Demokrasi bukan sekadar efisiensi, tapi tentang manusia dan makna.
Pada dini hari di Februari 2024, di sebuah TPS kecil di Jawa Barat, seorang petugas KPPS terjatuh karena kelelahan ekstrem. Ia bukan satu-satunya. Ribuan lainnya mengalami hal serupa, dan ratusan tak selamat. Ini bukan sekadar cerita tragis—ini alarm bagi desain Pemilu kita.
Sejak 2019, Indonesia menerapkan sistem lima kotak dalam satu hari: Pemilu Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sistem ini dirancang atas nama efisiensi dan penguatan sistem presidensial. Tapi apa jadinya jika efisiensi justru mematikan makna dan mengorbankan manusia?
Gagasan pemilu serentak lahir dari Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, yang menekankan pentingnya keterpaduan antara eksekutif dan legislatif. Namun dalam praktiknya, desain ini menumpuk tanggung jawab teknis dan administratif dalam satu waktu.
Fakta-Fakta Kelelahan Demokrasi
Kini, bayangkan Pilkada serentak juga digelar hanya sembilan bulan setelah Pemilu 2024. Artinya, dalam satu tahun rakyat harus memilih presiden, wakil rakyat, dan kepala daerah di 545 wilayah. Apakah demokrasi harus sepadat dan seberat ini?
Data KPU menunjukkan: pada Pemilu 2019, 894 petugas KPPS meninggal dunia dan lebih dari 5.000 lainnya sakit karena kelelahan. Di Pemilu 2024, hingga sebelas hari pasca pencoblosan, setidaknya 322 petugas meninggal, termasuk 161 petugas KPPS, dan 14.000 lainnya jatuh sakit.
Mereka bekerja selama 20–22 jam nonstop. Demokrasi yang seharusnya inklusif dan membebaskan justru menciptakan penderitaan bagi para pelaksana yang ada di garis depan.
Banyak yang Dipilih, Tapi Tak Banyak yang Dipahami
Memilih lima jenis perwakilan dalam satu waktu bukan perkara mudah. Menurut riset Perludem, hanya 24% pemilih yang tahu siapa caleg yang mereka pilih. Selebihnya memilih secara acak, berdasarkan nama yang familiar atau sekadar menyelesaikan kewajiban.
Partisipasi memang tinggi: 81,97% pada 2019, dan sekitar 81% pada 2024. Tapi apa artinya jika kualitas partisipasi rendah? Jika pemilih tidak sadar akan pilihannya, maka demokrasi menjadi prosedural belaka, bukan substansial.
Politik Lokal Butuh Ruang Sendiri
Berbeda dengan pemilu nasional yang cenderung bersifat ideologis, Pilkada memiliki dinamika khas: kedekatan emosional, isu keseharian, dan konteks lokal. Jika dipaksakan bersamaan secara nasional, potensi pembauran isu bisa merusak kedalaman politik lokal.
Pilkada seharusnya memberi ruang refleksi masyarakat atas figur pemimpin yang dekat dan relevan. Bukan menjadi korban dari gegap gempita narasi politik nasional yang mendominasi media dan percakapan publik.
Kenapa Harus Dipisah?
1. Menghindari Kelelahan Massal
Pemilu dan Pilkada serentak membutuhkan SDM, logistik, dan keamanan dalam skala luar biasa besar. Ini membuka celah kelelahan, kesalahan, hingga manipulasi karena jumlah titik rawan yang melonjak tajam.
2. Kualitas Partisipasi Bisa Lebih Baik
Dengan beban pilihan yang lebih sedikit, pemilih punya waktu untuk mengenal calon, mempertimbangkan visi-misi, dan berdiskusi. Demokrasi yang deliberatif hanya mungkin lahir jika ada ruang jeda dan kontemplasi.
3. Lokalitas Tidak Tergerus Isu Nasional
Memisahkan Pilkada dari Pemilu memberi kesempatan pada isu-isu lokal untuk tampil di permukaan. Ini penting untuk menumbuhkan akar demokrasi dari bawah, dari konteks yang paling dekat dengan kehidupan warga.
Demokrasi Butuh Irama, Bukan Ledakan
Dalam filsafat politik, demokrasi bukan sekadar pesta lima tahunan. Ia adalah proses panjang yang membutuhkan kesabaran, ruang diskusi, dan waktu untuk berpikir. Demokrasi bukan lomba cepat, tapi maraton sosial yang perlu ritme dan arah.
Filsafat waktu menyebut istilah kairos: momen yang tepat secara eksistensial. Tidak semua hal harus disegerakan. Kadang, menunggu adalah kebijaksanaan. Memisahkan Pemilu dan Pilkada bukan berarti memperlambat demokrasi, tapi justru mengarahkannya agar lebih jernih dan manusiawi.
Jalan Tengah: Serentak Tapi Bertahap?
Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 menawarkan enam model keserentakan Pemilu. Salah satu yang paling masuk akal adalah model keempat, yaitu:
- Pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) diselenggarakan serentak;
- Pemilu lokal (DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan kepala daerah) diselenggarakan dalam waktu berbeda, tapi tetap serentak di tingkatnya.
Model ini bisa jadi solusi tengah—antara prinsip efisiensi dan kebutuhan akan ruang partisipasi yang berkualitas.
Desain demokrasi seharusnya bukan cuma efisien, tapi juga empatik. Ia harus memanusiakan rakyat sebagai pemilih, dan petugas sebagai pelayan publik. Menumpuk beban teknis demi efisiensi justru merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Penutup: Pisahkan Demi Demokrasi yang Sehat
Demokrasi bukan mesin produksi suara. Ia adalah ruang hidup bersama. Jika terus memaksakan desain serentak yang menumpuk, kita sedang mempercepat lelahnya bangsa dalam berpolitik.
Memisahkan Pemilu dan Pilkada bukan kemunduran. Ini adalah langkah strategis untuk menyelamatkan demokrasi dari kelelahan, kebingungan, dan kehilangan makna.
Bagaimana menurut kamu? Haruskah Pemilu dan Pilkada tetap serentak, atau saatnya diberi jeda agar demokrasi bisa bernapas?