Jumat, Maret 29, 2024

Pemuda, Agama Sipil, dan Masa Depan Indonesia

asmatupha
asmatupha
Agus Salim, Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Umum Keluarga Pelajar Mahasiswa (KEPMA) Bima – Yogyakarta. Aktif di IKPMDI_Yk (Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia - Yogyakarta). No. Hp/e-mai : 0823 0006 1947/ agusssalim073@gmail.com

Sejarah sangat berguna untuk mengetahui dan memahami masa lampau, dalam rangka menatap masa depan, ungkap Ibnu Khaldun (1332-1406 M). Semestinya tidak hanya dibaca sebagai satu kisah romantis, yang membuat generasi masa kini sekedar mendapakan kebanggaan semu. Lalu terlelap dalam mimpi kejayaan dari masa silam. Sejarah harus mampu dibaca sebagai satu peristiwa yang penuh dengan gejolak sosial-politik, dengan beragam fenomena yang terus timbul-tenggelam. Salah saru peristiwa sejarah yang menarik adalah apa yang telah di ukir oleh para pemuda (kaum) dalam tinta emas sejarah umat manusia.

Kaum muda sebagaiman sejarah mencatat dan para pengamat sosial dan sejarawan menyebutnya, “bahwa pemuda merupakan kaum yang seirng dibebani dengan nilai-nilai yang mengandung pengertian idelogis dan kulturil” Taufik Abdullah (1994). Sehingga muncullah sebuta-sebutan yang delaktkan kepada mereka, “pemuda harapan bangsa”, “pemuda pemilik masa depan bangsa”, sebutan yang mengandunng unsur harapan sekaligus tanggung jawab. Sosiolog terkemuka – Pierre Bourdieu – menyebutkan “bahwa pemuda merupakan suatu  konsep yang akan terus mengalami pertumbuhann secara berlapis, yang selalu merefelksikan nilai-nilai sosial, politik, dan moral pada zamannya”. Lain waktu lain pula ceritanya, lain zaman lain pula tantangannya. Begitupun dengan apa yang dihadapi oleh kaum muda.

Kaum muda hari dituntut untuk memiliki kesadaran historis tentang kiprah pendahulunya, semenjak delapan puluh sembilan tahun silam. Saat kaum muda dari berbagai gugusan pulau Nusantara, mengikrarkan “sumpah emas” – Sumpah Pemuda – dengan satu komitmen yang berlandaskan pada nasib dan tujuan yang sama untuk ber-Tanah Air, ber-Bangsa, dan ber-Bahasa yang satu, Indonesia. Setiap peristiwa sejarah dan piramida kebangkitan di Indonesia selalu ada peran dan buah tangan perjuagan kaum muda sebagai kuncinya, mulai dari 1879 “kebangkitan Kratini” sampai dengan 1998 “Gerakan Reformasi. Ben Anderson menyebut revolusi Indonesia sebagai “revolusi pemuda’, karena peran kuncinya pada setiap fase sejarah. Salah satu tantangan yang di hadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dan khususya pemuda adalah radikalisme.

Radikalisme merupakan tantangan tersendiri bagi kaum muda hari ini. Baik “radikalisme kiri” maupun “radikalisme kanan”, sama-sama memiliki potensi untuk merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan yang sudah dan sedang bersemai di rumah Indoensia dalam pangkuan Ibu Pertiwi dan pandangan hidup Pancasila. Gerakan ideologi radikalisme kanan yang memakai jubah agama mapun maupun radikalisme kiri dengan coraknya yang khas. Berusaha dengan berbagai macam cara dan dari segala sisi untuk  menggerogoti dasar dan pandangan hidup bangsa, dari dalam mapun luar. Pada titik inilah, “pemuda harapan masa depan bangsa” yang ada hari ini, dituntut untuk tetap mampu menjaga Pancasila sebagai agama sipil (civil religion) di Indonesia. Menjaga kekayaan warisan budaya, bahasa, agama, ras dan suku bangsa dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.

