Korupsi bak jamur yang terus tumbuh di negeri ini. Kita dipertontonkan dengan penangkapan-penangkapan para koruptor. Bukannya menjadi efek jera kepada yang lain, malah korupsi semakin meningkat.
Transparency International merilis pada tahun 2017 Indonesia menempati peringkat 96 dari 180 Negara dengan tingkat korupsinya. Walaupun skala nilai indeks persepsi korupsi Indonesia sama dengan pada tahun 2016 yaitu 37 dengan interval nilai (0-100), tapi Indonesia cenderung turun peringkat indeks persepsi korupsinya, dari peringkat 90 tahun 2016 menjadi peringkat 96 pada tahun 2017 (detik 22/2/18).
Penindakan terhadap korupsi gencar dilakukan oleh penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Tapi sepertinya korupsi tetap saja terjadi dimana-mana, tak terlepas di Instansi peradilan, seperti OTT yang terjadi di Pengadilan Negeri Medan beberapa waktu yang lalu.
Padahal lembaga peradilan adalah lembaga yang seharusnya bersih dari Korupsi, karena dilembaga tersebutlah orang-orang mencari keadilan. Hakim-hakim yang memainkan peran Tuhan yang memutuskan bersalah-tidaknya seseorang ternodai dengan perbuatan korupsi. Penindakan saja tidak cukup untuk mengurangi angka korupsi, upaya lain yang harus dilakukan adalah memberikan pendidikan antikorupsi dimulai dari dini hingga perguruan tinggi.
Dari dini
Mengapa pendidikan anti korupsi diajarkan sedari dini? Paling tidak penulis dapat memaparkan alasan, mengapa pengenalan antikorupsi sedari dini disampaikan dan diajarkan. Usia dini adalah saat dimana anak ibarat kertas kosong yang harus diisi dengan nilai-nilai kebaikan.
Kertas kosong akan terlihat indah dan cantik kalau ditulis dengan tulisan yang indah, sebaliknya kertas kosong akan terlihat jelek kalau tidak ditulis dengan tulisan yang elok. Peran orang dewasa dalam hal ini orang tua dan guru sangat dominan dalam pemberian pengalaman belajar kepada anak-anak usia dini, termasuk memberikan pengalaman perbuatan anti korupsi.
Orang tua dan guru disekolah dapat memberikan pengalaman belajar anti korupsi dari hal sederhana seperti: tanggung jawab, jujur dan tidak mengambil hak orang lain. Tanggung jawab dapat dicontohkan dengan menyimpan mainan ketempat semula setelah selesai bermain.
Mereka diarahkan untuk bertanggung jawab dengan barang yang dipakainya, sedangkan orang tua dan guru dapat mengawasi dan mengarahkannya. Orang tua dan guru tidak langsung membantu mereka untuk menyimpan barang mainannya, tapi menuntun mereka untuk mengambil dan menyimpannya sendiri.
Pemberian pengalaman untuk berbuat jujur dapat dicontohkan seperti: menanyakan kegiatan yang dilakukan selama dirumah dan disekolah. Guru dapat menanyakan kepada anak, apa saja kegiatan yang dilakukan selama dirumah. Begitu juga orang tua dapat menanyakan kegiatan selama disekolah.
Tidak mengambil hak dan milik orang lain dapat dicontohkan kepada anak untuk memakai barang yang menjadi hak dan miliknya. Kalaupun seandainya dia ingin memakai barang yang tidak menjadi hak dan miliknya, dapat meminta ijin terlebih dahulu. Tidak boleh anak mengambil dan memakai milik orang lain tanpa diberi ijin oleh yang punya. Pemberian pengalaman belajar secara seperti ini harus dilakukan oleh orang dewasa, agar kelak anak terbiasa dengan perbuatan-perbuatan yang sejalan dengan nilai-nilai antikorupsi.
Korupsi terjadi karena tidak adanya rasa tanggung jawab yang tertanam dalam dirinya. Merasa bahwa perbuatannya tidak akan dimintai pertanggung jawaban baik dihadapan manusia dan dihadapan Tuhan yang Mahakuasa.
Korupsi terjadi karena hilangnya kejujuran dalam diri koruptor. Jujur dalam mengemban amanah dan tugas merupakan hal yang sangat penting, karena dengan kejujuran transparansi akan terwujudkan.
Korupsi tidak akan terjadi, kalau seandainya dia merasa bahwa mengambil hak dan milik orang lain adalah perbuatan zalim yang tidak dapat dibenarkan oleh Negara dan agama. Nilai-nilai antikorupsi inilah yang seharusnya sedari dini diajarkan kepada anak-anak usia dini dan berkelanjutan sampai perguruan tinggi.
Begitu akutnya korupsi di Indonesia, perlu ada upaya serius dalam pencegahan korupsi. Pemerintah sudah selayaknya menjadikan Pendidikan Anti Korupsi bahagian kurikulum pendidikan, baik dari Pendidikan Anak Usia Dini sampai perguruan tinggi. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat korupsi sudah mengakar-mengurat di Negara Indonesia.
Pendidikan anti korupsi harus dilaksanakan secara terstruktur dan berkelanjutan, sebab itu pihak-pihak yang terkait seperti Kementrian Pendidikan, Kementrian agama, KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan seluruh stake holder yang terkait agar duduk bersama dan merancang kurikulum pendidikan anti korupsi.
Memang pendidikan antikorupsi telah diintegrasikan dalam kurikulum melalui pendidikan karakter. Tapi melihat begitu kronisnya korupsi saat ini, perlulah kiranya pendidikan antikorupsi dijadikan sebagai muatan khusus dalam kurikulum pendidikan secara terstruktur dari usia dini hingga perguruan tinggi.
KPK sebenarnya sudah menyusun konten pendidikan antikorupsi, beberapa perguruan tinggi juga sudah memasukkannya kedalam kurikulum. Tapi pendidikan antikorupsi secara khusus dan masuk dalam muatan kurikulum belum berjalan secara efektif dan simultan. Padahal ketika Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption-UNCAC) mengamanahkan untuk memasukkan budaya anti korupsi dalam sistem pendidikan.