Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang telah diselenggarakan di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten telah usai.. Pada hari Rabu, 5 September 2018 kemarin, 9 Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dilantik telah dilantik oleh presiden di Istana Negara. Kepala daerah terpilih yang lain akan segera menyusul.
Janji-janji kampanye kepala daerah terpilih telah tersebar ke penjuru pelosok masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi sampai keadilan sosial. Kini tiba saatnya kepala daerah terpilih melunasi janji-janji kampanyenya kepada masyarakat.
Salah satu isu yang selalu dan pasti diangkat, dijanjikan, dan dijadikan komoditas kampanye oleh para kepala daerah terpilih adalah isu pendidikan. Pendidikan selalu menjadi hal yang paling seksi dalam mendulang suara saat pilkada.
Dari setiap proses Pilkada pendidikan selalu terseret dalam arus “politik” yang melenakan. Pendidikan selalu dalam posisi ‘tersandra’ dalam perjalanan pesta demokrasi yang berjalan. Para calon kepala daerah –yang banyak dari politisi– sering terjebak pada visi pembangunan jangka pendek, sedangkan pendidikan itu sendiri membutuhkan visi pembangunan jangka panjang. Hal ini tidak akan pernah bertemu.
Kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa, politik hanya memikirkan masalah-masalah jangka pendek. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam jangka pendek.
Jika memang pendidikan adalah jalan panjang untuk membangun peradaban dan mewarnai kehidupan bangsa, maka seharusnya proses perjalanan pendidikan tidak boleh diganggu oleh “kekuasaan baru” –yang sering prakmatis– dari hasil proses politik setiap pemilihan kepala daerah.
Memang sejak desentralisasi kekuasaan digulirkan melalui Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menjadi ‘raja-raja’ yang memiliki kebijakannya masing-masing dalam mengatur urusan di daerah.
Seolah lupa bahwa kebijakan yang diambil sering tidak sama dengan Pemerintah Pusat, bahkan berlawanan, khusunya pendidikan. Pendidikan selalu terkena imbas dari setiap pilkada yang menghasilkan implikasi dua hal yang saling berlawanan. Bagai pisau bermata ganda, proses politik terutama di daerah dapat menciptakan kreativitas dan inovasi pendidikan daerah berkembang pesat, sisi yang lain membuat rusak tatanan dan arah pendidikan di daerah.
Dalam hasil riset yang dikeluarkan oleh Word Bank tentang Learning to Realize Education Promise mengatakan bahwa, politics can intensify misalignments in education systems. Sistem pendidikan yang sangat kompleks selalu menghadapi intervensi politik yang menimbulkan ketidakselarasan dalam pendidikan.
Ada tiga implikasi langsung terhadap pendidikan dari hasil pemilihan pilkada yang telah dilaksanakan 27 Juni 2018 kemarin adalah 1) Carut-marutnya distribusi guru, 2) Hancurnya peran tri pusat pendidikan, 3) Visi pembangunan pendidikan yang tidak terarah dan terkontrol.
Pertama, carut marutnya distribusi guru. Istilah “Ganti Pimpinan, Ganti Gerbong” sering muncul setelah pesta demokrasi selesai. Pemenang Pilkada akan mengatur plot orang-orang yang ada di gerbong saat pemilu sebagai balas jasa karena telah membantu mengantarkan kemenangan pilkada.
Bisa dilihat bersama di semua daerah, bagaimana perubahan struktural pejabat di dinas pendidikan terjadi begitu cepat. Bukan hanya itu, guru, kepala sekolah, dan pengawas juga banyak yang “dilempar kemana-mana” tanpa melihat kondisi dan kebutuhan seharusnya. Hal ini menyebabkan distribusi dan pemerataan guru menjadi tidak karuan.
Kedua, hancurnya peran tri pusat pendidikan. Janji politik “pendidikan gratis” hampir selalu digunakan oleh para calon kepala daerah. Frasa itu selalu didengungkan kepada masyarakat, sehingga orang tua dan masyarakat acuh/apatis dan tidak mau mengambil peran terhadap proses pendidikan (terutama pendidikan anak). Peran Tripusat pendidikan, sekolah, keluarga, dan masyarakat yang digaungkan Bapak Pendidikan Bangsa, Ki Hajar Dewantara seakan ‘dibunuh’ secara perlahan oleh frasa tersebut.
Jika kita mau kritis terkait anggaran pendidikan, bantuan pemerintah pusat terkait akses pendidikan telah dioptimalkan melalui dana BOS dan PIP. Dua program ini telah memberikan banyak akses pendidikan kepada anak tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan secara gratis. Secara tidak langsung, jika kepala daerah terpilih, mereka bisa saja tidak menganggarkan anggaran fungsi pendidikan tambahan (yang besar) karena sudah ter-cover oleh anggaran dari Pemerintah Pusat. Memanfaatkan program yang sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sebagai janji politik.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mengeluarkan Permendikbud nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah agar mendorong dan memperkuat peran Tri Pusat Pendidikan seakan sia-sia karena ada frasa pendidikan gratis yang terus digelorakan oleh calon kepala daerah saat kampanye. Pendidikan gratis akan menjadikan masyarakat semakin lemah dalam mengambil peran dalam pendidikan sehingga beban pendidikan serasa berat di sekolah.
Ketiga, visi pembangunan pendidikan tidak terarah dan terkontrol. Dalam diskusi bersama “Pemanfaatan Neraca Pendidikan Daerah” di beberapa provinsi di Indonesia yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendididikan dan Kebudayaan dimana semua Kepala Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, dan Musyawarah Kelompok Kepala Sekolah (MKKS) Kabupaten/Kota dikumpulkan satu forum untuk berdiskusi tentang kebijakan dan program pendidikan.
Hampir semua peserta mengeluhkan –terutama dinas pendidikan– tentang intervensi politik dalam pendidikan yang terlalu besar dalam pembangunan pendidikan daeah. Tidak samanya visi pendidikan kepala daerah sebelum dan sesudah pergantian, perubahan struktural dinas, kebijakan dan program, sampai alokasi anggaran pendidikan yang tak karuan akibat pada intervensi kepala daerah maupun DPR Daerah yang baru terpilih. terkait kebijakan dan anggaran pendidikan.menyebabkan visi pembangunan pendidikan yang sudah dibangun menjadi tidak terarah dan tidak terkontol dengan baik.
Untuk itu, masyarakat harus ikut mengawal dan menjaga arah pendidikan paska Pilkada dan pelantikan kepala daerah ini. Masyarakat harus menjadi pemerhati yang kritis, arif, dan bijak dalam melihat kebijakan yang dikeluarkan. Selain itu, masyarakat perlu ikut aktif mengawasi dan mengkritisi perubahan maupun kebijakan baru yang dikeluarkan kepala daerah, khusunya pendidikan.
Semoga para kepala daerah tidak menjadikan kekuasaannya untuk merusak arah dan tujuan pendidikan. Ikut serta menata dan mendistribusikan guru sesuai pemetaan, mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam pendidikan, serta tetap menjadikan pendidikan sebagai visi pembangunan jangka panjang.