Pemuda dan Agama Sipil

Agama sipil (civil religion) atau agama madani. Menawarkan suatu konsep tentang etika sosial dalam kehidupan bernegara yang multi-kultur dan multi-agama. Keberadaannya bukan untuk menyingkirkan apalagi menggantikan agama-agama konvensional – Islam, Kriste, Hindu, Budha, Kong Hu Chu – yang ada. Bahkan sumber etika sosial yang terkadung didalamnya, berangkat dari setiap intisari ajaran agama-agama yang ada maupun ajaran kebijaksaan dari local wisdom yang kita miliki. Bagi negara Indonesia yang multi-agama, multi-kultur, dan multi-etnis agama sipil itu adalah Pancasila. Nilai penting dari keberadaan agama sipil adalah saat negara mengakui keberadaann  beberapa agama, dituntut supaya tidak menjadikan salah satu agama sebagi dasarnya. Tetapi di sisi yang lain, negara mengharuskan warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai ketenangan hatinya, serta mengamalkan ajaran religius tersebut dalam kehiudpan sehari-hari. Melekatkan makna dan dimensi spiritual dalam setiap aktivitasnya, dalam bentuk toleransi, cinta kasih, ramah, penuh kedamaian, dan keadaban (civility).

Konsep agama sipil pertama kali di perkenal oleh J. J. Rousseau, kemudian dielaborasi lebih dalam dan luas oleh sosiolog Amerika Robert N. Bellah untuk membaca konteks kehidupan keagaman dan demokrasi di Amerika. Jeffrie Geovanie (2013) mengatakan  “kita butuh civil religion yang lebih bisa mengartikulasikan kesepakatan bersama secara beradab dan demokratis”. Islamolog asal Jerman – Olaf Schumann – menyebutkan bahwa, “gagasan agama sipil sudah pernah dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia, yang saat ini telah tertuang kedalam rumusan Pancasila serta sudah menjadi weltanschauung bagi bangsa Indonesia”. Jelaslah, bahwa kehadiran agama sipil merupaka suatu alternatif yang mampu menjadi jalan tengah dalam kehidupan benegara yang penuh dengan keanekaragaman ideologi, budaya, bahasa, agama, dan aliran-aliran lainnya.

 Peran kaum muda hari ini harus mampu menjadi penjaga dan pelanjut keberhasilan yang telah di capai, serta mejaga agama sipil yang sedang kita anut secara bersama-sama dalam kehidupan bernegara. Kaum muda hari harus harus mampu menumbuhkan dan membiasakan dua sifat sekaligus dalam dirinya, yaitu Negatif-Defensive dan Positif-Progressive  – meminjam istilah Yudi Latif. Mencegah (Negativedefensive) musuh serta segala macam bentuk keburukan yang ada. Serta mampu mengolah dan mengembangkan (Positive Pogressive) segala macam potensi sumber daya yang ada di Indonesia. Menjaga dan mengembangkan bumi, air, dan kekayaan di dalamnya, maupun agama, budaya, bahasa, dan kearifan lokal yang terbentang dari ujung timur Indonesia sampai ujung baratnya. Terutama, menjaga, merawat, dan mengaktualkan nilai-nilia ajaran agama sipil (Pancasila) yang kita miliki. Pada Akhirnya, agama sipil merupkan suatu konsep alternatif yang akan mampu membangun tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadaban, lewat tangan-tangan kaum muda yang sadar akan peran, fungsi, dan tanggung jawabnya dalam kehidupan sosial.

asmatupha
asmatupha
Agus Salim, Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Umum Keluarga Pelajar Mahasiswa (KEPMA) Bima – Yogyakarta. Aktif di IKPMDI_Yk (Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia - Yogyakarta). No. Hp/e-mai : 0823 0006 1947/ agusssalim073@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.