Minggu, April 28, 2024

Pemilu sebagai Ajang Refleksi, Bukan Cari Sensasi

Ricky Rivaldi
Ricky Rivaldi
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Angkatan 2020. Aktif di berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kemahasiswaan melalui BEM, PMII, dan Organisasi lain yang relevan.

Gelaran pesta demokrasi Indonesia sudah dekat. Seluruh kontestan telah mempersiapkan gagasan terbaiknya untuk memikat hati rakyat. Tak hanya itu, beberapa kali teater politik juga dimainkan demi menarik simpati rakyat. Para calon dan awak kapal pemenangannya gencar bergerilya memperebutkan suara rakyat.

Sebagai masyarakat Indonesia dengan segala hulu-hilir permasalahannya, momen pemilu sejatinya tak hanya tentang siapa calon yang bertengger di baliho-baliho. Bicara soal pemilu harusnya tidak sebatas tentang siapa berpihak pada siapa. Ada hal yang lebih fundamental dan esensial untuk dibicarakan, yakni refleksi kita sebagai bangsa.

Indonesia sebagai negara berkembang masih kerap mengalami guncangan, baik di ranah sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Guncangan itu menandakan bahwa kita sebagai bangsa masih dalam proses pendewasaan. Tentu sudah menjadi hal wajar bahwa dalam proses menuju dewasa, kita semua butuh banyak refleksi.

Dengan embel-embel gemah ripah loh jinawi, nyatanya masih banyak problem kebangsaan yang kita jumpai. Banyak problem di berbagai sektor yang bahkan belum teruraikan secara jelas. Dalam hal ini, pemetaan masalah, analisis mendalam, dan langkah perbaikan perlu kita segerakan. Namun, hal itu hanya sekedar menjadi omong kosong jika momen pemilu saja justru mengundang tendensi sentimentalitas yang memecah-belah bangsa.

Pentingnya Refleksi

Meski dianggap banyak menuai efek negatif, pemilu ternyata masih sanggup menghadirkan sisi positif. Sebab, adanya pemilu dapat memunculkan diskursus kebangsaan sebagai aktivitas populer di semua kalangan. Masyarakat mulai mengulik penyakit-penyakit yang menjangkiti bangsa. Elit politik juga gencar mencari gagasan terbaik yang sekiranya ampuh menawar segala penderitaan bangsa.

Momen pemilu memang relevan untuk menjadi jatah refleksi. Lewat refleksi, kita bisa mengukur tingkat kemakmuran kita. Refleksi juga bisa membuat kita mendeteksi kebobrokan yang sudah, sedang, ataupun akan terjadi. Dengan refleksi, kita akan sanggup menguraikan problematika yang tengah menjangkiti bangsa. Tak hanya itu, kita juga menjadi lebih tahu apa yang mesti kita lakukan dan apa yang mestinya tidak kita lakukan.

Refleksi pada momen pemilu akan menunjukkan kualitas tersendiri. Ada proses dialektis yang mencerminkan intelektualitas kita sebagai bangsa. Berbeda jika pemilu dianggap hanya persoalan siapa menang siapa kalah. Refleksi dapat membuat kita tidak terjerumus dalam arus sentimentalitas yang berujung saling menjatuhkan.

Pada akhirnya, momentum pemilu tidak berhenti pada soal perebutan kekuasaan. Ada kepentingan bersama yang kita perjuangkan. Saling serang secara berlebihan sangat tidak menunjukkan kedewasaan berpolitik. Cara tersebut justru seperti sengaja menjatuhkan rakyat ke lembah perpecahan. Selain itu, rakyat juga akan semakin kabur dalam melihat tujuan besar bangsa karena tertutup kabut kepentingan oligarki yang begitu pekat.

Sikap Seharusnya

Pada saat yang sama, pemilu juga membangkitkan kesadaran ber-nasionalisme. Masyarakat dapat lebih menghayati rasa keindonesiaan dalam dirinya. Muncul pertanggungjawaban pada setiap individu untuk memastikan keberlanjutan perkembangan bangsa. Hal itu teraktualisasi lewat bagaimana kita memilih paslon yang terbaik menurut kita.

Oleh sebab itu, pemilu jangan sampai menjadi ajang perpecahan. Perbedaan pendapat tentu bukan alasan perpecahan. Hal tersebut patut dipahami sebagai dialektika kolektif yang mendambakan kemajuan bersama. Pemilu seyogyanya mampu membuktikan kalau kita dapat mempertahankan kebersatuan dalam berbagai model perbedaan.

Elit politik seharusnya sudah sangat paham dengan hal itu. Elit politik tentunya juga sadar bahwa kita punya tugas besar sejarah untuk merawat persatuan. Oleh karena itu, sebagai center of attention saat ini, para elit perlu untuk memberikan penyadaran kolektif bahwa dalam pemilu ada hal yang lebih besar dari sekedar calon-calon yang didukung, yakni nasib dan arah bangsa kedepan.

Dengan kata lain, elit politik dilarang keras mengompori bentuk sentimentalitas apapun yang tengah berkembang, meskipun sentimen itu mungkin menguntungkan calon maupun partainya. Kesadaran yang demikian tentu positif. Ada rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk menyelamatkan bangsa, ketimbang menyelamatkan golongan dan memastikan kemenangan politiknya.

Jika dari pucuk kekuasaan sampai akar rumput masyarakat berkesadaran demikian, tentu level pemilu di Indonesia akan meningkat secara kualitas moral dan intelektual. Dengan hal itu, pemilu 2024 haqqul yaqin tidak akan meninggalkan residu kebencian yang berpotensi menghambat laju perkembangan bangsa.

Ricky Rivaldi
Ricky Rivaldi
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga Angkatan 2020. Aktif di berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kemahasiswaan melalui BEM, PMII, dan Organisasi lain yang relevan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.