Jumat, April 26, 2024

Pemuda Melawan Korupsi Melalui Literasi

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|

Setiap tanggal 28 Oktober euforia kaum muda kembali membara karena flashback pada momen 28 Oktober di tahun 1928. Kala itu para perwakilan pemuda dari berbagai pulau di nusantara rela menanggalkan ego kedaerahan, ego kesukuan, ego etnis yang ditandai dengan melakukan Sumpah Pemuda di Batavia (Jakarta) sebagai pertanda meleburnya segala perbedaan menjadi persatuan dalam kebinekaan demi mencapai kemerdekaan.

17 tahun kemudian, para pemuda seperti Wikana, Sukarni, Chaerul Saleh, dkk kembali memberi sumbangsih dengan mendesak dwitunggal Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (Ben Enderson, 1972 :93-94). Pun pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada masa reformasi—pemuda kembali mengambil peran sentral melengserkan rezim otoriter Jenderal Soeharto.

Kegemilangan ini menjadikan pemuda selalu menarik untuk dibicarakan. Secara yuridis, pemuda adalah setiap warga negara baik itu wanita maupun pria yang memasuki usia 16 tahun hingga 30 tahun (Vide Pasal 1 angka 1 UU 40/2009 tentang Kepemudaan). Alejandro Rojas seorang peneliti di UNESCO, mengatakanBeing young is a synonym of change, progress and future. Being young is, ultimately, facing challenges and creating or recreating a space for future full development.” Maka dari itu, pemuda senantiasa diharapkan mampu mengubah suatu problem yang mengakar pada  suatu lingkup sosial menjadi sebuah peluang dan solusi bagi kemajuan lingkup tersebut, dalam hal ini Indonesia.

Dalam laporan BPS (2020), statistik pemuda di Indonesia mencapai jumlah 64,50 juta jiwa. Demografi ini akan sangat berguna apabila entitas pemuda bertransformasi menjadi  problem solver atas ‘dua problem negara yang saling bertalian’ yakni problem rendahnya ranking  literasi negara Indonesia yang linear dengan melorotnya ranking indeks persepsi korupsi Indonesia. Ranking ini merefleksikan betapa buruknya iklim literasi dan iklim korupsi di Indonesia.

Relasi Problem Literasi dengan Korupsi

Menurut The United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), literasi adalah seperangkat kemampuan, terutama kemampuan membaca dan menulis. Makna literasi diperjelas dalam kamus online Merriam Webster, literasi berkaitan juga dengan kemampuan mengenali, dan memahami berbagai objek pengetahuan. Dengan itu dapat disimpulkan bahwa literasi merupakan kondisi melek aksara, yang diukur dari segi kemampuan membaca, menganalisa, dan memahami apa yang dibacanya. Kemudian berbekal akumulasi kemampuan itu, orang tersebut melakukan aktualisasi literasi.

Aktualisasi literasi berupa sikap penolakan terhadap berbagai jenis tindak pidana korupsi (tipikor) yang salah satunya adalah gratifikasi yang menjamur di Indonesia. Ini bertujuan mengedukasi masyarakat bahwasanya gratifikasi merupakan perbuatan tercela (mala in prohibita) dan masuk dalam salah satu dari tujuh jenis kualifikasi tipikor. Edukasi ini penting dikarenakan masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap gratifikasi bukan sebagai kejahatan melainkan ucapan terima kasih dan derma yang dianggap tidak tercela.

Senada, mantan Capim KPK 2011-2015, Aryanto Sutadi berpendapat ‘perbuatan gratifikasi adalah budaya bangsa yang dikriminalisasi’. Artinya budaya gratifikasi sudah menjadi kebiasaan yang melekat dan hidup pada bangsa Indonesia mulai pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Namun belakangan perbuatan gratifikasi dikriminalisasi sebagai salah satu jenis tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 12B UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor “gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya...

Faktor budaya, buruknya kemampuan literasi, dan keterbatasan pengetahuan merupakan tiga faktor yang mengakibatkan masyarakat massal melakukan gratifikasi. Statistik TPK berdasarkan jenis perkara yang dirilis KPK, dari tahun 2010-2021 menunjukkan gratifikasi berujung suap selalu menduduki posisi teratas.

Jangankan pemahaman mendalam ihwal tipikor, minat baca masyarakat Indonesia (MI) saja sangat rendah. Riset bertajuk World Most Literate Nations Ranked pada 2016, minat baca MI berada di ranking 60 dari 61 negara. Bahkan UNESCO melaporkan minat baca MI berada di persentase 0,001 % yang artinya dari 1000 orang, cuma 1 orang saja yang rajin membaca. Dengan kata lain, dari 273.000.000 MI hanya sekitar 273.000 yang memiliki minat baca.

Bila minat baca rendah, sudah barang tentu kemampuan literasi, pemahaman ihwal tipikor, dan sikap anti korupsi juga rendah. Sebab kemampuan literasi, pemahaman tipikor, dan sikap anti korupsi lahir dari aktivitas membaca dan membatini berbagai literatur yang mendaras tipikor.  Hal ini diperjelas dengan kondisi kemampuan literasi yang rendah, secara bersamaan iklim korupsi di Indonesia juga sangat buruk. Transparency International the Global Coalition Againts Corruption (2020), melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di ranking 102 dari 180 negara.

Bila dibandingkan dengan tiga negara yang menduduki ranking literasi terbaik di dunia (Alison Flood, The Guardians) pada tahun 2016, Finlandia tingkat literasinya menduduki ranking satu, dan pada 2020 memperoleh skor Corruption Perception Index (CPI) 85 yang mengantarkan Finlandia mendapatkan IPK ranking tiga dari 180 negara di dunia; Norwegia, tingkat literasinya menduduki rangking dua, dan pada 2020 Norwegia memperoleh skor CPI 84 dan mengantarkan Norwegia menduduki IPK ranking tujuh; Kemudian, Denmark tingkat literasinya menduduki ranking tiga, dan pada 2020 memperoleh skor CPI 88 dan menduduki IPK rangking satu.

Berdasarkan fakta dan data di atas, sudah sangat jelas bahwa ada relasi kausalitas antara tingginya kemampuan literasi suatu negara layaknya Finlandia, Norwegia, Denmark yang mempengaruhi rendahnya korupsi di ketiga negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, ada relasi antara rendahnya kemampuan literasi masyarakatnya yang berakibat menjamurnya korupsi di Indonesia, karena minimnya pemahaman masyarakat Indonesia ihwal korupsi yang berujung minimnya sikap anti korupsi.

Langkah Nyata Melawan Korupsi

Melihat dua problem a quo, sebagai elemen terpenting negara sudah semestinya pemuda mengambil langkah konkret dengan melakukan tiga hal. Pertama, menggalakkan literasi dengan cara konvensional melalui sosialisasi di lingkungan sekitar ihwal pentingnya literasi. Memahami dan mensosialisasikan secara komprehensif baik melalui tulisan maupun lisan terkait macam-macam jenis tipikor, dan bahaya tipikor.

Kedua, meningkatkan budaya literasi anti korupsi melalui berbagai platform media sosial dengan memanfaatkan kemajuan digitalisasi. Ketiga, membangun sistem terpadu antara pemuda pegiat literasi dengan pemuda pegiat anti korupsi yang ada di seluruh Indonesia guna memudahkan berjejaring, kolaborasi, dan memasifkan perlawanan terhadap korupsi dengan mengoptimalkan literasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ben Enderson, 1972. Java in a Time of Revolution,Occupation and Resistance     1944-1966, Amerika Serikat, Cornell University Press.

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.