Pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara sesuai dengan amanat undang-undang. Sejatinya pendidikan merupakan jalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan jiwa dan minat masing-masing individu.
Pendidikan dan ilmu pengetahuan sepatutnya memiliki tempat yang independen dan bebas nilai. Namun kenyataannya, hegemoni penguasa senantiasa ikut andil melakukan intervensi dalam pendidikan. Tak heran jika instansi pendidikan kerap menjelma sebagai ‘tangan negara’ dalam rangka menanamkan nilai-nilai, sudut pandang dan legitimasi atas suatu hal yang dianggap benar dan dijadikan pembenaran oleh pemerintah.
Mengapa penguasa di setiap rezim selalu memiliki hegemoni dalam dunia pendidikan? Foucault (1980) dalam bukunya menjelaskan bahwa kekuasaan (power) selau hadir bersama dengan pengetahuan (knowledge) yang dapat dibuat dari beragam sudut pandang, istilah, gagasan, aturan, komentar, hukum, dan berbagai definisi yang dihasilkan oleh berbagai macam disiplin ilmu.
Kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa di dalamnya. Di Indonesia sendiri, manifestasi pendidikan dalam rangka menjaga berdirinya tonggak kuasa sudah terlihat sejak lama. Di rezim orde Baru Soeharto, buku-buku ilmu kewarganegaraan resmi dilarang dan dihapus pada tahun 1970-an sam digantikan oleh Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Implementasi PMP di masa itu dilakukan dalam seluruh tingkatan pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Pendidikan moral dengan interpretasi tunggal dan indoktrinasi yang secara masif dilancarkan oleh rezim orde baru Soeharto terbukti berhasil untuk menanamkan nilai-nilai yang hendak dibentuk sesuai dengan kehendak penguasa sehingga apapun kebijakan yang hendak diambil oleh penguasa akan dengan mudah selaras dam diterima oleh masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan kehendak rezim Orde Baru untuk membentuk stabilitas politik dalam rangka mendukung visi misi rezim orde baru.
Hegemoni penguasa dalam institusi pendidikan tak berhenti sampai disitu, pada tahun 1978-an pemerintah melalui surat keputusan №0156/U/1978 melancarkan program Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang bertujuan untuk menjadikan kampus sebagai kawasan yang steril dari aktivitas politik dan segala bentuk kegiatan aktivisme.
Sanksi tegas pun diberlakukan bagi yang melanggar aturan ini, yakni dapat dipecat dari status kemahasiswaan di kampus tersebut. Dalam penerapan NKK/BKK ini pemerintah berdalih bahwa kampus harus dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan yang berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kampus yang harusnya menjadi tempat paling bebas dalam mengembangkan gagasan dan membangun pikiran kritis justru harus dibungkam karena kepentingan rezim orde baru kala itu.
Meskipun rezim orde baru sudah runtuh dan kebebasan demokrasi menjadi dasar kehidupan berbangsa saat ini, namun pola intervensi penguasa secara sistemik dalam pendidikan di Indonesia tak serta merta hilang. Diangkatnya salah satu CEO Startup terkemuka karya anak bangsa menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan dianggap sebagian orang menjadi angin segar yang membawa dunia pendidikan kita dalam menjawab tantangan global. Melalui slogan ‘Merdeka Belajar‘ yang digadang dapat membuat kurikulum pendidikan lebih link-match dengan dunia kerja, institusi pendidikan hari ini tak ubahnya menjadi pencetak kebutuhan industri belaka.
Corak kapitalistik dalam dunia pendidikan kita juga terlihat jelas melalui eksklusivitas beberapa institusi pendidikan yang bahkan merupakan instansi pendidikan negeri namun mempertontonkan dengan jelas praktik komersialisasi dengan orientasi mengejar profit, membangun fasilitas kampus yang megah namun menggusur nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri. Saat sudah menguras budget untuk menempuh pendidikan ketika lulus kita pun dipaksa untuk terjun dalam industri yang mudah ‘menyerap’ kita dalam industri namun juga mudah untuk ‘melempar’ kita dari industri tersebut.
Tenaga kerja dengan keahlian spesifik dan keterampilan tinggi hari ini harus menghadapi ironi saat berhadapan dengan logika supply-demand dimana saat ini tenaga kerja ahli jumlahnya sangat melimpah dan bukan lagi menjadi ‘barang mahal’ dalam rantai produksi sehingga apresiasi industri terhadap keterampilan yang dimiliki seringkali tidaklah pantas. Pilihannya hanya dua, take it or leave it karena masih banyak tenaga kerja ahli lainnya diluar sana yang lebih terampil dan bersedia untuk dibayar lebih murah.
Semangat Merdeka Belajar yang digagas oleh menteri pendidikan saat ini lupa bahwa bangku pendidikan yang dirancang untuk peserta didik agar tunduk terhadap ‘pasar’ hanya akan membuat kita teralinenasi, jauh dari makna kemerdekaan dan mengantarkan kita hanya sampai didepan lembaran kontrak untuk diteken untuk menjadi pekerja upahan sesuai dengan kebutuhan.