Selasa, Oktober 15, 2024

Pendidikan di Tengah Pandemi dan Perubahan Perilaku

lukis alam
lukis alam
Staf Pengajar di Institut Teknologi Nasional Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan magister di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Terakhir, program Doktor ia tuntaskan di UIN Sunan Kalijaga. Jenjang Magister dan Doktor diraih dengan predikat Cumlaude.

Gejolak Pandemi Covid-19 yang berlangsung hingga saat ini telah menggerus hampir seluruh sektor, khususnya di Indonesia – dan dampak yang dihadirkan sangat dahsyat, memporak-porandakan tatanan sosial, ekonomi, budaya, dan seterusnya. Presiden Joko Widodo di bulan Maret 2020 setahun lalu, menginstruksikan seluruh kegiatan diselenggarakan di rumah, termasuk pembelajaran dari Tingkat Dasar hingga Perguruan Tinggi – saat bersamaan seluruh stakeholder pendidikan “dipaksa” untuk mengubah kewenangan dan kebijakan secara darurat. Hal tersebut diupayakan agar bisa mengendalikan penyebaran Covid-19.

Bukan hal mudah melokalisir sesuatu yang sudah berjalan sebagaimana mestinya, karena memang pembelajaran idealnya lebih nyaman diselenggarakan di dalam kelas. Pelembagaan sekolah lagi-lagi mengalami perubahan, di mana saat ini rumah menjadi lembaga tidak resmi penyelenggaraan diseminasi pengetahuan.

Tidak ada angka pasti jumlah sekolah yang ditutup selama pandemi. Sekolah-sekolah tidak bisa menyelenggarakan kegiatan pembelajaran, belum lagi menghitung para siswa yang terdampak. Terkait dengan hal itu, Unicef pernah merilis, setidaknya 1,5 miliar sekolah dan hampir setengah miliar anak-anak di seluruh dunia bersekolah di rumah sebagai akibat dari pandemi ini – termasuk di Indonesia, sehingga untuk sementara waktu, laptop dan smartphone menjadi “guru” mereka. Melihat spektrum dampak pandemi yang demikian luas, sektor pendidikan penting dicermati karena salah satu penentu kualitas suatu bangsa dilihat dari mutu pendidikannya.

Covid-19 telah menjadi wabah global yang berakhirnya entah sampai kapan. Di sisi lain, harus ada keyakinan kuat bahwa pandemi ini akan semakin meneguhkan kemanusiaan dan peradaban itu sendiri, dan pasti cepat atau lambat kita bisa melalui musibah ini. Kekhawatiran masyarakat terhadap nasib pendidikan nasional harus dilihat dalam perspektif yang proporsional. Banyak hal yang mesti dikorbankan. Struktur pendidikan nasional juga ikut bergeser.

Dengan pola pembelajaran di masa pandemi, otomatis perlu redefinisi dan rekonstruksi kembali kebijakan pendidikan kita agar seyogyanya ada hal-hal solutif yang bisa dikembangkan demi kepentingan memajukan generasi penerus di masa mendatang.

Orientasi pendidikan kita, jika saya boleh mencermati pada pendidikan dasar hingga menengah – yang sebenarnya pada level pendidikan dasar akan lebih terasa dampaknya, karena di level ini – pada umumnya anak-anak Sekolah Dasar, mereka tidak terbiasa untuk menggunakan smartphone.

Tetapi, kondisi berbeda jika  pembelajaran di sekolah-sekolah swasta, dalam konteks ini saya mengistilahkan dengan sekolah elite, di mana fasilitas jauh berbeda dibanding sekolah pada umumnya – bahkan anak-anak terbiasa, dan mungkin “terlatih” menggunakan smartphone.

Pembelajaran di masa pandemi tetap bergantung pada teknologi, dan sudah menjadi keniscayaan. Di saat bersamaan, penggunaan perangkat teknologi seperti smartphone, laptop dan kuota internet menjadi sesuatu yang “diharuskan.”

Anak-anak disibukkan dengan rutinitas mengerjakan tugas sebagai ganti pembelajaran di sekolah, begitu juga dengan para guru – mereka dibebankan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) sebagaimana di sekolah, yang membedakannya, itu semua dilakukan di rumah.

