Senin, Oktober 14, 2024

Pendidikan: Antara Ilmu dan Moralitas

Fitrah
Fitrah
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.

Apa yang terlintas dipikiran kita, ketika mendengar istilah pendidikan? Secara umum, ada mengingat gedung kampus, gedung sekolah, sistem pendidikan. Sebagian lagi, ada mengingat keindahan arsitektur gedung, keindahan taman-taman bermain.

Dan sebagian lagi, ada yang sudah sampai membahas mengenai esensi atau hakikat dari pendidikan itu sendiri yaitu antara ilmu pengetahuan dan moral atau akhlak mulia. Dari pandangan ketiga tipe manusia tersebut tidak ada yang salah. Dan mungkin benar semua.

Arti Pendidikan

Orang-orang Yunani, lebih kurang 600 tahun sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia.

Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki sifat kemaunsiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik ialah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas.

Seperti apa kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani lama itu menentukkan tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengedalikan diri, kedua, cinta tanah air, dan ketiga berpengetahuan. (Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, Hal:33).

Ilmu dan Moral

Pendidikan merupakan hal yang amat penting dalam komunitas besar suatu negara, di mana pendidikan merupakan ujung tombak untuk menciptakan perkembangan dan kemajuan negara itu sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa generasi muda setiap negara membutuhkan peran pendidikan yang besar.

Tanpanya, generasi muda akan layu dan tertinggal sehingga ini akan mempengaruhi kualitas maju atau tidaknya negara itu, karena generasi muda adalah tulang punggung negara.

Definisi Pendididkan menurut UU.No.20 tahun 2003, menyatakan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Dari pengertian pendidikan di atas. Ada 3 kata kunci yang harus disimpulkan adalah. 1). usaha sadar dan terencana. 2). suasana belajar yang dapat mengembangkan potensi dirinya. 3). memiliki spiritualitas, akhlak mulia dan keterampilan. Jenis pendidikan ada 3.Yaitu:1). Pendidikan formal. 2). Pendidikan non-formal. 3). Pendidikan informal.

Demikian pula halnya, karena pendidikan dinilai sangat penting, tentu saja pendidikan tidak akan berjalan semestinya tanpa sebuah tujuan. Di sinilah pentingnya tujuan pendidikan, dan tentu juga tujuan tersebut harus matang, jelas, dan direalisasikan secara nyata. Jika sudah demikian, maka peluang untuk melahirkan generasi muda yang cerdas, tangguh, dan bermoral juga akan semakin besar.

Tujuan Pendidikan Menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional pasal 3, mengatakan bahwa, “Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dalam Pasal 31 ayat 3, Undang-Undang dalam versi amandemen juga menuturkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.

Hal ini dikuatkan pula dalam pasal 31 ayat 5, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Revolusi Moralitas.

Dalam pendidikan harus mendahulukan ilmu moral/akhlak. Baru kemudian mengajarkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang berkaitan sesuai dengan minat atau konsentrasi jurusan masing-masing.

Orang yang bermoral pasti orang berilmu atau berpendidikan. Sedangkan orang berilmu atau berpendidikan belum tentu bermoral.

Moral atau akhlak adalah diibaratkan bibit unggul. Kalau kita mempunyai bibit unggul pasti ketika kita menanamnya suatu saat nanti ketika musim panen kita mendapatkan hasil yang berkualitas. Dengan bibit unggul tersebut dapat memberikan kesuburan atau manfaat bagi diri sendiri dan lingkungan masyarakat.

Mental berakar dari bahasa latin, yaitu mens yang menunjuk pada kemampuan berpikir, karena itu kita mengenal istilah mental health, mental hospital,dll. Moral juga berasal dari bahasa latin mores, yaitu adat istiadat atau pedoman perilaku. Meski keduanya mengacu pada hal yang sama. Secara sosiologis kedua konsep tersebut memiliki sikap yang berbeda-beda.

Mental biasanya ditujukan pada karakter atau kualitas cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang bersifat profan dan universal. Yaitu bisa berlaku untuk semua orang, semua golongan, misal, mental rajin dan malas, sopan, dan jujur,dll.

Moralitas, standar penekanannya bukan sekedar pada penililaian baik dan buruk, melainkan punya konotasi dosa dan tidak dosa (halal dan haram). Jadi moral sering digunakan dalam ranah kepercayaan dan keagamaan, misal cara berpakaian, cara berperilaku,dll.

Maka, konsekuensi pelanggaraan moral dianggap dosa. Sedangkan pelanggran mental tidak dianggap sebagai dosa.

Bung Hatta Wakil Presiden Ke-1 RI dan Pahlawan Nasional, mengatakan bahwa, “Ilmu hanya maju ditangan orang yang punya karakter, yang tahu menghargai pendapat orang lain dengan berani mempertahankan pendirian sendiri. Orang yang mempunyai karakter tak segan mempertahankan pendapatnya, sekalipun bertantangan dengan pendapat umum. Hanya dengan pendirian kritis itu dapat ilmu dimajukan”.(Bung Hatta, Hal:61-62).

Lebih lanjut Hatta mengatakan……..Karakter yang terutama, bukan kecerdasan. Kecerdasan dapat dicapai dengan jalan studi oleh orang yang  mempunyai karakter. Karena karakter itulah pula ilmu dapat berjalan terus. Orang yang mempunyai karakter berani menanggung jawab, dan berani pula menolak pertanggung kjawab tentang hal yang tidak cocok dengan keyakinannya sendiri. Dan oleh karena itu ia berani pula menempuh perjuangan dan menentang tradisi, berani mempunyai paham sendiri, dan berbuat apa yang dikatakannya dengan mulut. Orang yang mempunyai karakter kuat kepercayaannya akan dirinya sendiri (Bung Hatta, Hal:62-63).

Selanjutnya, Bung Hatta mengatakan, ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Pendidikan ilmiah pada perguruan tinggi dapat melaksanakan pembentukan karakter ini. Karena, seperti yang saya katakan tadi, ilmu wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.(Bung Hatta, Hal:444).

Fitrah
Fitrah
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.