Rabu, April 24, 2024

Pencalonan Caleg Perempuan ala PSI

Salma Syakira Widodo
Salma Syakira Widodo
Mahasiswi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia 2016

Perempuan seringkali dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak memiliki kesetaraan hak dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan. Pola pikir masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa perempuan seharusnya hanya berada di rumah, mengurus urusan rumah tangga, mengurus suami, dan merawat anak.

Pikiran tersebut sudah sangat mengakar dan memengaruhi berbagai lini kehidupan di masyarakat, hingga pada akhirnya memengaruhi ruang gerak dari perempuan itu sendiri. Adanya pola pikir ini juga salah satu dari faktor yang memengaruhi tingginya angka pernikahan dini yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah, perempuan masih tidak diharuskan untuk pergi ke sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak, karena mereka berpikir bahwa nantinya perempuan tersebut akan menikah dan hanya mengurus urusan domestik saja.

Seiring dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, pemikiran yang dipelihara oleh masyarakat Indonesia tersebut dinilai merupakan salah satu bentuk diskriminasi gender, dimana perempuan selalu dianggap lebih inferior daripada laki-laki. Tidak dapat dipungkiri bahwa pola pikir tersebut memengaruhi aktivitas perempuan sampai dengan sektor politik.

Pada bidang politik, perempuan tidak memiliki akses yang setara dengan laki-laki. Perempuan dianggap tidak cakap dalam melakukan fungsi legislasi, pembuatan keputusan dan kepemimpinan, karena perempuan pada umumnya lebih mengedepankan emosi daripada logika seperti laki-laki. Akibatnya, sedikit sekali jumlah perempuan yang berani untuk mendaftarkan dirinya pada kontestasi politik manapun dan partai politik yang menjadi kendaraan untuk dapat berkontestasi juga sangat menomorduakan kandidat perempuannya.

Sebagai bentuk tanggapan atas hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan affirmative action yang mengharuskan keterlibatan perempuan dalam parlemen setidaknya 30 persen. Kuota tersebut bertujuan untuk dapat menstimulus partisipasi perempuan dalam politik karena sudah diberikan jaminan oleh pemerintah, namun pada faktanya kuota tersebut belum pernah tercapai, angka selalu menunjukkan di bawah 30  persen.

Pada periode 2014 – 2019, hanya ada 97 perempuan dari total 560 anggota DPR. Angka tersebut masih sangat jauh dari batas minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal, peran perempuan dalam pembentukan undang-undang atau sebuah kebijakan adalah sangat penting karena erwakilan perempuan dapat membawa suara yang mewakilkan perempuan tersebut.

Sebenarnya, jumlah calon legislatif dari perempuan relatif terus meningkat, namun jumlah perempuan yang terpilih masih sangat kurang dari ambang batas yang telah ditetapkan. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut, salah satunya mengenai nomor urut para calon legislatif.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Pippa Norris dan Ronald Inglehart, terdapat tiga tingkat analisis yang memengaruhi rekruitmen politik, yaitu faktor sistematik, faktor partai, dan faktor individu calon legislatif. Faktor sistematik meliputi undang-undang pemilu di suatu negara, sistem partai yang dianut di negara tersebut, dan sistem hukumnya. Faktor partai politik mencakup ideologi dan peraturan-peraturan internal partai yang menentukan pencalonan perempuan menjadi kandidat calon anggota legislatif.

Terakhir, faktor individu calon legislatif meliputi motivasi dan sumber daya yang dimiliki individu tersebut saat akan menjadi calon anggota legislatif. Dalam artikel kali ini saya akan mengaitkan pencalonan perempuan dengan faktor partai politik sebagai pihak yang merekrutnya.

Diskriminasi terhadap hak-hak perempuan dalam politik sudah ternodai sejak perempuan ingin mencalonkan dirinya melalui partai. Berdasarkan sistem terbuka yang dianut, pemberian nomor urut pada calon legislatif tetap berpengaruh terhadap keterpilihannya. Bagaimanapun juga, sistem ini memungkinkan adanya praktek-praktek menyimpang yang pada akhirnya merugikan perempuan ketika mencalonkan dirinya sebagai calon anggota legislatif.

Partai cenderung memberikan nomor urut atas kepada laki-laki dan petinggi partai saja. Dalam hal ini, perempuan dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk menduduki nomor urut atas. Dalam sistem proporsional terbuka, terdapat dua hal yang harus dimiliki oleh para calon kandidat, yaitu modal ekonomi dan basis sosial. Untuk memenuhi hal tersebut, perempuan dianggap belum cakap dalam memiliki modal ekonomi yang cukup dan basis sosial yang kuat. Perempuan biasanya masih tidak terlalu memiliki tingkat partisipasi di partai yang tinggi, sehingga tidak memiliki basis sosial yang kuat untuk mendulang suara.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan salah satu partai baru yang tahun ini sudah mulai berkontestasi dalam perebutan kursi di parlemen. PSI sudah mendaftarkan 575 bakal caleg DPR RI ke Komisi Pemilihan Umum dan sebanyak 45 persen dari jumlah tersebut adalah perempuan dan sebesar 20 persen menduduki nomor urut satu. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat berbeda dibandingkan dengan partai-partai besar lainnya yang sudah lebih sering mengikuti pemilu. Jumalah yang diajukan oleh PSI jauh melampaui batas dari yang sudah ditetapkan oleh peraturan, karena banyaknya jumlah caleg perempuan yang daftar melalui PSI dan memiliki kompetensi yang baik.

Dalam internal partai itu sendiri, PSI menerapkan sebuah sistem pemberian nomor urut calon yang berbeda dengan sistem yang diterapkan oleh partai-partai lainnya. Sistem pemberian nomor urut yang diterapkan oleh PSI berdasarkan undian yang bertujuan untuk membuka kesempatan yang sama kepada semua orang tanpa memandang status apapun. Sistem tersebut sangat berbeda dengan sistem yang diterapkan oleh partai lain, yaitu menggunakan metode kemungkinan raihan suara terbanyak. Sistem suara terbanyak tersebut dinilai sangat menghalangi hak-hak kandidat lain dalam memperoleh kesempatan yang sama.

Sistem yang diterapkan oleh PSI ini juga diharapkan sebagai pembelajaran bagi caleg dan masyarakat, bahwa nomor urut tidak menentukan kualitas dari caleg itu sendiri dan nomor urut tidak menentukan keterpilihan dari caleg tersebut. Dengan adanya sistem ini, PSI mengharapkan masyarakat jadi lebih benar-benar mengenal dan mengetahui caleg yang akan dipilihnya, bukan hanya berdasarkan nomor urut melainkan karena program kerja dan visi misi yang sesuai dengan ketertarikan dari para konstituen.

Pemberian nomor urut yang transparan dan adil ini juga dapat mendorong para calon legislatif untuk lebih mengoptimalkan program kerja dan visi misi yang akan dibawa, karena persaingan akan berjalan dengan adil dan masyarakat diberikan keobjektifan tanpa adanya sistem nomor urut yang sesuai dengan peluang mendapatkan suara. Dengan sistem ini para caleg perempuan juga diberikan hak yang sama dengan para caleg laki-laki, hal ini juga dapat mendorong partisipasi perempuan dalam bidang politik.

Salma Syakira Widodo
Salma Syakira Widodo
Mahasiswi Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia 2016
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.