Optimalkah pembelajaran di masa pandemi? Mungkin pertanyaan ini harus dijawab nanti atau bahkan sulit dicari jawabannya – karena banyak faktor yang harus diperhatikan. Saya meyakini, sebenarnya Pemerintah memiliki SOP dalam menyikapi pembelajaran di masa pandemi, tetapi mungkin implementasi di lapangan jauh berbeda dan secara geografis Indonesia adalah negara besar, kompleksitas penyelenggaraan e-learning atau distance learning, jika saya boleh meminjam istilah tersebut, akan sangat bergantung dari masing-masing daerah. Jaringan internet lagi-lagi menjadi problem yang tidak boleh disepelekan, selain infrastruktur pembelajaran lain yang masih harus dikomunikasikan antar pemangku kebijakan.

Kenyamanan belajar juga tidak bisa dihiraukan. Di sekolah materi pembelajaran mungkin bisa dengan mudah disampaikan guru. Tetapi, bila sudah di rumah, bagaimana materi tersampaikan dengan lancar? Masalahnya smartphone menjadi sarana yang dibutuhkan untuk bisa mengakses materi – bahkan ada kasus, seorang ayah membeli smartphone dari hasil mencuri, sungguh ini sangat disesalkan.

Alih-alih untuk belajar, malah digunakan untuk bermain game. Di sisi lain, orangtua harus memaksa diri menjadi guru untuk anak-anaknya – yang mungkin sebelum pandemi melanda, orangtua sibuk bekerja & tidak aware dengan perkembangan anak-anak mereka. Maka, dengan kesempatan itu, menjadikan hubungan antara orangtua dengan anak lebih baik lagi.

Seiring bergulirnya waktu, pandemi telah mengubah perwajahan pendidikan nasional secara cepat, sejalan dengan itu masyarakat telah terbiasa dengan perubahan-perubahan kebiasaan yang terjadi. Penggunaan teknologi yang semakin sering, apalagi oleh anak-anak, mencuatkan beragam argumentasi. Di tahap tertentu, Teknologi dapat membantu kinerja manusia, tetapi dalam aspek lain – seringkali teknologi menjadi penyebab perubahan-perubahan perilaku pada manusia.

Maka, dalam konteks ini, pendidikan nasional telah berada dalam persimpangan jalan. Utilisasi teknologi di dalamnya menimbulkan serangkaian disrupsi yang tidak disadari kehadirannya, termasuk disrupsi perilaku. Kenyataannya, disrupsi perilaku ini kadang menjadi hal yang terabaikan.

Terkait dengan hal di atas, manakala anak-anak asyik dengan dunia mobile – yang saat ini karena dampak pandemi, mereka memiliki waktu yang lebih banyak daripada sebelumnya. Hal inilah justru tidak diketahui orangtua pada umumnya. Arena bermain anak-anak itu telah berubah ke dunia virtual, di mana dunia mereka yang sebenarnya justru lebih indah.

Ketergantungan terhadap gadget yang perlu menjadi perhatian orangtua. Selain dari aspek kesehatan juga riskan, anak-anak yang kecanduan gadget, perkembangan psikologisnya juga akan terganggu. Ada upaya berlebihan berinteraksi waktu dengan layar laptop atau smartphone secara berlebihan, entah menonton Youtube atau bermain game. Di sisi berbeda, di saat anak-anak tidak bisa terbendung kebiasaannya menghabiskan waktu bermain teknologi, mereka akan memilih gadget ketimbang menghabiskan waktu dengan keluarga.

Dampak lain juga perlu menjadi perhatian, seperti tiba-tiba anak menjadi pemarah, atau motivasi belajar menjadi turun bahkan hilang dan seterusnya. Mungkin orangtua harus melakukan detoksifikasi terhadap kecanduan gadget, tidak hanya di masa pandemi ini, ke depan orangtua juga harus memperoleh edukasi yang komprehensif betapa bahayanya efek gadget pada anak.

Pada akhirnya, relevansi pendidikan dengan teknologi seyogyanya ditempatkan pada posisi di mana keduanya bisa menjadi struktur yang saling menguntungkan, dalam arti, aspek teknologi bila didayagunakan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan terhadap proses-proses pembelajaran, maka seluruh kerumitan yang ada hampir dipastikan bisa diselesaikan, tentu dengan melibatkan sumberdaya manusia yang kompeten, didukung sistem yang solid akan menghasilkan kualitas pendidikan yang bagus. Beranikah kita mewujudkannya ?

lukis alam
lukis alam
Staf Pengajar di Institut Teknologi Nasional Yogyakarta. Menyelesaikan pendidikan magister di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Terakhir, program Doktor ia tuntaskan di UIN Sunan Kalijaga. Jenjang Magister dan Doktor diraih dengan predikat Cumlaude.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.