Senin, Oktober 7, 2024

Pemilu dan Rasionalitas Demokrasi

Anggi Supriyadi
Anggi Supriyadi
Penulis, Pengkaji Sejarah Kebudayaan Islam, dan Guru SMP Muhammadiyah Banguntapan DI. Yogyakarta

Di tengah keraguan banyak kalangan terhadap panitia penyelenggara Pemilu (KPU) 2019, peranan akal budi atau rasionalitas dalam demokrasi di Indonesia dewasa ini sangat diperlukan.

Kehidupan yang toleran dan rukun mendadak berubah tegang dengan kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik horizontal mengatasnamakan keyakinan akibat klaim kemenangan pasca Pemilu 17 April lalu. Apalagi klaim kemenangan tersebut terlalu didramatisir dengan sujud syukur hingga deklarasi kemenangan yang berlangsung dimana-mana.

Sabar adalah kunci dalam menunggu hasil rekapitulasi Pemilu pada 22 Mei yang bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan. Hari tersebut akan menjadi momen berharga bagi bangsa Indonesia khususnya dan umat Muslim pada umumnya, karena tanggal tersebut merupakan hari Nuzulul Qur’an (hari turunnya Al-Qur’an). Siapapun yang sah terpilih sebagai Presiden akan ditulis namanya dalam sejarah.

Namun, di tengah penantian pengumuman hasil real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagian masa rakyat yang berafiliasi terhadap pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mulai gusar dan melakukan aksi mengepung gedung KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada hari Jumat (10/5).

Mereka menuntut keadilan atas dugaan kecurangan Pemilu yang dilakukan secara sistematis dan masif oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf, sebab itu mereka tegas meminta Bawaslu agar mendiskualifikasi petahana.

Setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat. Undang-undang kita mewadahi setiap aspirasi dan pendapat, termasuk mereka yang beraksi di depan gedung KPU dan Bawaslu. Aksi perundungan, fitnah, dan ujaran kebencian akibat beda pilihan justru tidak bisa dibenarkan, karena itu menunjukkan budaya politik rendahan.

Pesta demokrasi atau Pemilu telah usai. Situasi politik yang terjadi saat ini hampir sama dengan Pemilu 2014 silam, hanya saja wacana, situasi, dan frame kepentingannya berbeda. Eskalasi konflik horizontal antar kedua kubu pasangan secara frontal terjadi kian menegangkan, antara Cebong dan Kampret masih saling serang dan menjatuhkan. Karenanya, demokrasi mensyaratkan masyarakat warganya mampu terbuka akal pikirannya dalam menentukan sikap politiknya melalui penalaran kritis, supaya tidak mudah tersulut emosi.

Belajar Demokratis

Menjelang dan pasca perhelatan Pemilu 2019, nalar atau aspek rasionalitas telah menemukan momentumnya untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat. Galibnya nalar bisa kita pahami sebagai manifestasi dari proses berpikir dan bertindak masuk akal dan diterima secara universal. Dalam negara yang demokratis, penalaran menjadi senjata penting setiap insan di tengah keadaan yang serba kaotis.

Menurut Muhd. Abdullah Darraz, “Pseudo-Demokrasi Indonesia” dalam jurnal Maarif vol. 6 no. 1 edisi April 2011, kehidupan demokrasi selayaknya dijalankan dalam rangka merajut kehidupan kebangsaan secara etis-rasional. Tentunya bila aspek irasional lebih dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan terjadi kesemerawutan.

Rasionalitas demokrasi setidaknya bertumpu pada kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila dan kebersamaan (gotong royong). Dalam hal ini Nurcholis Madjid atau Cak Nur mengajarkan kita tentang demokrasi sebagai proses, demokrasi harus mewujud dalam laku kehidupan sehari-hari, sebagai cara hidup atau way of life (2009:61). Tujuannya agar demokrasi termanifestasi dalam laku hidup sehari-hari, berupa pemikiran terbuka, toleran, dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk.

Sejalan dengan pandangan Cak Nur di atas, maka kehidupan demokratis mampu menekan sedikit banyak sikap irasional, berupa ujaran kebencian, penyebaran kabar bohong (hoaks), klaim kebenaran, dan lain sebagainya. Bukan tak jarang sikap irasional tersebut sering menimbulkan aksi turun ke jalanan dengan berbagai sentimen keyakinan dan kepercayaan.

Menekan Ego

Irasionalitas harus diminimalisir dalam proses demokratisasi. Sangat disayangkan bila dalam proses demokratisasi ini justru semakin menguatkan (ego) klaim kemenangan dan prejudice terkait kecurangan dalam Pemilu yang lalu direspon lambat oleh Bawaslu. Sedang pemerintah pasang badan dan menutup pendengaran terhadap klaim Oposan.

Dalam situasi seperti sekarang inilah kita perlu ber-tabayyun (verifikasi sumber berita). Pemberitaan dan perbincangan publik dewasa ini masih berkelindan seputar isu politik kekuasaan. Bila tidak dibarengi dengan kesadaran dan daya nalar kritis (objektif) dalam memilah informasi tentu bisa menjadi petaka bagi diri sendiri. Mengapa demikian? karena para Elit Politik senang mempermainkan emosi publik dengan mengesampingkan fakta objektif.

Akhirnya, menjelang pengumuman rekapitulasi hasil pemilu serahkan saja kepada panitia penyelenggara. Bila ada kecurangan bisa dibuktikan dengan bukti nyata dan apabila ada kesalahan dalam proses perhitungan bisa dibandingkan jangan lantas mengaku paling benar dan menganggap yang lain salah.

Aksi masa, apapun bentuknya, setelah pengumuman dari KPU tanggal 22 Mei tidak masalah. Selama masyarakat warganya masih mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas bernegara tidak perlu khawatir akan menimbulkan keresahan. Dalam aksi masa nantinya jangan sampai terjadi upaya makar ataupun benturan keras antara warga dengan aparat keamanan. Karena gerakan mereka pun sejatinya boleh dipandang sebagai upaya rekonfigurasi demokrasi kita menuju kualitasnya yang lebih baik, semoga!

Anggi Supriyadi
Anggi Supriyadi
Penulis, Pengkaji Sejarah Kebudayaan Islam, dan Guru SMP Muhammadiyah Banguntapan DI. Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.