutamakan adalah evaluasi tertulis yang tentu sekadar mengutamakan aspek kognitif. Mulai dari penilaian harian, penilaian tengah semester (PTS), penilaian akhir semester (PAS) yang semuanya secara tertulis dan tentu saja sekadar mengutamakan aspek kognitif. Dan pada evaluasi puncaknya adalah ujian sekolah berstandar nasional (USBN) atau yang dulu disebut sebagai ujian nasional (UN/UNAS) yang juga secara tertulis dan bersifat mengutamakan aspek kognitif.
Tidak terasa USBN atau UN atau UNAS atau apapun itu namanya mempengaruhi banyak hal dalam proses pembelajaran. Tidak jelas bagaimana awalnya, yang pasti ujian nasional menjadi standar baru untuk adu gengsi antar sekolah. Hasilnya dibuat peringkat – peringkat.
Mulai dari peringkat antar siswa, sekolah, kecamatan, kabupaten sampai provinsi. Dan tentu saja, sekolah yang memiliki siswa–siswi yang bisa mencapai peringkat atas di kecamatan, kabupaten, provinsi atau mungkin nasional akan sangat bangga. Dan dengan begitu percaya diri mengatakan bahwa sekolahnya adalah sekolah bermutu (dan secara diam – diam menganggap sekolah lain kurang bermutu) karena bisa mendidik anak yang bisa mendapatkan nilai ujian nasional tinggi.
Di sisi lain, orang tua juga melulu mengontrol anak–anaknya yang sekolah dengan melihat nilai–nilai di rapor yang mengutamakan aspek kognitif, alih–alih memedulikan potensi terbaik apa yang dimiliki anaknya, yang seharusnya dikembangkan. Selanjutnya menganggap, jika anaknya mendapatkan nilai bagus berarti anaknya berhasil dalam belajar, jika anaknya mendapatkan nilai kurang bagus berarti anaknya kurang berhasil dalam belajar.
Entah bermaksud memotivasi atau bagaimana, orang tua akan menegur anak yang mendapatkan nilai kurang bagus. “Belajarlah yang rajin supaya nilaimu bagus !” kata si orang tua. Belajar yang dimaksud di situ adalah menghafal materi pembelajaran dan latihan mengerjakan soal. Tidak peduli benar–benar paham atau tidak, yang penting nilai akhir yang didapat bagus.
Lho, kan di kurikulum 2013 yang dinilai komplit, mulai dari spiritual, sosial, pengetahuan, keterampilan? Percayalah, itu sebatas teori saja. Adapun kenyataannya, fakta riilnya, semua subyek yang berkaitan dengan sebuah lembaga pendidikan (murid, guru, orang tua, pemerintah daerah, pemerintah pusat) menganggap nilai yang paling penting hanyalah nilai pengetahuan alias aspek kognitifnya saja.
Pendidikan yang melulu memprioritaskan aspek kognitif tanpa memedulikan pengembangan potensi terbaik yang dimiliki seseorang yang tentu membutuhkan aspek afektif dan psikomotorik adalah sebuah pendidikan yang prematur atau bahkan bisa juga disebut sebagai pendidikan yang irasional.
Penjelasan itu bukan berarti menolak aspek kognitif. Jika seseorang memang potensi utamanya dalam aspek kognitif, harus dimaksimalkan pengembangan aspek kognitifnya. Persoalannya adalah tidak semua orang bagus aspek kognitifnya. Dan seharusnya orang–orang yang memang tidak mempunyai kelebihan pada aspek kognitif tak perlu dipaksa untuk bagus pada aspek kognitifnya.
Seringkali pendidikan kita membuat peserta didiknya melakukan blunder yang fatal. Mematikan potensi terbaik yang dimilikinya dan memasuki dunia baru yang sebenarnya tidak berada pada ranah yang sesuai dengan potensi terbaik yang dimilikinya. Maka tidak heran, lulusan pendidikan di Indonesia masih sangat banyak yang menggantungkan hidupnya kepada perusahaan–perusahaan, lembaga–lembaga, alih–alih berkarya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Juga tidak sedikit yang menganggur. Orientasi pendidikan diseragamkan. Untuk menjadi buruh, pegawai, karyawan di mana pun posisinya yang penting bergaji tinggi. Kalau benar–benar kepepet barulah menerima gaji rendah. Kalau memang lebih mengutamakan gengsi, daripada bergaji rendah atau membuka usaha lebih baik menganggur.
Mind set yang terpatri oleh kebanyakan pengenyam pendidikan di Indonesia kira–kira seperti ini. Sekolah adalah persiapan kerja. Kerja itu untuk mencari uang. Cara terbaik untuk mendapatkan uang adalah dengan menjadi buruh, pegawai, karyawan apa pun posisinya yang penting bergaji tinggi. Maka, sekolah adalah proses mempersiapkan seseorang untuk menjadi buruh, pegawai, karyawan yang bergaji tinggi. Ya kan !
Selama mind set itu belum berubah, impian untuk mempunyai SDM–SDM unggul dalam berbagai bidang hanya isapan jempol belaka.