Hingar-bingar Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 sudah semakin terasa. Di mana-mana, terutama di media sosial, pengenalan bursa calon presiden dan wakil presiden semakin intensif. Misalnya saja, pengenalan Puan Maharani, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Erick Tohir, dan masih banyak lagi nama-nama yang masuk bursa capres dan cawapres.
Namun, hingga saat ini, hanya Anies Baswedan yang sudah ditetapkan secara resmi oleh partai Nasdem sebagai calon presiden. Penetapan Anies Baswedan, menurut saya, merupakan langkah bagus bagi partai politik (Parpol) menyiapkan seluruh perangkat dan amunisi politik menyongsong Pemilu 2024. Di sisi lain, tidak boleh lupa, penetapan ini juga dapat menjadi alat ukur rakyat (pemilih) dalam menentukan program kerja, gagasan politik dan treck record Anies Baswedan.
Yang terakhir ini yang mesti menjadi perhatian setiap Parpol, agar jauh-jauh hari sudah menetapkan calon terbaiknya. Mengingat ini penting, setiap Parpol harus mampu mengedepankan kepentingan politik kebangsaan daripada hanya mementingkan kepentingan Parpol semata. Politik kebangsaan selalu menempatkan kepentingan rakyat sebagai urusan yang final dan mutlak.
Melepas Jeratan Demokrasi
Situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia tidak pernah absen dari upaya pengkerdilan dan pembonsaian. Upaya ini bisa lahir dari dalam (elit dan institusi negara) dan dari luar (organisasi masyarakat sipil yang antidemokrasi). Keduanya punya potensi dan ciri khas yang bisa melemahkan demokrasi dan agenda demokratisasi.
Merujuk pada apa yang dijelaskan Thomas Power (2021) sebagaimana dikutip dari Usman Hamid dan Darmawan Triwibowo dalam Prakata buku Demokrasi di Indonesia, Dari Stagnasi ke Regresi? (Power dan Warburton, eds). Menurut Power, ada 3 sebab masalah dari regresi demokrasi di Indonesia. Pertama, masalah lawfare, yaitu penyalahgunaan hukum dan lembaga penegak hukum oleh aktor politik untuk tujuan politik. Misalnya, dalam kasus kriminalisasi aktivis melalui penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE.
Jika kita amati, di masa pemerintahan Joko Widodo saat ini, pelemahan dan kriminalisasi aktivis sangat kentara. Kritik publik atas kebijakan negara yang kurang tepat selalu ditanggapi dengan berbagai upaya kriminalisasi dan pelemahan, yang justru mempertebal watak otoriterianisme dan totaliterainisme rezim Jokowi. Hal inilah yang menyurutkan dukungan publik atas kebijakan negara dan turut serta menciptakan ketegangan di dalam rezim hari ini.
Kedua, keberpihakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus yang melibatkan pemegang kekuasaan, terutama politisi partai politik. Jika kita lihat, beberapa tahun terakhir, fenomena keberpihakan aparat penegak hukum terhadap pemegang kekuasaan semakin kentara. Bahkan, di beberapa kasus, aparat penegak hukum bisa sangat mungkin lembek kepada beberapa politisi. Tetapi di saat bersamaan, keras kepada rakyat.
Kondisi ini tentu harus dibaca sebagai sebuah kemunduran terhadap jalanya proses reformasi dan agenda demokratisasi di Indonesia. Penegakan hukum yang seharusnya berjalan dalam koridor hukum demi tata kelolah dan kemajuan hukum, nyatanya menjadi alat yang dapat melindungi beberapa pihak, seraya menekan pihak lain. Inilah yang tentu menyebabkan terjadinya regresi demokrasi.
Ketiga, manipulasi peraturan atau perubahan aturan-aturan hukum untuk mendorong terjadinya penggelembungan kekuasaan eksekutif. Misalnya saja, menurut Power, aturan tentang pendaftaran partai politik melalui Kementerian Hukum dan HAM, yang menghidupkan kembali kekuasaan pemerintah untuk mengendalikan partai politik. Ini tentu merupakan gejala memudarnya institusi negara dalam menegakan prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan melihat tiga problem yang dijelaskan Power tersebut di atas, kita bisa melihat bagaimana pola kekuasaan hari ini telah sedemikian rupa mengatur dan mengendalikan penegakan hukum, kritik publik dan agenda demokrasi. Bukannya mendukung agenda demokrasi yang berdiri dengan prinsip-prinsip perlindungan sipil. Demokrasi hari ini justru meminggirkan kepentingan demos, baik dengan pembungkaman maupun melalui pelemahan institusi demokrasi.
Silanya, agenda seperti ini jarang dibahas dalam setiap ritus Pemilu. Ini tentu merupakan bentuk daripada merosotnya optimisme di tataran elit dan institusi negara dalam memajukan politik demokrasi menjadi lebih bermakna. Absennya pembahasan terkait problem demokrasi justru membuat demokrasi kian terjerat dalam kubangan praktik predatoris, yang tidak lain justru mencekal nilai dan prinsip demokrasi.
Partisipasi Publik
Di tengah gegap gempita menyongsong Pemilu 2024, yang paling penting dipikirkan ialah, mendorong adanya partisipasi publik yang lebih bermakna. Pemilu bukan semata hanya soal capres dan cawapres, elektabilitas figur dan partai politik. Tetapi yang jauh lebih penting ialah, partisipasi publik, yang dapat mendorong Pemilu 2024 lebih baik.
Tidak hanya itu, partisipasi publik juga bisa membawa efek yang cukup signifikan, terutama pada aspek kontrol dan pengawasan. KPU dan Bawaslu harus membangun komunikasi politik yang searah dengan publik, agar proses jalannya Pemilu 2024 bisa menghasilkan kedamaian, bukan riak politik yang penuh kebencian. Di sisi lain, partisipasi publik dapat mengamputasi problem demokrasi sebagaimana yang diamati oleh Power.
Pada akhirnya, Pemilu 2024 harus dibangun dengan landasan politik yang lebih bermakna. Untuk mencapai itu, yang paling penting ialah, bagaimana pola komunikasi, pendekatan dan tawaran kebijakan dan program yang lebih menjanjikan bagi Indonesia di masa depan.