Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan pada tanggal 17 April tahun 2019 ini setidaknya menghasilkan tiga hal. Yaitu, terpilihnya wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif, pemimpin bangsa yang akan duduk di istana Negara serta prasangka publik yang bisa berpotensi berujung pada perpecahan bangsa.
Jika kita melihat hasil perhitungan suara berdasarkan versi hitung cepat yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survey beberapa saat setelah pencoblosan usai dilakukan beberapa minggu yang lalu, sebetulnya kita sudah punya gambaran siapa saja yang menjadi pemenang dalam kontestasi politik ini.
Khususnya untuk presiden dan wakil presiden yang terpilih. Pun demikian, jika kita mengacu pada hasil real count KPU yang saat ini sudah hampir rampung 100 persen. Di situ kita bisa melihat dengan jelas perolehan suara pasangan presiden dan wakil presiden nomor berapa yang sudah unggul. Hanya saja, oleh sebagian orang hal ini tidak diterima dengan berbagai alasan yang ada.
Sehingga, yang terjadi kemudian adalah muncul berbagai prasangka yang menganggap bahwa jangan-jangan proses Pemilu yang terjadi saat ini penuh dengan kecurangan yang sistematis dan terstruktur. Bahkan ada yang menganggap telah terjadi kongkalingkong antara KPU dan lembaga survey terkait dengan penetapan hasil perhitungan suara.
Prasangka seperti ini pun akhirnya mewabah begitu cepat dan menyebar seperti kanker lalu meracuni pikiran sebagian dari masyarakat kita hari ini. Padahal, kalau kita perhatikan metode yang digunakan baik itu lembaga survey dalam melakukan perhitungan cepat serta cara-cara yang dijalankan oleh KPU dalam proses perhitungan suara yang disajikan lewat aplikasi SITUNG sebetulnya sudah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang bisa diuji kebenaranya.
Namun, sepertinya orang-orang ini sudah terlanjur larut dalam prasangkanya. Akhirnya, semua yang ada hubunganya dengan Pemilu direspon dengan cara-cara yang kurang baik. Alhasil, keadaan pun berubah menjadi runyam. Masyarakat banyak yang kembali meragukan proses pelaksanaan Pemilu. Kebenaran pun menjadi kabur dan sepertinya sulit untuk diwujudkan. Padahal, tanggal 22 Mei sudah semakin dekat.
Tentu saja kondisi ini patut untuk direspon dengan serius. Jangan sampai berlarut-larut dan akhirnya bisa menggagalkan proses Pemilu yang sudah diselenggarakan dengan biaya mahal dan menelan banyak korban jiwa. Segala macam prasangka yang tidak benar adanya harus segera mulai direduksi agar keadaan bisa lebih tenang menjelang diumumkannya hasil Pemilu oleh KPU.
Menyingkirkan Berbagai Prasangka
Benar bahwa, setiap orang punya hak untuk memenangkan pilihannya masing-masing. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa dalam upaya untuk memperjuangkan pilihan itu ada aturan main yang harus dipatuhi. Kita punya lembaga yang bernama KPU sebagai pihak berwenang untuk menentukan hasil akhir dari Pemilu ini.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat sejumlah kekeliruan yang dilakukan oleh KPU saat melakukan proses rekapitulasi suara. Akan tetapi, sangat berlebihan juga rasanya jika kita terus menerus menaruh prasangka buruk terhadap lembaga ini setelah mereka mencoba untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada.
Akan lebih baik rasanya jika kita memberi waktu kepada mereka untuk bekerja, sembari menunggu diumumkannya hasil perhitungan suara yang telah dirampungkan seluruhnya. Setelah itu, jika ada hal-hal yang dianggap tidak berkenan, barulah mulai menempuh langkah-langkah hukum sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan.
Lagipula, rasa-rasanya tidak salah jika kita sedikit berprasangka baik terhadap KPU. Agar, energy kita tidak habis terkuras serta emosi dan kejiwaan kita juga bisa menjadi tenang. Apalagi saat ini kita sedang berada dalam suasana bulan suci Ramadhan. Bulan yang pernuh rahma dan berkah. Menenangkan hati dan pikiran dari prasangka yang buruk tentu menjadi hal yang diprioritaskan agar ibadah puasa yang dijalankan tidak tercemar oleh dosa.
Saling Merangkul
Tidak ada yang lebih indah dari perdamaian. Karenanya, kita bisa saling berdampingan dalam perbedaan. Namun, hal ini bisa saja terkoyak jika dalam masa-masa yang krusial seperti saat ini kita sesama anak bangsa tidak bisa saling merangkul antara satu dengan yang lainnya. Kita tidak boleh membiarkan prasangka buruk terus menerus merasuki hati dan pikiran kita sampai akhirnya membuat kita menjadi gila dan lupa diri. Terlalu mahal harga yang harus kita bayar jika hal itu dibiarkan terus terjadi.
Sudah terlalu banyak contoh yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran, terkait dengan kesudahan orang-orang yang mengabaikan perdamaian. Yang mereka rasakan bukan saja kepahitan hidup karena pecahnya konflik dan pertikaian.
Namun, mereka juga kehilangan sahabat dan sanak saudara yang dicintai serta tanah air sebagai tempat untuk bernaung. Hal ini bisa kita saksikan seperti apa yang dialami oleh beberapa Negara yang ada di Timur Tengah, Suriah dan Sudan. Konfliknya begitu mengerikan dan meninggalkan luka menganga yang entah sampai kapan bisa sembuh kembali.
Oleh karena itu, kita semua harus mampu mengesampingkan segala prasangka yang bisa mengikis rasa persaudaraan kita. Kembali bergandengan tangan dan merapatkan barisan adalah pilihan yang tidak boleh diabaikan.
Demi perdamaian, kita harus melakukanya. Apapun yang terjadi dengan hasil Pemilu tahun ini. Karena seyogianya kita adalah saudara sebangsa dan setanah air. Kita sama-sama dilahirkan dari Rahim ibu pertiwi yang bernama Indonesia. Sehingga, tidak ada alasan bagi kita semua untuk saling bertikai dan bermusuhan hanya kerena beda pilihan.