Pemindahan Ibu Kota Indonesia bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat. Berbagai fakta sejarah menceritakan bahwa Ibu Kota Indonesia pernah berpindah ke daerah Bukittinggi dan Yogyakarta. Hal tersbut terjadi dikarenakan kondisi darurat guna menyelematkan Negara Indonesia.
Kini muncul kembali wacana pemindahan Ibu Kota. Berbeda dengan pemindahan Ibu Kota sebelumnya, pemindahan yang diwacanakan sejak pemerintahan Soekarno ini didasari berbagai hal seperti pemeretaan penduduk dan isu politik. Pro dan kontra terhadap wacana ini tentu saja terjadi. Namun, jika kita melakukan pendekatan saintifik berupa kondisi geologi Jakarta, penulis meyakini bahwa semua orang akan setuju dengan wacana ini.
Berbagai pemberitaan dan ramalan bahwa Jakarta akan tenggelam bukanlah tanpa dasar. Diketahui bahwa terjadi penurunan muka tanah (Land Subsidence) di Jakarta. Kepala Bappenas mengatakan rata-rata penurunan muka tanah jakarta adalah sebesar 7,5 cm/ tahun, bahkan terdapat daerah yang penurunannya mencapai 18 cm /tahun yaitu daerah pluit. Penurunan muka tanah ini semakin diperparah dengan isu pemanasan global (global warming) yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut.
Tenggelammnya Jakarta bukanlah tergolong bencana yang sepenuhnya murni berasal karena pengaruh alam. Bencana ini lebih cenderung disebabkan oleh manusia. Perlu diketahui, menurut Van Bemelen jenis tanah Jakarta adalah endapan aluvium muda yang di mana belum mengalami kompaksi (Penyatuan) dan sementasi (perekatan) secara sempurna.
Sedangkan beban embel-embel Ibu Kota yang melekat pada Jakarta menyebabkan meningkatnya penduduk dan terjadi pula pembangunan secara masif. Peningkatan penduduk berakibat pada meningkatnya kebutuhan air bersih. Oleh karena itu, Jakarta dituntut untuk melakukan penyedotan air tanah dalam secara besar-besaran, hal tersebut menyebabkan permukaan tanah Jakarta pun menurun.
Selain itu, dengan kondisi tanah Jakarta yang telah dipaparkan tersebut, banyaknya pembangunan bangunan-bangunan berat menyebabkan beban pada permukaan tanah yang mengakibatkan permukaan tanah Jakarta juga menjadi turun.
Kerawanan terhadap bencana alam merupakan salah satu unsur yang menjadi pertimbangan ibu kota harus dipindahkan. Bagaimanapun, suatu ibu kota yang biasa disebut sebagai jantung suatu negara haruslah bersifat aman, karena ia menjadi pusat segala aktivitas kenegaraan.
Lokasi Jakarta yang berada di pulau Jawa berada dekat dengan zona subduksi lempeng Eurasia dan Indo-australia, perlu diketahui bahwa pada zona subduksi biasanya akan sering terjadi fenomena gempa bumi dan bahkan tsunami.
Sebagai contoh gempa bumi yang terjadi pada 2 agustus 2019 di barat daya Sumur-Banten, di mana dengan kedalaman 10 km (bersifat dangkal) dan berkekuatan 7,4 magnitudo menyebabkan gempa dirasakan hingga daerah Jakarta. Selain itu, adanya gunung aktif yang berada di daerah sekitar Jakarta cukup memberikan ancaman pula.
Tentu saja kita mengetahui bahwa pernah terjadi erupsi gunung Krakatau yang dahsyat pada tahun 1883 juga memberikan dampak kerusakan bagi daerah Jakarta. Walaupun hal tersebut terjadi sudah sangat lama, bukan berarti hal seperti itu tidak akan terulang lagi. James Hutton pernah menyatakan bahwa “the present is the key to the past”, yang bermakna “Dalam ilmu geologi yang terjadi saat ini juga merupakan gambaran yang terjadi pada masa lampau”.
Lantas alternatif pemindahan Ibu Kota Indonesia ke pulau Kalimantan dinilai cukup tepat. Hal ini dikarenakan kondisi tanah kalimantan lebih kompak dibandingkan Jakarta serta lokasinya yang cukup jauh dari batas lempeng dan zona subduksi sehingga memberikan dampak rendahnya aktivitas tektonisme dan vulkanisme.
Walaupun demikian, bukan berarti di pulau kalimantan tidak akan terjadi bencana. Tercatat gempa bumi juga pernah terjadi, namun hal ini lebih dikarenakan sesar regional di pulau kalimantan dan sifatnya tidaklah serawan di Jakarta.
Jika wacana pemindahan Ibu Kota menjadi realita, maka yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah adalah membenahi sistem mitigasi kebencanaan. Hal tersebut dikarenakan setiap daerah tidak menutup kemungkinan akan mengalami suatu bencana alam, karena bencana alam adalah kuasa Tuhan yang tidak bisa kita atur. Sehingga yang hanya dapat dilakukan manusia adalah meminimalisir dampak dari bencana alam tersebut.
Daftar Pustaka
Abidin, H.Z. dkk. 2015. Study on the Risk and Impacts of Land Subsidence in Jakarta. Bandung : Proc. IAHS, 372, 115-120
Bemellen, Van. 1949. The Geology Of Indonesia : General Geology Of Indonesia and Adjacent Archipelagos. Batavia : Government Printing Office
Irianto, Gatot. 2003. Orang Jakarta Tenggelamkan Jakarta. Jakarta : Litbang Pertanian. diakses melalui
http://new.litbang.pertanian.go.id/artikel/282/pdf/Orang%20Jakarta%20Tenggelamkan%20Jakarta.pdf pada tanggal 2 Agustus 2019 pada pukul 17.00 wib