Meningkatnya kemiskinan yang dialami perempuan merupakan imbas dari proses-proses ekonomi dan politik, dimana kaum perempuan ditempatkan dalam posisi terbelakang. Keterbelakangan perempuan bukan karena ketidakmampuan mereka untuk berperan dalam pembangunan, melainkan karena ketidakadilan dalam perlakuan dan sistem kerja. Kerja-kerja yang dilakukan kaum perempuan masih dianggap sebagai kerja yang tidak menghasilkan, tidak menguntungkan, sehingga tidak dianggap sebagai bentuk kelayakan kerja.
Pandangan lama yang melekatkan perempuan pada tugas domestik menjadi rantai yang membelenggu langkah mereka dalam dunia ekonomi. Sejak kecil, banyak perempuan diajarkan bahwa dunia mereka adalah dapur, anak-anak, dan rumah, bahwa peran mereka hanya di balik pintu rumah. Beban itu berat — di satu sisi, mereka terus berputar dalam roda peran domestik yang tiada henti, di sisi lain, kerja mereka dianggap tak berharga, tak dinilai, tak mendatangkan hasil di mata dunia.
Hidup mereka terlewati dalam bayang-bayang tanpa penghasilan tetap, tanpa jaminan yang melindungi masa depan. Jika pun mereka melangkah keluar, mencari nafkah di luar rumah, mereka sering terjebak dalam pekerjaan yang rendah bayaran, tanpa perlindungan, tanpa suara di tengah hiruk-pikuk ekonomi yang tak memberi mereka ruang untuk berdiri tegak.
Kaum Perempuan ditempatkan dengan situasi tak berdaya, tanpa ilmu, tanpa keahlian, diabaikan dalam hak atas tanah, teknologi dan kerja. Keterbelakangan ini, wujud nyata dari patriarki modern, yang berfokus pada uang dan aliran keuntungan. Kehidupan perempuan, anak-anak, dan alam tak pernah jadi pusat perhatian, tidak dianggap penting dalam hitungan ‘indikator’ pembangunan. Mereka tak pernah jadi penanda kemajuan, sebab segala kebijakan hanya mengejar untung rugi, bukan demi peradaban yang hakiki.
Pembangunan pada dasarnya seringkali berujung pada pengabaian dan penghancuran keragaman hayati, di mana perempuan selalu dikaitkan dengan konsep kesuburan. Ideologi patriarki dunia masih menempatkan laki-laki sebagai standar utama dari segala nilai, sehingga tak ada ruang untuk merayakan keragaman; yang ada hanyalah hierarki. Karena perbedaan dengan laki-laki, perempuan diperlakukan dengan tidak adil dan disisihkan. Alam, dengan segala keanekaragamannya, tidak dihargai karena nilai intrinsiknya, melainkan dilihat dari potensi yang bisa dieksploitasi demi keuntungan ekonomi semata.
Proses globalisasi didasarkan pada penguasaan manusia dan sumber daya alam hanya semata-mata demi akumulasi modal. laki-laki dengan perspektif Kapitalis-Patriarkal mendominasi perempuan dan melakukan penjarahan terhadap sumber daya alam sehingga terjadi ketimpangan dalam distribusi keuntungan ekonomi dalam penguasaaan alam. Sistem Kapitalis patriarkal dunia dibangun dan dijalankan lewat penindasan terhadap perempuan dan penjajahan orang-orang ‘asing’ dan tanah air mereka dan bagi alam yang semakin menimbulkan kerusakan.
Perempuan menyaksikan dunia terdera, dihancurkan oleh tangan korporasi, diancam oleh militer, menjadi jerit batin kaum perempuan. Mereka bangkit, melawan keruntuhan alam dan menyadari ikatan antara kekerasan patriarki dengan luka di tubuh perempuan, manusia, dan bumi. Menolak patriarki-kapitalis adalah cinta pada kehidupan, pada masa depan anak-anak, dan keselamatan planet ini. Agresi korporasi dan militer terhadap alam dirasakan bagai tusukan nyata di tubuh perempuan, menyakitkan, mendera seolah menyatu dengan luka bumi yang sama-sama kita derita.
Distribusi sumber daya alam dalam patriarki kapitalis cenderung memprioritaskan laki-laki sebagai pengendali dan penerima keuntungan, sementara perempuan terpinggirkan. Sumber daya seperti tanah, air, dan hasil bumi umumnya dikelola oleh laki-laki, bukan karena keahlian, tetapi karena kekuasaan yang diatur oleh sistem patriarki. Kapitalisme yang fokus pada akumulasi kekayaan dan eksploitasi memperkuat ketimpangan ini, mengutamakan keuntungan ekonomi di atas keadilan sosial dan lingkungan.
Kapitalisme patriarki juga mengabaikan nilai-nilai lokal yang menghargai keberlanjutan. Perempuan, terutama di pedesaan, sering menjadi korban eksploitasi sumber daya oleh perusahaan besar, yang menghilangkan akses mereka terhadap lahan dan air. Sistem ini juga melihat alam sebagai komoditas untuk dieksploitasi, mengabaikan peran perempuan sebagai penjaga keberlanjutan.
Dengan demikian, alokasi sumber daya alam yang dikuasai laki-laki dalam sistem patriarki kapitalis tidak hanya memperkuat ketidaksetaraan gender, tetapi juga memperparah kemiskinan perempuan dan merusak keseimbangan ekologis yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan planet.